Menjinakkan parasit digital

Risalah sidang Mahkamah Konstitusi Nomor 39/PUU-XVIII/2020 Perihal Pengujian Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran Terhadap UUD 1945 yang di tayangkan laman Mahkamah Konstitusi (MK), pada Jumat, (28/8) lumayan menarik untuk dibahas.

Dalam risalah tersebut, pemerintah melalui Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ahmad M. Ramli meminta kepada Majelis Hakim Konstitusi agar menolak permohonan pemohon, dalam gugatan yang diajukan RCTI dan iNews terkait Pasal 1 dan 2 Undang-undang (UU) Penyiaran. 

Menurut Ramli, karakteristik penyiaran dalam Undang-undang Penyiaran dengan subjek hukumnya adalah lembaga penyiaran, berbeda dengan karakteristik over the top (OTT) yang on demand melalui internet, serta wujud layanan yang sangat beragam dengan subjek hukumnya adalah perorangan, badan usaha atau badan hukum.

"Sehingga adalah wajar apabila terjadi perbedaan perlakuan, perbedaan dalam level playing field, dan perbedaan dalam pertanggungjawaban. Hal ini bukanlah suatu bentuk perlakuan yang tidak adil (unequal treatment) sebagaimana yang didalilkan oleh para pemohon," kata Ramli.

Begitu pula terhadap pengawasan materi siaran konten. Bagi lembaga penyiaran publik materi siaran untuk kepentingan publik diawasi oleh KPI. Sedangkan materi audio visual dalam OTT diawasi oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika, dengan cara penindakan berdasarkan laporan dari masyarakat dan pihak terkait sesuai dengan substansi konten OTT.

Sementara dalil pemohon yang menyatakan konten yang disediakan oleh penyedia layanan audio visual OTT atau internet tidak diawasi, kata Ramli, merupakan dalil yang keliru dan tidak berdasar sama sekali.

Terhadap informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik, atau konten internet, yang memiliki muatan melanggar hukum, bisa disanksi dengan Undang-Undang ITE dan Peraturan Pemerintah tentang PSTE dan memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk memutuskan akses informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang melanggar hukum.

Kemudian, adanya kewajiban bagi penyelenggara jasa telekomunikasi untuk memblokir konten yang melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan, sesuai dengan Peraturan Menteri Kominfo Nomor 13 Tahun 2019.

"Bahwa terhadap muatan konten yang dilarang untuk disediakan oleh layanan audio visual OTT telah diawasi dan diatur dalam Bab VII Undang-Undang ITE dari Pasal 27 sampai dengan Pasal 29 Undang-Undang ITE yang sanksinya diancam dengan pidana berdasarkan Pasal 45 Undang-Undang ITE," ujarnya.

Selain pengaturan pengawasan konten, penyedia layanan audio visual OTT juga dikenakan pajak berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 juncto Pasal 8 PP Nomor 80 Tahun 2019 tentang Perdagangan melalui sistem elektronik.

"Dengan demikian berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas, maka tidak terbukti dalil kerugian konstitusional para pemohon terhadap penerapan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Penyiaran dianggap telah dibacakan. Sehingga sudah sepatutnya Yang Mulia Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi menolak permohonan para pemohon," ujarnya.

Dalam gugatannya, RCTI dan iNews selaku pemohon, menyoal Pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran yang belum mencakup pengaturan penyiaran berbasis internet. RCTI-iNews sebagai lembaga penyiaran berbasis spektrum frekuensi radio yang tunduk kepada UU Penyiaran. Tapi, di sisi lain, banyak siaran yang berbasis internet tidak tunduk pada UU Penyiaran.

Pemohon mendalilkan ketentuan pasal ini telah multi-interpretasi yang pada akhirnya melahirkan kontroversi di tengah publik dan kerugian konstitusional bagi pemohon karena adanya unequal treatment. Karena itu, pemohon meminta agar penyedia layanan siaran melalui internet juga diatur dalam UU Penyiaran.

