Indonesia tanpa Telkom?

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir membuat heboh industri telekomunikasi pekan ini.

Erick menilai PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) terlalu bergantung pada pendapatan PT Telekomunikasi Seluler (Telkomsel) yang menjadi anak usahanya.

Saat ini saham Telkomsel dikuasai Telkom sebesar 65% dan Singapore Telecom (SingTel) (35%).

"Mendingan enggak ada Telkom. Langsung aja (Telkomsel) dimilik Kementerian BUMN. Dividennya jelas. Karena itu, kami berharap ke depannya Telkom berubah," ujarnya, Rabu (12/2).

Erick menyarankan Telkom harus lebih serius menggarap bisnis yang sesuai dengan era digital seperti cloud computing dan Big Data. "Dengan database segini besar. Data the new oil, masa diambil negara lain," ucap Erick.

Erick melihat infrastruktur Telkom sudah luar biasa sehingga layak dijadikan bisnis utama. Intinya, Erick tidak mau Telkom hanya mengandalkan bisnis Telkomsel.   

Sebelumnya, Wakil Menteri BUMN Budi Gunadi Sadikin juga mempertanyakan rencana bisnis jangka panjang Telkom.

Pria yang akrab disapa BGS itu mengaku resah walau Telkom memiliki profit di atas Rp20 triliun, namun pendapatannya mendatar sementara belanja modal meningkat.

Masalah
Benarkah semua yang dipaparkan Menteri dan Wakil Menteri BUMN yang notabene adalah kuasa pemegang saham pemerintah di Telkom?

Jika merujuk kepada data finansial yang diungkap oleh sang menteri tentu tak bisa terbantahkan. Faktanya sekitar 70% pendapatan Telkom memang dipasok oleh Telkomsel.

Apakah ini salah? Tentu tidak, jika dilihat ke operator global lain pun, bisnis seluler menjadi backbone dari pendapatannya. Lihatlah yang dilakukan SingTel, atau Ooredoo.

Manajemen Telkom pun sejak membangun Telkomsel di Batam sudah memahami seluler akan menjadi masa depan dari bisnisnya di masa depan. Sehingga wajar, alokasi belanja modal TelkomGrup, sekitar 65% dialokasikan untuk Telkomsel.

Telkom pun dalam membangun infrastruktur, terutama sepuluh tahun terakhir mendukung kinerja Telkomsel. Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL), Satelit, hingga backhaul, semua dialokasikan untuk Telkomsel agar lebih cepat hadir di pasar hingga tingkat kecamatan.

Apakah Telkom melupakan bisnis telepon rumah (Fixed Line) yang membawanya berjaya di era monopoli? Tentu tidak, Telkom sejak enam tahun lalu sudah mengenalkan IndiHome.

Layanan IndiHome terlihat terus menunjukkan pertumbuhan dan menguasai pasar Triple Play nasional.

Selain itu jangan lupa, Telkom adalah pemain utama di solusi Teknologi Informasi (TI) untuk segmen enterprise dan pemerintahan. Posisi Telkom di segmen ini harusnya diperkuat oleh pemerintah layaknya Telstra di Australia yang dipercaya mengelola National Security Operation Center (NSOC).

Hal yang masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR) bagi manajemen Telkom sekarang, dimana ini dikritisi oleh Wamen BUMN, adalah kenapa pendapatan mendatar?

Jawabannya, belum ada operator yang bisa keluar dari efek gunting (Scissorhand) dari naiknya trafik data, tetapi margin belum maksimal.

Tekanan makin kuat bagi operator karena pemain Over The Top (OTT) khususnya asing, tak bisa diregulasi di Indonesia. Bahkan, equal playing field dengan OTT lokal pun tak terjadi.

Terakhir, OTT asing makin tersenyum berbisnis di Indonesia karena pemerintah sendiri merevisi aturan kewajiban penempatan data center bagi Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE). Lha, kalau begini bagaimana data menjadi the new oil, kalau penempatannya saja dibebaskan tak di Indonesia?

Alhasil, di era data ini, operator terkesan hanya sebagai dumb pipe.

Apakah ini bisa disolusikan oleh Telkom atau operator lainnya? Bisa, asalkan ada dukungan dari pemerintah berupa regulasi yang jelas mengatur para OTT. Jika aturan jelas, tentu para OTT tak bisa seenaknya mengeruk keuntungan dari keberadaan infrastruktur yang dibangun operator.

Seharusnya disinilah peran Erick sebagai Menteri BUMN berbicara dengan para mitra menteri lainnya mendorong adanya regulasi yang pro operator lokal agar tidak kian terjajah oleh OTT asing.

Lantas bagaimana dengan ide Erick menjadikan Telkomsel sebagai BUMN, bisa dijalankan? Bisa saja. Syaratnya, SingTel mau melepas sahamnya dan Indonesia memiliki uang untuk membeli. Pertanyaanya, apakah ini layak dilakukan? 

Jika melihat respons dari pasar saham pasca Erick mengeluarkan pernyataan Rabu (12/2), terlihat harga saham Telkom pada perdagangan Kamis (13/2) turun 1,83% menjadi Rp3.750 per saham. Sebelumnya naik tipis 0,26% menjadi Rp3.830 per saham setelah itu terus menurun, bahkan pada jumat (14/2) melorot terus melemah di zona merah sampai angka Rp 3.650 per saham.

Respons pasar ini harus menjadi pelajaran bagi pejabat publik untuk mengeluarkan komentar terkait BUMN, terutama yang menjadi penggerak Indeks Saham Gabungan (IHSG) dan satu-satunya yang tercatat di Bursa New York.

Erick boleh saja berkilah dirinya tengah menyentil Telkom, tetapi harus tetap mengukur dampaknya ke publik.

Bukankah sebagai Kuasa Pemegang Saham, Erick bisa setiap saat memanggil manajemen Telkom untuk melakukan pengawasan. Kenapa harus mengumbar sentilan di depan publik yang berujung pada terjengkangnya saham BUMN?
Kalau sudah begini siapa yang rugi?

@IndoTelko