Seberapa besar entitas hasil merger Indosat dan Hutch 3 Indonesia?

Merger PT Indosat dan PT Hutch 3 Indonesia secara resmi diumumkan pada tanggal 16 September 2021 setelah sembilan bulan sejak MoU non legal binding yang menjajaki kemungkinan kombinasi bisnis antara Indosat Oredoo dan PT Hutchison 3 Indonesia. Bersamaan dengan merger tersebut, CK Hutchison akan mengakuisisi 50% kepemilikan saham di Ooredoo Asia dengan menukarkan 21,8% kepemilikannya di Indosat Ooredoo Hutchison dengan 33,3% saham di Ooredoo Asia, dan akan mengakuisisi tambahan 16,7% saham dari Grup Ooredoo dengan imbalan uang tunai sebesar US$ 387 juta. 
 
Setelah transaksi di atas, Para Pihak masing-masing akan memiliki 50,0% saham Ooredoo Asia, yang akan diubah namanya menjadi Ooredoo Hutchison Asia, yang akan mempertahankan 65,6% kepemilikan saham pengendali di perusahaan hasil merger, sementara kepemilikan Pemerintah RI akan terdilusi menjadi 9.6% dan kepemilikan publik termasuk  PT TTI menjadi 24.7%. Ini merupaka aksi korporasi konsolidasi ketiga di Indonesia setelah Smartfren yang merupakan hasil konsolidasi PT Mobile-8 Telecom Tbk dengan PT Smart Telecom pada tahun 2011 dan XL Axiata mengakuisisi Axis pada tahun 2014. 
 
Kedepan jumlah operator telekomunikasi akan berkurang dan size incumbent akan membesar. Hal tersebut didorong oleh empat pemicu, antara lain :
Pertama, pertumbuhan payload yang eksponensial membuat kapasitas jaringan yang ada tidak mencukupi dan dana investasi yang direncanakan untuk ekspansi juga tidak akan cukup untuk mengakomodasi kenaikan payload konsekuensinya muncul kebutuhan yang mendesak untuk melakukan ekspansi network secara terintegrasi. Provider yg hanya memiliki kapasitas infrastruktur kecil dan kemampuan investasi terbatas akan terpaksa keluar dari market, sedangkan "integrated heavy asset player" dalam posisi diuntungkan, sementara mobile-only players dalam posisi deadlock.  Dampak kepada operator, akan mendorong terjadinya konsolidasi, sehingga jumlah player akan berkurang dan big player akan membesar. 
 
Kedua, service competition, ketika dari OTT memasuki bisnis layanan telekomunikasi yaitu dengan VOIP dan messaging platform dampak bagi operator dari kompetisi yang semakin intens pada sisi service akan membuat kebutuhan investasi jangka pendek-menengah pada digital service dan platform semakin tinggi, partnership dengan operator lain dan OTT akan semakin strategis kedepannya. 
 
Ketiga, kompetisi harga, salah satu indikasi persaingan harga yang intens adalah turunnya RPMB, hal ini diakibatkan oleh persaingan antar operator dan masuknya OTTs pada level layanan dan pada jangka Panjang masuknya OTTs kedalam bisnis connectivity. Trend ini mengarah kepada akses internet gratis dalam 10 tahun kedepan. Persaingan harga antara operator berdampak besar pada profitability, available fund untuk investasi ekspansi infrastruktur dan inovasi, urgensi efesiensi, dan tekanan untuk konsolidasi. Dampak pada operator akan mengurangi jumlah player dan makin besarnya size incumbent (integrated network operator). 
 
Keempat, regulasi ada dua tipe regulasi yaitu yang berorientasi pada SMP (significant market player) dan deregulation oriented. SMP fokus pada akses pada network level dipertahankan dan dengan aturan network neutrality yg ketat pada network operator. sementara OTT tidak tersentuh baik pada layanan maupun persaingan, UU antitrust maupun lainnya. kebalikannya deregulation oriented akan ada pengurangan aturan, termasuk akses dan biaya, dan melemahnya aturan netralitas jaringan. pada saat yg sama OTT akan dikenakan aturan yg lbh luas terutama persaingan. Empat driver tersebut akan membentuk struktur industri telekomunikasi yang mungkin terjadi yaitu Heterogeneous Power Play atau OTTs Big Player Dominant, struktur yang menguntungkan bagi operator adalah yang pertama sehingga operator berkepentingan untuk bisa mendrive arah industri elekomunikasi kesana dimana salah satunya adalah dengan konsolidasi.
 
