JAKARTA (IndoTelko) – Disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2021 tentang Pos, Telekomunikasi, dan Penyiaran (Postelsiar) dinilai tumpul terhadap pelaku Over The Top (OTT) global. Aturan pelaksana Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja disebut hanya memberikan aturan main secara umum bagi OTT asing dalam menyediakan konten bagi pasar Indonesia.
Bagi Direktur Lembaga Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat Informasi (LPPMI) Kamilov Sagala, PP Postelsiar masih memberi kebebasan bagi OTT asing untuk berbisnis di Indonesia.
PP Postelsiar hanya menyatakan kerja sama pelaku usaha nasional maupun asing yang menjalankan kegiatan usahanya melalui internet dengan penyelenggara jaringan/jasa telekomunikasi, dilaksanakan berdasarkan prinsip adil, wajar, nondiskriminatif, serta menjaga kualitas layanan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
“Tidak disinggung mengenai pajak digital, yang mana hal itu sangat menguntungkan OTT asing. Dengan tidak diaturnya pajak digital ini, negara akan terus merugi karena devisa mengalir keluar,” kata Kamilov saat menjadi pembicara webinar ‘Menuju Kompetisi yang Sehat di Industri ICT Pasca PP Postelsiar’ yang digelar IndoTelko Forum, Rabu (24/3/2021).
Menurut mantan anggota Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) itu, sudah menjadi rahasia umum kalau pelaku usaha OTT asing raksasa seperti Facebook bisa meraup duit triliunan rupiah per bulan dari Indonesia tanpa adanya kewajiban membayar pajak.
“Facebook bisa meraup triliunan dari Indonesia. Ini kemana pajaknya? Sementara OTT asli Indonesia sejak awal berdiri sudah dikenakan pajak. Ini sedih kita, artinya sama saja membunuh anak sendiri,” imbuhnya.
Menurutnya, salah satu cara untuk menilai sektor industri bermanfaat atau tidak bagi negara dan masyarakat bisa dilihat dari sisi perpajakan.
“Kita memang perlu bekerjasama dengan OTT asing. Tetapi pemerintah seharusnya bisa memperhatikan, mana yang menguntungkan bagi negara? Karena saat ini operator telekomunikasi tidak mendapatkan hasil dari infrastruktur yang dibangunnya dengan biaya mahal. Sementara OTT yang menggunakannya dapat triliunan per bulan, tanpa kita tahu pembayaran pajaknya demi kepentingan masyarakat seperti apa,” kata Kamilov.
Karpet Merah OTT Asing
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Pusat Kajian dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Muhammad Ridwan Efendi menilai, OTT penyedia konten setara penyiaran seperti Netflix, HBO Go, dan sebagainya seharusnya diwajibkan bekerja sama dengan operator lokal untuk menyediakan jaringan dan VPN.
“Tanpa ada kewajiban kerja sama, maka operator saja yang terus menyediakan jaringan yang menampung layanan mereka. Padahal asas keadilan layanan itu ada hitungan teknisnya. Untuk menyediakan layanan yang baik butuh berapa Mbps bandwith, ini hitungannya perlu diatur,” kata Ridwan.
Direktur ICT Institute, Heru Sutadi menambahkan, PP Postelsiar menurutnya tidak menciptakan Level of Playing Field yang sama antara OTT Asing dengan OTT dan operator telekomunikasi nasional.
“Ada kesalahan dalam memberikan ketegasan kepada OTT asing. Justru OTT asing malah seolah mendapatkan karpet merah sehingga mereka merasa besar kepala. Saat pemain OTT lokal harus membayar pajak ada PPN, PPh 21, dan lain-lain, sementara untuk pemain asing, pemerintah yang harus mengejar-ngejar untuk mendapatkan pemasukan pajak," katanya. (gpj)