Isu OTT
Sepak terjang dari Over The Top (OTT) memang sudah lama menjadi pembahasan tidak hanya di industri penyiaran tetapi juga telekomunikasi sejak satu dekade lalu.

OTT adalah pemain yang identik sebagai pengisi pipa data milik operator. Seiring perkembangan, OTT digolongkan berbasis kepada aplikasi, konten, atau jasa.

Secara umum, pemain OTT ​bisa dibagi kedalam dua kelompok besar berdasarkan sumber pendapatan mereka, yaitu berdasarkan​subscription/transaction d​an​ advertising​. Nama-nama pemain seperti Netflix, iflix, Viu masuk dalam kelompok pertama. Sementara Youtube, Instagram, Facebook, masuk dalam kelompok kedua.

Dari sudut pandang pemain OTT, terutama global player, Indonesia merupakan pasar yang menjanjikan dengan jumlah​ populasi lebih dari 260 juta jiwa dan bonus demografi yang dimiliki dengan potensi ekonomi digital mencapai US$300 miliar pada tahun 2025. Tentu saja merupakan hal yang wajar apabila OTT cukup agresif memanjakan pengguna internet.

Namun, ibarat api dalam sekam, sebenarnya ada masalah besar yang terpendam terkait model bisnis dari OTT dimana hingga sekarang regulasi baik di penyiaran ataupun telekomunikasi belum mampu mengakomodir.

Pelaku usaha di sektor telekomunikasi selalu berteriak adanya ketidakadilan dan kesetaraan berusaha dimana banyak layanannya diduplikasi oleh OTT tetapi tak terjerat regulasi layaknya pemilik jaringan.

Kecemburuan pemain telekomunikasi makin menjadi karena mereka dibebani Servicel Level Agreement (SLA) dan pembangunan jaringan, sementara hal ini tak terjangkau oleh regulasi ke OTT. Singkatnya, operator selalu mengibaratkan pemain OTT ibarat parasit yang "numpang" hidup di jaringannya.

Hal sama terjadi di penyiaran. Pemilik stasiun televisi dibelenggu sejumlah regulasi seperti yang disuarakan RCTI dan iNews dalam tuntutannya, sehingga teriakan meminta "penjinakkan" terhadap para OTT ini semakin kencang disuarakan hingga dibawa ke ranah MK.

Solusi
Banyak kalangan mengatakan jika dilihat secara substansi, gugatan yang dilayangkan dua stasiun televisi itu akan berat untuk dikabulkan karena sejak awal UU Penyiaran itu sifatnya broadcasting dan analog.

Solusinya untuk mengatur di luar penyiaran seperti konsep yang broadcasting dan analog, apakah itu OTT atau TV digital diperlukan aturan baru berupa UU Revisi atau UU yang sama sekali baru.

Hal yang menjadi masalah adalah, revisi UU Penyiaran sejak lima tahun belakangan dalam posisi tarik menarik kepentingan terhadap isu migrasi TV Digital, Single Mux atau Multi Mux.

Pemerintah berusaha membuat terobosan dalam inisiatif RUU Cipta Kerja sektor penyiaran dengan memasukkan batas akhir Analog Switch Off (ASO). Tetapi apakah ini bisa menjadi solusi? Jawabannya tidak. Pasalnya, pengaturan penyiaran digital tidak bisa dilakukan secara parsial hanya dengan mengubah 1 atau beberapa pasal saja baik melalui RUU Cipta Kerja atau Putusan MK.

Solusi jangka pendek yang bisa dilakukan adalah melirik kembali Rancangan Peraturan Menteri (RPM) Tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet (Over The Top/OTT).

Pembahasan dari RPM ini bisa menjadi titik temu kepentingan antara operator telekomunikasi, pemain penyiaran, dan OTT dimana pemerintah menjalankan fungsinya sebagai fasilitator dan regulator bagi pelaku usaha untuk menegakkan kedaulatan di era digital.

Membiarkan terjadinya adu debat di media antara kelompok masyarakat hanya menguntungkan para OTT, tetapi sebagai bangsa kita mengalami kerugian besar karena tak mampu menjinakkan para pemain asing di ranah digital.

@IndoTelko