JAKARTA (IndoTelko) - Pandemi COVID-19 mungkin telah menghentikan perjalanan domestik dan internasional, tetapi sebagian besar kehidupan manusia berlanjut dan bergeser dari dunia fisik ke dunia virtual.
Penelitian terbaru oleh Kaspersky menunjukkan enam dari 10 pengguna internet dari Asia Tenggara menyadari waktu online mereka meningkat dibandingkan sebelumnya. Meskipun begitu, hal ini gagal menjadikan keamanan internet sebagai prioritas mereka, terbukti sebanyak 38% tidak menghiraukannya akibat kesibukan selama masa lockdown
Berjudul “More connected than ever before: how we build our digital comfort zones”, survei yang dilakukan di antara 760 orang yang diwawancarai dari wilayah Asia Tenggara pada Mei lalu menggali lebih dalam tentang bagaimana pengguna menciptakan ruang yang aman dan terhubung ke internet selama masa penguncian akibat pandemi global.
“Studi baru kami ini menunjukkan bahwa sebagian besar pengguna di kawasan ini sekarang menghabiskan antara lima hingga 10 jam untuk online per hari, yang tentunya bukan hal yang mengejutkan. Asia Tenggara selalu menjadi rumah bagi negara-negara dengan pengguna World Wide Web yang masih muda dan sangat aktif. Perbedaannya adalah aktivitas online kita kini dilakukan di dalam rumah, mulai dari rapat kerja, belanja, transaksi keuangan, kegiatan sekolah, komunikasi sosial, dan masih banyak lagi. Ini sekaligus menunjukkan bahwa betapa banyak manfaat dari teknologi yang telah diperoleh, serta mengajarkan kita agar dapat mengamankan jaringan rumah dari ancaman online berbahaya,” komentar General Manager Asia Tenggara Kaspersky Yeo Siang Tiong.
Menurut laporan Kaspersky tersebut, lima aktivitas paling umum responden di Asia Tenggara yang bergeser dari dunia fisik ke dunia online adalah berbelanja (64%), streaming konten dan game online (58%), bersosialisasi dengan keluarga dan teman (56%), transaksi keuangan (47%), dan mengikuti tutorial online (39%).
Meski merasa nyaman melakukan seluruh aktivitas tersebut di masa pembatasan sosial, namun hal ini juga memicu kekhawatiran dari para pengguna internet di wilayah Asia Tenggara. Khususnya, sebagian besar responden (81%) lebih mengkhawatirkan kencan online daripada pertemuan fisik, membuktikan bahwa para lajang di kawasan Asia Tenggara masih lebih memilih untuk bertemu secara langsung dengan calon pasangan.
Sebanyak 69% lainnya khawatir melakukan transaksi keuangan secara online dan 62% merasa tidak nyaman dalam hal mengadakan rapat kerja virtual. Jaringan online juga menjadi perhatian enam dari 10 responden begitu pula bersosialisasi dengan teman dan keluarga (54%).
Saat ditanya tingkat kekhawatirannya, 42% responden mengaku takut jika seseorang mengakses detail keuangannya melalui perangkat. Beberapa (37%) khawatir tentang dokumen pribadi mereka dapat diakses oleh pihak ketiga, sementara 35% lainnya khawatir tentang seseorang dapat mengambil kendali perangkat mereka melalui koneksi internet yang tidak aman.
Spyware, perangkat lunak yang diinstal tanpa persetujuan Anda, baik itu komputer tradisional, aplikasi di peramban web, atau aplikasi seluler yang berada di perangkat, memicu kekhawatiran bagi tiga dari 10 pengguna online dari Asia Tenggara sementara 30% lainnya mencari tahu organisasi, situs web, atau seseorang yang dapat melacak lokasi keberadaan mereka.
“Kekhawatiran yang kami ungkapkan dalam penelitian telah membuktikan bahwa ada kesadaran yang berkembang terhadap kekejaman serangan dunia maya. Namun, studi yang sama juga menunjukkan bahwa masih ada 37% pengguna internet di wilayah ini merasa mereka tidak berisiko karena menganggap masih ada (profil) orang lain yang lebih menarik bagi para para pelaku kejahatan siber. Pemikiran seperti ini tidak bisa dibiarkan dan harus dihentikan. Ini adalah waktu yang tepat untuk mengevaluasi dengan baik pertahanan kehidupan digital yang telah kita bangun dan menempatkan keamanannya di antara berbagai prioritas utama yang kita miliki,” tambah Yeo.(ak)