Undang-undang Cipta Kerja (Ciptaker) yang telah berlaku pasca ditandatangani Presiden Joko Widodo mulai memasuki babak baru.
Masing-masing Kementrian mulai membahas aturan pelaksana berupa Peraturan Pemerintah (PP) hingga Keputusan Menteri (KM) untuk mengimplementasikan klaster-klaster industri yang diatur dalam UU Ciptaker.
Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) pun tak tinggal diam dengan menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah Tentang Pelaksanaan Sektor Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran.
UU Ciptaker memang mengubah beberapa pasal kruisal di tiga UU yakni Telekomunikasi, Pos, dan Penyiaran.
Ada 3 hal fundamental dari UU Ciptaker yang berpengaruh ke bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK), yakni menembus kebuntuan regulasi, implementasi Analog Switch Off (ASO) di tahun 2022, dan pencegahan inefisiensi frekuensi dan infrastruktur pasif.
Di dalam UU Ciptaker memang diakomodasi soal berbagi frekuensi yang dijaga persaingannya dengan tarif batas atas dan bawah.
UU Ciptaker mengubah Pasal 33 UU Telekomunikasi dengan memasukkan diantaranya aturan tentang: Pemegang Perizinan Berusaha terkait penggunaan spektrum frekuensi radio untuk penyelenggaraan telekomunikasi dapat melakukan:
a. kerjasama penggunaan spektrum frekuensi radio untuk penerapan teknologi baru; dan/atau
b. pengalihan penggunaan spektrum frekuensi radio, dengan penyelenggara telekomunikasi lainnya.
Kerjasama penggunaan dan/atau pengalihan penggunaan spektrum frekuensi radio wajib terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari Pemerintah Pusat.
Hanya 5G?
Kata "Teknologi Baru" ini menjadi polemik yang hangat antar operator.
Sebagian operator mengatakan, pengertian teknologi baru adalah teknologi yag belum obsolete alias kadaluarsa.
Hal ini berarti teknologi 4G masih merupakan teknologi baru karena belum kadaluarsa sehingga masih bisa dilakukan kerjasama penggunaan spektrum frekuensi radio.
Argumen ini dibantah oleh Anggota Panitia Kerja Baleg RUU Cipta Kerja Arteria Dahlan yang meminta agar jangan ada lagi pihak-pihak tertentu yang menafsirkan lain dari kerjasama penggunaan spektrum frekuensi radio.
Menurutnya teknologi baru yang dimaksud dari UU Cipta Kerja untuk frekuensi selular adalah untuk penggelaran layanan teknologi 5G. Bukan untuk teknologi yang sudah diimplementasikan sebelum UU Cipta Kerja ini disahkan.
Arteria meminta semua pihak memahami terlebih dahulu konsep spectrum sharing di dalam UU Cipta Kerja.
Konsepnya adalah dengan UU Cipta Kerja ini diharapkan dapat menciptakan tenaga kerja baru dan mendatangkan investasi. Agar pemulihan ekonomi nasional lebih cepat. Sehingga kerjasama penggunaan spektrum frekuensi radio diharapkan dapat mendukung cita-cita Presiden Jokowi.
Alasan yang dikemukakan oleh DPR ini tentu bisa diperdebatkan mengingat tidak ada sebutan "5G" di UU Ciptaker.
Inilah "lobang" yang wajar dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang menginginkan berbagi frekuensi berlaku untuk teknologi agnostik.
Berdebat alasan pun bisa diajukan jika melihat 4G baru massif di Indonesia 5 tahun lalu dan hingga sekarang modul untuk 4G terus diperbarui.
Alasan politis pun bisa diajukan dengan menyatakan bahkan proyek BTS Sinyal milik Kominfo pun menetapkan standar 4G.
Alhasil, diprediksi perdebatan tentang ijin "berbagi frekuensi" ini akan panjang dalam pembuatan RPP nantinya.
Hal yang pasti, jika berbagi frekeunsi diijinkan untuk teknologi "lama", pada 2016 Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) mengkalkulasi ada potenstial loss atas revenue industri telekomunikasi sebesar Rp 14 triliun.
Estimasi terjadinya potential loss atas revenue industri sebesar Rp 14 triliun akan mengakibatkan terjadinya penurunan kontribusi Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) sebesar Rp 245 miliar (1,75% x Rp 14 triliun), penurunanan penerimaan PPN sebesar Rp 1,4 triliun (10% x Rp 14 triliun), dan PPh Badan sebesar Rp 559 miliar (25% x Rp 14 triliun).
Tak hanya itu, jika network sharing diwajibkan berdampak pada turunnya daya saing perusahaan yang dipaksa berbagi, dan menurunkan dividen sebagai bagian keuntungan pemerintah.
Dampak lain mungkin terjadi adalah multiplier effect karena turunnnya belanja modal dan beban operasional yang berakibat pada berkurangnya kue ekonomi bagi industri pendukung sektor telekomunikasi.
Terakhir, frekuensi sharing juga akan menyebabkan monetisasi frekuensi di secondary market dan mengakibatkan efek ganda turunnya PNBP.
Pertanyaannya, apakah berbagi frekuensi di 5G tak akan berpotensi menurunkan juga penerimaan negara?
Cerita manis akan datangnya investasi baru karena operator membangun 5G bukannya itu sebuah keniscayaan ketika teknologi baru hadir?
Jika sudah begini, dipastikan mengunci aturan berbagi frekuensi di tataran regulasi tak akan efektif. Hal ini mengingat sifat dari teknologi itu selalu berubah sementara aturan selalu kedodoran mengikuti.
@IndoTelko