JAKARTA (IndoTelko) - Pemerintah sudah membuka pendaftaran Program Kartu Prakerja.
Melalui Peraturan Presiden No 36/2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Prakerja, salah satu program unggulan Presiden Joko Widodo ini akan menjangkau 5,6 juta penerima manfaat dengan total anggaran Rp 20 triliun.
Apabila dirinci, manfaat Program Kartu Prakerja di 2020 yakni sebesar Rp3.550.000, terdiri dari bantuan pelatihan sebesar Rp1 juta dan insentif pasca pelatihan sebesar Rp600 ribu per bulan (untuk 4 bulan), serta insentif survei kebekerjaan sebesar Rp50 ribu per survei untuk 3 kali survei atau total Rp150 ribu per peserta. Setiap peserta program hanya dapat mengikuti program sebanyak satu kali.
Hingga hari Minggu 12 April 2020 pukul 16.00 WIB, atau 21 jam setelah pendaftaran dibuka, data mencatat jumlah yang melakukan Registrasi sebanyak 1.432.133, yang sudah melakukan Verifikasi Email sebanyak 1.063.028 (73,85%), yang sudah melalui Verifikasi NIK sebanyak 624.090 (43,65%), dan yang sudah mengambil program pelatihan atau Join Batch sebanyak 77.834 (5,43%).
Sasaran program Kartu Prakerja ini adalah para Pekerja, Pencari Kerja, dan Pelaku Usaha Mikro dan Kecil (UMK) yang terdampak oleh pandemi COVID-19. Pemerintah melakukan pendataan melalui Kementerian/Lembaga (K/L) dan Pemerintah Daerah, terutama melalui dinas-dinas Ketenagakerjaan, Pariwisata, Koperasi dan UKM, Perindag, dan juga pada sektor-sektor yang terdampak oleh pengurangan mobilitas masyarakat seperti transportasi dan ritel.
Lebih dari 900 pelatihan online dari beragam jenis dan tingkatan, mulai dari pemula sampai tingkat mahir akan tersedia di 8 digital platform yakni Tokopedia, Bukalapak, Skill Academy by Ruangguru, MauBelajarApa, HarukaEdu, PijarMahir, Sekolah.mu dan Sisnaker.
Nama Ruangguru menjadi sorotan tajam di kalangan pengguna media sosial karena Pendirinya adalah Adamas Belva Syah Devara yang sekarang menjadi Staf Khusus Milenial Presiden Republik Indonesia.
Pendiri Perhimpunan Pendidikan Demokrasi (P2D) Rachland Nashidik melalui akun Twitter @RachlanNashidik berkicau,"Perusahaan yang dipimpin stafsus Milienial Presiden jadi salah satu mitra pemerintah dalam menjual pelatihan online bagi peserta kartu prakerja. Total anggaran dari negara: Rp. 5.6 Triliun. Kini kita tahu apa guna pasal "kekebalan hukum" dalam Perppu Covid-19 itu," sindirnya.
Rachlan pun mengeluarkan beberapa cuitan yang menunjukkan kegemasannya dengan dugaan praktik tak taat Good Corporate Governance (GCG) itu.
Bagi peserta kartu prakerja, materi pelatihan online itu gratis. Negara yang bayar. Anggaran disiapkan Rp.5.6 Triliun. Duit segede itu diperebutkan 8 perusahaan aplikator yang ditunjuk. Jadi, bila dibagi, masing-masing aplikator punya potensi meraup 700 Miliar.
— Rachland Nashidik (@RachlanNashidik) April 14, 2020
Menggiurkan, sob?
"Bagi peserta kartu prakerja, materi pelatihan online itu gratis. Negara yang bayar. Anggaran disiapkan Rp.5.6 Triliun. Duit segede itu diperebutkan 8 perusahaan aplikator yang ditunjuk. Jadi, bila dibagi, masing-masing aplikator punya potensi meraup 700 Miliar. Menggiurkan, sob?" tanyanya.
