JAKARTA (IndoTelko) - Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyebutkan ekonomi Indonesia terkontraksi 5,32% di kuartal II 2020, sudah diramalkan bakal terjadi.
Pandemi Covid-19 tidak hanya menyebabkan korban jiwa, namun juga menekan daya beli masyarakat dan anggaran belanja pemerintah yang selama ini jadi penggerak utama roda ekonomi.
Nyaris seluruh sektor industri memasuki periode krisis karena merosotnya penjualan. Menurut data BPS hanya beberapa sektor saja yang justru mendapat berkah dari pandemi karena layanan dan produknya justru banyak dicari. Sebut saja sektor telekomunikasi, jasa keuangan, pertanian, jasa pendidikan, dan farmasi. Selain sektor yang disebutkan itu, semua pelaku industri mati-matian melakukan penghematan agar tidak gulung tikar akibat pandemi.
Namun, tidak ada yang menyangka PT Pindad (Persero), badan usaha milik negara (BUMN) yang identik sebagai produsen kendaraan dan persenjataan militer, mampu bertahan dari hantaman Covid-19. Bahkan direksi perseroan memproyeksi masih dapat menghasilkan laba sampai akhir 2020 di kisaran Rp80 miliar sampai Rp90 miliar.
Kemampuan Pindad untuk beradaptasi dengan tantangan Covid-19, tidak lepas dari strategi bisnis yang didesain Abraham Mose, sang Direktur Utama.
Ia berhasil merintis diversifikasi produk di Pindad, dengan mendirikan Direktorat Bisnis Industrial di tahun pertama dirinya memimpin perseroan pada 2016 lalu.
Alhasil, perusahaan yang bermarkas di Kota Kembang, Bandung itu tidak hanya mengandalkan pemasukan dari penjualan kendaraan dan senjata militer, namun juga alat-alat berat sampai peralatan kesehatan yang terbukti ampuh memperkokoh fundamental bisnis perusahaan di tengah pandemi.
IndoTelko berkesempatan berbincang dengan pria kelahiran Gorontalo, 55 tahun silam itu di Kantor Perwakilan Pindad di Jakarta, pada Rabu (3/9) kemarin.
Di mana ia banyak menuturkan rencana bisnis Pindad yang dirancangnya, serta target-target perusahaan di masa depan. Berikut nukilannya:
Apa yang sudah Anda lakukan selama 4 tahun terakhir memimpin Pindad?
Saat saya masuk Pindad tahun 2016, saya lihat ada sesuatu yang kuat sekali dan lemah sekali namun bisa diperbaiki.
Kekuatan utama Pindad di sisi inovasi dan militansi kerja. Karena budaya militernya kuat sekali, semua karyawan militan. Jadi kalau disuruh buat sesuatu, mereka akan sungguh-sungguh dan akan berhasil. Tetapi bisa dijual atau nggak, itu urusan nanti.
Bikin pistol, bangga sudah dipakai, bangga sudah jadi tapi jualnya nggak ngerti seperti apa. Sisi komersil Pindad kurang. Sementara saya berpandangan kita ini kan korporasi, bisnis, yang harus bicara tidak hanya inovasi tetapi bisa menjual dan memberikan margin ke perusahaan untuk meningkatkan kesejahteraan. Karena Pindad sebagai BUMN, harus melakukan investasi, membuka varian produk baru. Itu yang saya ubah.
Artinya ada budaya kerja yang sudah baik, lalu Anda poles dari sisi komersil?
Jadi saya mengubah mindset untuk kasarnya kita harus mengubah dari yang tadi cost center menjadi profit center.
Kita punya divisi yang bergerak di supporting. Dulu IT di Pindad sifatnya hanya supporting. Hanya bikin aplikasi inhouse untuk Pindad. Merepair komputer yang rusak, jumlah pegawainya berapa.. 50 orang! Buat apa dibayar gaji 50 orang, kerjanya supporting. Harus menjadi profit center. Caranya gimana, anda harus bisa menjual aplikasi ini keluar.
Kita dulu juga punya divisi repair and services, itu yang memperbaiki mesin-mesin kendaraan tempur yang rusak. Dia yang perbaiki. Setelah itu dipakai lagi, habis itu mekaniknya dia duduk lagi. Buat apa? Kamu harus bikin mesin amunisi, kamu jual.
Sehingga semua divisi saya minta menjadi profit center. Begitu juga pusat training, dulu malah punya apparentice atau sekolah yang sempat ditutup. Sekarang saya bangkitkan lagi, agar terbentuk yang namanya korpus Pindad. Itu cikal bakal menjadi Pindad University. Jadi dia bukan hanya melatih pegawai, tetapi bagaimana dia menjual metode militansi kerja di Pindad keluar.
