JAKARTA (IndoTelko) – Kaspersky baru saja menggelar Forum Kebijakan Online Asia Pasifik (APAC Online Poilicy Forum) II bertajuk “Guardians of the Cyberspace: can justice always prevail?" atau dalam bahasa berarti “Penjaga Dunia Maya: Dapatkah Keadilan Selalu Menang?”.
Dalam konferensi ini menampilkan pakar industri dan kebijakan terkemuka dari berbagai Negara antara lain : Nguyen Huy Dung, Wakil Menteri, Kementerian Informasi dan Komunikasi, Pemerintahan Sosialis Republik of Vietnam, Nur Achmadi Salmawan, Direktur Proteksi Infrastruktur Informasi Kritikal Nasional Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN), Indonesia, Ms. Azleyna Ariffin, Principal Assistant Director, National Cyber Security Agency, Malaysia, Dr. Greg Austin, Professor of Cyber Security, Strategy and Diplomacy, University of New South Wales; dan Ahli untuk Cyber, Space and Future Conflict, International Institute for Strategic Studies.
Acara ini dibuka oleh Eugene Kaspersky, CEO di Kaspersky, di mana ia mendalami lanskap ancaman keamanan siber terbaru dan tren yang telah diperkuat oleh kehadiran pandemi.
Secara khusus, Kaspersky mencatat pergeseran target pelaku kejahatan siber - dari ponsel cerdas dan perangkat pribadi ke sistem kontrol industri (ICS) dan Internet of Things (IoT). Kaspersky juga berbagi perspektif sektor swasta untuk mengatasi tantangan dalam membangun transformasi digital yang memiliki kekokohan dan keamanan siber di Asia Pasifik.
Dikatakan Kaspersky, sejak awal penguncian sosial atau masa karantina, pihaknya telah mengamati bagaimana lanskap keamanan siber global dipengaruhi oleh pandemi. Di satu sisi, orang-orang berisiko lebih besar mengalami ancaman dunia maya karena mereka bekerja dari jarak jauh dan menghabiskan lebih banyak waktu untuk online.
“Di sisi lain, ada lebih banyak pelaku kejahatan siber, dan mereka semakin terampil dan berpengalaman. Pada tahun 2020 kami melihat deteksi file berbahaya yang unik meningkat 20 hingga 25 persen sehari. Dan hari ini, peneliti kami juga memantau dengan cermat lebih dari 200 grup aktor ancaman dunia maya yang bertanggung jawab atas serangan yang sangat ditargetkan terhadap bank, pemerintah, atau infrastruktur penting negara,” terangnya.
Tidak kurang dari 1.000 peserta hadir dalam acara ini, termasuk pejabat C-level dari berbagai sektor, pejabat tinggi pemerintah, dan anggota media. Forum ini menggarisbawahi bagaimana kebijakan dan strategi dibentuk di kawasan Asia Pasifik, bagaimana kebijakan serta strategi tersebut tetap relevan dan efektif di tengah keberlanjutan pergeseran lanskap ancaman di wilayah ini, dan bagaimana pemerintah dapat selangkah lebih maju dari para pelaku kejahatan siber.
Sementara itu Wakil Menteri Kementerian Informasi dan Komunikasi Vietnam (MIC) Nguyen Huy Dung, mendapat kesempatan untuk berbagi tentang bagaimana negara tersebut telah melakukan langkah-langkah aktif untuk mengamankan ruang sibernya, yang mencakup penetapan undang-undang, standar, dan cetak biru keamanan siber nasional di seluruh organisasi pemerintah dan swasta. “Tidak ada yang bisa mengatasi ancaman dunia maya sendirian. Tidak ada yang bisa aman sendirian, ” tegasnya.
Dung menyoroti model perlindungan empat lapis di Vietnam yang melibatkan tim internal (lapis pertama), layanan keamanan siber 24/7 oleh penyedia profesional (lapis kedua), audit keamanan independen (lapis ketiga), dan pemantauan independen. oleh Pusat Keamanan Siber Nasional (NCSC) Otoritas Keamanan Informasi, Kementerian Informasi dan Komunikasi (lapisan ke-4).
Sedangkan Profesor Keamanan Siber, Strategi, dan Diplomasi di Universitas New South Wales, Greg Austin, mengungkapkan hubungan penting antara pembangunan kapasitas keamanan siber dan investasi dalam pendidikan. “Secara global kita belum menghasilkan cukup profesional keamanan siber,” kata Dr. Austin.
Austin mengatakan, sebagian besar negara tidak siap untuk melakukan investasi pada pendidikan demi ambisi keamanan siber yang mereka bicarakan. Transformasi digital dan pembangunan kapasitas pertahanan harus mencakup transformasi pendidikan.
Ia juga mencatat bahwa strategi keamanan siber Australia 2020 akan menginvestasikan 26 juta untuk pendidikan dari total anggaran $ 1,67 miliar yang dialokasikan, selama lebih dari 10 tahun untuk mencapai visi menciptakan dunia online yang lebih aman bagi warga Australia, bisnis mereka, dan layanan penting lain diatasnya.
Austin menyarankan lulusan dari perguruan tinggi dan universitas harus dihadapkan pada simulasi kehidupan nyata, latihan, dan urgensi untuk meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka tentang keamanan siber.
Di kesempatan yang sama, Principal Assistant Director, National Cyber Security Agency (NACSA) Malaysia Azleyna Ariffin menegaskan kebutuhan akan para ahli dan itu harus menjadi bagian dari strategi suatu negara.
“Kita juga perlu fokus pada pengembangan keterampilan dan pengetahuan dalam keamanan siber sehingga akan menjadi kerjasama yang lebih efektif jika kita memiliki tingkat keterampilan dan pemahaman yang sama terkait dengan ancaman dan keamanan siber,” kata Ariffin.
Ini adalah salah satu prioritas utama Strategi Keamanan Siber Malaysia 2020-2024, yang diumumkan Oktober lalu, dengan alokasi anggaran $ 434 juta dan lima pilar untuk meningkatkan manajemen dan kemampuan keamanan siber negara tersebut.
Ariffin menambahkan, selain pendidikan formal, perlunya meningkatkan kesadaran masyarakat luas tentang bahaya yang mengintai online. Dia mencatat bahwa NACSA bermitra secara aktif dengan Kementerian Pendidikan dan Kementerian Komunikasi dan Multimedia di Malaysia untuk menyebarkan pesan secara strategis.
Sedangkan Direktur Infrastruktur Informasi Kritis Nasional, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) Nur Achmadi Salmawan, setuju dan berbagi bahwa BSSN juga melibatkan beberapa instansi pemerintah, akademisi, dan masyarakat untuk menyebarkan kesadaran keamanan siber di masyarakat Indonesia.
Berfokus pada perlindungan kepentingan nasional dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional, ia menyoroti bahwa pada Desember lalu BSSN telah meluncurkan Rancangan Strategi Keamanan Siber Nasional untuk negara. Strategi tersebut ditujukan untuk memerangi ancaman teknis dan bahkan ancaman sosial di Indonesia.
Nur menambahkan, media sosial menjadi senjata bagi organisasi dan individu untuk memanipulasi informasi demi kepentingannya sendiri. Penting untuk menginformasikan kepada masyarakat bagaimana menggunakan internet dengan benar dan aman. (sg)