Seberapa besar entitas hasil merger?
Entitas bari hasil antara PT Indosat Tbk dengan PT Hutchison 3 Indonesia akan mengubah peta persaingan operator telekomunikasi dimana entitas hasil merger akan menjadi operator terbesar kedua dari asset, spektrum, jumlah bts, jumlah pelanggan dan pendapatan. 
 
Pertama, secara nilai aset akan lebih besar dari Telkomsel yaitu Rp 113 triliun. Sebagai perbandingan PT Telkomel 98 triliun bagian dari Rp 264 triliun asset PT Telkom, PT XL Axiata memiliki asset Rp 67 triliun pada per 30 June 2021 dan Smartfren Rp 42 triliun. 
 
Kedua, dari sisi sumber daya spektrum Telkomsel masih yang terbesar yaitu 82.5 Mhz, kemudian Indosat 47.5 Mhz, XL Axiata 45 Mhz Hutch 25 Mhz dan Smartfren 40 Mhz. Sehingga jika frekuensi Indosat dan Hutch digabungkan menjadi 72.5 Mhz, namun belajar dari akuisisi Axis tahun 2013, XL Axiata tidak mendapatkan semua frekuensi yang dikuasasi oleh Axis dimana frekuensi 2100 Mhz 5 Mhz harus dikembalikan ke pemerintah. 
 
Ketiga, dari jumlah BTS, setelah merger maka jumlah BTS akan menjadi 186 ribu BTS sebagai perbandingan Telkomsel memiliki 228 ribu BTS, XL Axiata 142 ribu BTS dan Smartfren 22 ribu BTS, dengan karakter yang sama antara Indosat dan Hutch yaitu konsentrasi di perkotaan khususnya pulau Jawa maka entitas baru ini punya kapasitas yang besar sehingga punya peluang untuk dapat menawarkan layanan yang lebih kompetitif. 
 
Keempat, dari jumlah pelanggan diperkirakan mencapi 100 juta pelanggan atau separuh lebih dari pelanggan Telkomsel yang berjumlah 170 juta, sementara XL Axiata 57 juta pelanggan dan Smartfren 25 juta pelanggan. 
 
Kelima, secara potensi pendapatan tahunan akan mencapai Rp 45 triliun atau separuh dari pendapatan incumbent Telkomsel, sementara Axiata 24 triliun dan Smartfren 10 triliun.
 
Dampak positif merger ini akan menaikan skala ekonomi karena besarnya jumlah pelanggan dan akan ada efesiensi capex per pelanggan. Kemampuan untuk malakukan ekspansi jaringan juga semakin baik dengan leveraging dan dukungan induk perusahaan yang semakin kuat. Secara industri jumlah pemain yang semakin sedikit akan mengurangi persaingan dan meredakan perang harga sehingga akan menyehatkan industri Telekomunikasi. 
 
Dampak negatifnya dengan naiknya nilai aset dari kenaikan jumlah BTS akan menimbulkan konsekuensi kenaikan biaya depresiasi dan terminasi yang akan timbul. Jika merujuk pasca konsolidasi XL Axiata dan Axis tidak terjadi perbaikan kinerja yang signifikan, kualitas pelanggan yang tidak terlalu baik dari Axis membuat XL Axiata melakukan transformasi bisnis yaitu melalui strategi revamp mengubah model bisnis pencapaian jumlah pelanggan dari volume ke value sehingga terjadi pengurangan jumlah pelanggan sepertiga pada tahun 2015. 
 
Fenomena yang sama bisa saja terjadi pada entitas merger Indosat Hutch. Dari sisi pelanggan khususnya di Pulua Jawa sebagai akan diuntungkan dengan naiknya kapasitas dan jangkauan jaringan, sementara di luar pulau Jawa kehadiran dari entitas baru ini kemungkinan akan semakin kuat.
 
Ditulis oleh Zaid Muttaqien, Pekerja Industri Telekomunikasi