Ternyata banyak yang datang ke Pindad. Kita mau kirim dokter dan suster tugas keluar negeri, ada yang minta dilatih bela negara, bagaimana militansi militernya. Banyak juga yang datang untuk belajar pembuatan pistol, amunisi, dan lain-lain. Ya kita latih. Konsep edukasi ini saya ubah dari cost center jadi profit center.
Ada hasil signifikan dengan yang Anda lakukan?
Tadinya saya masuk, Pindad hanya laba Rp 40 miliar, itu bisa melejit di akhir 2016 menjadi Rp 52 miliar. Lalu di tahun 2017 jadi Rp 92 miliar, di 2018 laba Rp 100 miliar, dan di 2019 bertambah Rp 101 miliar.
Begitu juga revenuenya. Dari hanya Rp 2,5 triliun, kita sekarang sudah bermain di Rp 8 triliun sampai Rp 10 triliun.
Bagaimana caranya bisa signifikan seperti itu?
Apa yang kami lakukan? Tentunya transformasi bisnis, itu dasarnya inovasi. Kalau dasarnya inovasi kita kuat, tentu bisa kita jual dan akan memberikan margin bagi perusahaan.
Jadi yang saya lakukan adalah merombak organisasi, melakukan transformasi bisnis, serta mencanangkan tahun inovasi di Pindad.
Dalam beberapa kesempatan, Anda mengungkapkan adanya balancing produksi alat pertahanan dengan alat industrial. Apa tujuannya?
Misinya begini, jumlah karyawan Pindad itu ada 2.600 orang. Di Bandung ada 1.600 orang, di Malang 1.000 orang jika ditambah dengan outsource. Jadi cukup banyak ya.
Mesin-mesin Pindad ini, dari tahun 1808 sudah ada. Sudah 200 tahun lebih.. hahaha. Sudah bisa bikin amunisi, sudah pintar-pintar bikin senjata, dan kendaraan tempur.
Nah, ada beberapa mesin yang masih bisa dipakai dan kuat. Karena tadi itu, kita punya divisi yang memperbaiki. Jadi selalu di maintain bagus.
Sementara kita kan sudah masuk ke era industri 4.0. Kita sudah harus memodernisasi mesin untuk kecepatan produksi, untuk presisi, agar failure rate nya itu rendah, dan lain-lain. Mau nggak mau dilakukan otomatisasi.
Sehingga mesin-mesin lama yang masih bisa digunakan ini mau kemana? Orang-orang yang punya kemampuan mengoperasikan mesin itu mau kemana? Maka dibangunlah Direktorat Industrial.
Tugasnya membangun produk-produk industrial, dengan basis spesifikasi militer. Walaupun spesifikasi industrial itu kan tidak sama dengan spesifikasi militer. Tetapi mereka kan punya kemampuan membuat produk industrial yang kurang lebih sama dengan produk militer.
Misalnya kita bikin excavator dari teknologi amphibious kita. Kita mengadopsi alat-alat pertanian yang bahan baku komponennya mengadopsi dari produk militer.
Ternyata, begitu kita masuk pasar industrial itu sangat terbuka. Karena produk-produk industrial itu kebanyakan dari luar. Sekarang kita bicara excavator saja, ada Komatsu, Kubota, Kobelco, lalu China punya Sany, Doosan dari Korea. Mana Indonesia? Nggak ada!
Inilah waktunya kita masuk dengan branding Pindad Excava200. Luar biasa respons marketnya. Sehingga dengan melihat adanya potensi yang besar ini, kita bikin varian yang lain, dengan kapasitas 5 ton, 13 ton, varian excavator amphibious, alat pertanian rota tanam, alat pertanian multiguna, harvester, dan lain-lain. Eh, ndilalah sekarang program pemerintah untuk food estate, kita ada disitu.
Sehingga kemarin waktu ada kunjungan Wamenhan, beliau minta Pindad juga ikut membantu program food estate. Kan ini gayung bersambut ya.
Akhirnya idle capacity di Pindad itu, baik dari sisi sumber daya manusia, maupun dari mesin, itu bisa terpenuhi. Dengan begitu, saya membangun kompetisi antar direktorat. Bukan berarti bisnis military nya kita tinggalin, karena military itu sudah jadi darah dan core business Pindad sehingga bisa mandiri dan menjadi Top100 company di industri pertahanan dunia.
Abraham Mose dan Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu Trenggono
Apa target Anda dari bisnis peralatan industrial ini?
Saya mau industrialnya tumbuh, supaya kita bisa mengambil alih pasar yang dari Jepang, China, Korea untuk industri alat berat.
Karena luas sekali pasarnya. Nyediain truk angkut prajurit sampai 1.000 unit, ngapain lagi dari luar. Dulu Indonesia punya brand Perkasa, tetapi kan mati.
