JAKARTA (IndoTelko) - Pandemi yang kini masuk pada tahun ke-2, membuat segalanya berubah. Termasuk industri jasa makanan, dimana terjadi penyusutan 25 hingga 30 persen menjadi sekitar 952 miliar dolar AS.
Indonesia, seperti halnya India dan Filipina, terkena dampak parah dengan penurunan sebanyak 35 hingga 45 persen. Namun, menurut laporan Food for thought: evolution of food services post-COVID-19 in Asia oleh Kearney, pelaku industri yang justru berkembang pesat di tengah penurunan pasar adalah mereka yang dengan cepat beradaptasi dengan model bisnis berbasis teknologi yang inovatif.
Dikatakan Partner di Kearney, Siddharth Pathak, ketika dampak ekonomi dari COVID-19 dan preferensi konsumen terus berkembang, perusahaan jasa makanan harus segera melakukan pengaturan dan investasi ulang yang signifikan pada bisnis.
Sementara itu Partner di Kearney lainnya, Shirley Santoso, mengungkapkan, dengan pengaturan ulang, biaya bisnis dapat dialokasikan sebanyak 30 persen ke dalam model operasi baru, seperti cloud-kitchen, restoran yang baru, atau restrukturisasi. "Pengoptimalan biaya ini dapat menghemat lebih dari 10 persen, didorong oleh penyesuaian staf, biaya sewa, dan sumber bahan dapur. Penghematan ini juga dapat dimanfaatkan guna mendanai digitalisasi dan strategi komunikasi untuk membentuk kepercayaan konsumen dan persepsi brand yang positif,” tambahnya.
Secara keseluruhan, industri ini mengalami penurunan pengiriman makanan online di Asia meningkat sebanyak 30 persen pada tahun 2020. Tahun sebelumnya bahkan tidak mencapai 20 persen. Agregator makanan mengalami pertumbuhan lebih dari 30 persen. 65 persen dari pengiriman makanan online berasal dari agregator.
Peran agregator bagi industri jasa makanan di sini adalah untuk menghimpun data serta informasi dalam memperlancar pemesanan, pelacakan pembayaran, pengiriman, serta pengalaman konsumen. Cloud-kitchen juga semakin populer dan sudah diterapkan oleh sebagian besar restoran cepat saji untuk mendorong pertumbuhan.
Shirley menambahkan, restoran berantai perlu beralih ke model hybrid network atau jaringan hibrida yang menggabungkan toko fisik yang lebih kecil, cloud-kitchen dan outlet khusus untuk takeaway. "Kehadiran restoran flagship akan tetap relevan untuk membangun kehadiran brand, tetapi ukuran akan lebih kecil 15 persen karena berkurangnya pelanggan yang makan di tempat. 30 persen portofolio perusahaan juga akan dialokasikan untuk cloud-kitchen,” katanya.
Untuk memahami bagaimana preferensi mereka berubah setelah pandemi, Kearney melakukan survey online terhadap lebih dari 900 perwakilan konsumen Indonesia. Hasilnya, 34 persen konsumen telah beralih untuk memesan makanan via delivery atau takeout. Namun, 50 persen masih lebih memilih makan di restoran. 24 persen telah beralih dari warung makan dan jajanan pinggir jalan ke restoran modern atas faktor prioritas kesehatan dan keselamatan dibandingkan rasa dan harga.
Dijelaskan Siddharth, karena transparansi dalam penanganan makanan menjadi perhatian utama konsumen, digitalisasi di hampir setiap aspek model operasi diperlukan. "Digitalisasi dalam industri akan berkembang di dua bidang, digitalisasi dalam pelayanan pelanggan dan mekanisasi operasi restoran. Kontak manusia di kedua area tersebut akan diminimalisir dan diganti dengan aplikasi digital, robotika, serta otomatisasi,” ujarnya.
Digitalisasi dalam pelayanan pelanggan termasuk menggunakan menu online dan aplikasi pembayaran contactless. Dalam hal mekanisasi operasi, layanan makanan akan dijadikan otomatis dengan sensor dan robot Internet of Things (IoT). (sg)