"Pertumbuhan ekonomi dalam pandemi ini diprediksi minus. Bisnis terpuruk. PHK dimana-mana. Tapi negara malah menyediakan Rp. 5.6 Triliun untuk pelatihan online? Kebijakan ini bukan saja tak perlu tapi juga korup bila mitra yang ditunjuk adalah perusahaan milik stafsus Presiden," urainya.
Rachlan menyarankan agar pelatihan online itu dihapus dan menggunakan semua dana dari Rp20 triliun anggaran kartu prakerja untuk Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi rakyat yang sedang kesulitan.
"Tunjuk Bank Pemerintah menyalurkan BLT, bukan perusahaan fintech. Pecat stafsus korup!" tegasnya.
Pengamat politik Hendri Satrio melalui akun @satriohendri membuat satire,"Ada Negara Ada Amartha, Ada Ruangguru, Ada ada aja Silahkan diperbaiki ya! #Hensat," tulisnya.
Aktivis Bhagavad Sambadha melalui akun @fullmoonfolks menyatakan,"Misalnya pun ruang guru udah lebih dulu ikut serta dalam pelatihan pra-kerja, kalau waras ya presiden ngga nunjuk CEO nya jadi stafsus, atau (lalau waras juga) CEO nya menolak jabatan stafsus karena conflict of interest. Jangan dibalik jadi orang lain yang harus maklum," tulisnya.
Misalnya pun ruang guru udah lebih dulu ikut serta dalam pelatihan pra-kerja, kalau waras ya presiden ngga nunjuk CEO nya jadi stafsus, atau (lalau waras juga) CEO nya menolak jabatan stafsus karena conflict of interest. Jangan dibalik jadi orang lain yang harus maklum https://t.co/6IGBpXEYYm
— Bhagavad Sambadha (@fullmoonfolks) April 14, 2020
Bhagavad menanggapi cuitan dari Iman Sjafei di @imanlagi yang mengatakan, "Memang riskan, cuma ngga fair juga kalo karena Belva diangkat jadi stafsus, Ruang Guru jadi ga boleh ikut serta dalam pelatihan Kartu Pra-Kerja. #1, penunjukan Ruang Guru lebih dulu dibanding Belva jadi stafsus. #2, Ruang Guru juga market leader di sektor ini dan emg mumpuni," katanya.
Sayangkan
Pengamat Ekonomi Digital Heru Sutadi menyayangkan banyaknya berita miring terkait sepak terjang Staf Khusus Milenial yang dimiliki Presiden.
"Berita soal Stafsus ramai terus ini dalam beberapa hari terakhir. Saya pikir generasi milenial seharusnya adalah generasi pembaharu yang mengubah tradisi generasi kolonial dimana sering dicap memanfaatkan posisi untuk memperkaya diri (dan membesarkan usahanya)," keluhnya.
Menurutnya Presiden Jokowi perlu mempertimbangkan untuk meniadakan posisi staf khusus milenial di tengah Pandemi Covid-19 untuk menghemat anggaran."Hingga kini juga nggak jelas kerja dan tanggung jawabnya," sesalnya.
Pengamat Ekonomi Digital lainnya Mochammad James Falahuddin melihat konlik kepentingan memang kentara sekali dilakukan stafsus milenial Presiden.
"Ironisnya, itu semua dipertontonkan saat kita senegara sedang bertarung nyawa menghadapi pandemi Covid-19, yang dampaknya bukan hanya kesehatan, tapi juga secara ekonomi dan finansial. Tontonan ada sekelompok stafsus, yang notabene harusnya mereka ini orang-orang yang bebas kepentingan, malah berusaha mendapatkan keuntungan besar ditengah sebagian besar rakyat sedang berjuang mikir untuk makan besok gimana, tentu sangat menyakitkan. Dulu tahun 98, kita membenci orde baru karena Kolusi Korupsi Nepotisme (KKN) yang dipertontonkan sekarang ini ya bisa juga dikategorikan sebagai KKN, abuse of power,"tandasnya.(id)