Sehingga goal paling akhir kita adalah bagaimana Indonesia punya pabrik engine, sehingga tidak perlu impor lagi. Misalnya merek engine-nya Garuda. Luar biasa, kenapa nggak? Karena kemampuan itu ada.
Komposisi revenue dari military dan industrial saat ini berapa?
Sekarang 70 : 30. Target saya 50 : 50. Tapi bukan berarti military-nya turun, tetapi industrialnya harus bisa menguasai sampai 50% pangsa pasar. Military harus bisa jadi Top100.
Sektor apa saja yang jadi target alat industrial Pindad?
Sektor pertanian, kehutanan, konstruksi, pembukaan lahan baru, jalan-jalan tol, infrastruktur, dan lain-lain.
Roadmap sudah kami siapkan untuk beberapa tahun ke depan. Misalnya excavator sekarang kalau lihat di kantor kami di Bandung, sudah penuh sekali. Sehingga kami sedang mencari lahan baru di luar area kantor kami, khusus untuk direktorat alat berat. Karena kita tidak mau hanya bermain di excavator, tetapi juga di transporter, alat angkut, kemudian jembatan belly yang digunakan TNI untuk menyebrang sungai, kemudian alat pertanian, petik sawit, alat pengolahan tanah, yang sampai sekarang kita masih impor dari China, Korea.
Bagaimana Anda menyikapi Covid-19 dan strategi apa yang disiapkan untuk survive?
Jadi di awal Maret 2020 itu mulai masuk Covid, langsung kami melakukan cost cutting atau efisiensi. Apa saja yang kita lakukan? Pertama yang kami potong adalah rencana investasi jangka panjang. Kita tunda.
Tetapi yang menjadi kebutuhan tahun 2020 bahkan sebagian 2021 itu tetap kita jalankan. Jadi dengan efisiensi itu, kita masih tetap menargetkan ada laba. Dari yang tadinya kita targetkan sebesar Rp 100 miliar sampai Rp 150 miliar, kita turunkan jadi Rp 80 miliar sampai Rp 90 miliar.
Bagi saya ini sudah suatu prestasi, ini masih feasible. Artinya dalam kondisi begini, kita Alhamdulillah masih dapat pekerjaan yang banyak.
Menhan sudah order ke kita 4 miliar butir peluru, lalu 500 kendaraan taktis ringan Maung, kemudian alat-alat pertanian, alat berat. Kita paling tidak tahun ini sudah memulai untuk membeli komponen, membeli material untuk persiapan produksi amunisi, kendaraan tempur, dan alat pertanian.
Disamping itu, tentunya mudah-mudahan Covid sudah selesai di tahun 2021 kita sudah harus menyiapkan investasi untuk menambah kapasitas produksi amunisi menjadi 1 miliar butir per tahun. Sekarang baru 300 juta butir per tahun.
Kemudian fasilitas kendaraan taktis ringan kita akan buka, lalu fasilitas baru untuk alat berat tadi akan kita buka juga.
Menurut data BPS kinerja industri kesehatan, telekomunikasi meningkat selama pandemi. Kalau tidak salah Pindad juga mengembangkan ventilator, apakah ada update terbaru?
Ventilator kita siapkan tiga tipe. Tipe pertama itu kita sebut resusitator, karena menggunakan teknologi ambu bag. Lalu versi kedua ventilator Continuous Positive Airway Pressure (CPAP). Ketiga CPAP kita kerjasama dengan Universitas Indonesia.
Versi pertama sudah selesai. Sudah uji di Balai Pengamanan Fasilitas Kesehatan (BPFK) Kementerian Kesehatan. Tetapi karena konstruksinya besar dan terlalu berat, kita ubah ke versi kedua. Nah versi kedua dari BPFK sudah selesai, saat ini lagi uji klinis karena kami akan serahkan ke Menteri Pertahanan untuk diserahkan ke rumah sakit milik Angkatan Darat.
Setelah itu kita akan segera lakukan produksi massal. Mudah-mudahan Minggu depan uji klinisnya sudah selesai, dan rencananya akan ada pembelian dari Kementerian Pertahanan untuk ventilator versi kedua itu. Kurang lebih pembelian 1.500 unit dulu di tahap pertama. Mudah-mudahan bisa ke 3.000 sampai 4.000 pemesanan.
Kemudian versi ketiga, masih uji klinis. Kalau sudah selesai, penjualannya di segmen yang lain. Bisa langsung jual ke rumah sakit dan puskesmas di daerah. Harganya jauh lebih murah dibanding yang impor. Tipe satu itu harga Rp 25 juta, tipe kedua kita jual Rp 35 juta sampai Rp 37 juta, tipe ketiga Rp 55 juta. Disamping itu, saya juga menyiapkan CSR untuk memberikan ventilator kepada rumah sakit-rumah sakit yang membutuhkan.(GPJ)