JAKARTA (IndoTelko) - Indonesia Fintech Society (IFSoc) mendukung kerangka aturan principle-based yang diterapkan dalam Peraturan OJK (POJK) dalam mengatur neobank di Indonesia.
Kerangka aturan tersebut diharapkan memberi ruang bagi neobank untuk mengembangkan inovasi dan menjaga daya saing, sekaligus memitigasi kemungkinan risiko yang ditimbulkan.
Saat ini, Indonesia telah memiliki tiga regulasi yang mengatur neobank agar dapat beroperasi. Pertama, POJK No.38/POJK.03/2016 tentang Penerapan Manajemen Risiko dalam Penggunaan Teknologi Informasi oleh Bank Umum. Terbitnya aturan tersebut memberikan peluang kepada bank untuk dapat memiliki acuan bank dalam mengendalikan risiko atas pemanfaatan teknologi informasi, sehingga operasional bank dapat berjalan dengan baik.
Di tahun 2018, terbit POJK No.12/POJK.03/2018 Penyelenggaraan Layanan Perbankan Digital oleh Bank Umum sebagai panduan untuk (1) mendukung peningkatan efisiensi operasional bank, (2) meningkatkan kualitas layanan keuangan kepada nasabah, dengan lebih cepat, mudah, dan sesuai kebutuhan dan (3) mendorong inovasi layanan perbankan melalui kolaborasi bank dalam ekosistem digital.
Terakhir, semakin dengan berkembangnya perbankan digital di Indonesia, OJK kemudian menerbitkan POJK No.13/POJK.03/2021 Penyelenggaraan Produk Bank Umum dan POJK No.12/POJK.03/2021 Bank Umum dimana aturan ini mempertegas pengertian Bank Digital yaitu bank yang saat ini telah melakukan digitalisasi produk dan layanan (incumbent), transformasi atau melalui pendirian bank baru yang langsung berstatus full digital banking.
Selain itu, Bank Indonesia juga menerbitkan PADG No. 23/2021 tentang Standar Nasional Open API (SNAP) sebagai salah satu framework regulasi yang mendukung aktivitas neobank. Melalui standardisasi tersebut, koneksi antara lembaga perbankan dan penyelenggara pembayaran menjadi lebih efisien sekaligus mengurangi barrier to entry.
Steering Committee Indonesia Fintech Society (IFSoc), Rudiantara menyatakan, digitalisasi layanan perbankan adalah keniscayaan dan saat ini bank konvensional sudah mulai beranjak ke model operasi secara digital. Data OJK menyatakan sekitar 85-95% transaksi keuangan di bank BUKU III dan IV sudah dilakukan melalui layanan digital dan di luar kantor bank.
Digitalisasi ini juga terdorong oleh pandemi dimana terjadi perubahan perilaku masyarakat Indonesia yang mulai meninggalkan aktivitas kontak fisik.
Ia juga menyoroti munculnya sentimen positif terhadap neobank yang terlihat dari besarnya nilai kapitalisasi neobank di dunia. Misalnya, market cap dari KakaoBank di Korea Selatan mencapai 33.16 triliun won (US$28.3 miliar) dengan jumlah pengguna 25% dari populasi Korea Selatan. Di Indonesia, kapitalisasi dari Bank Jago mencapai Rp209 triliun, melewati nilai kapitalisasi beberapa bank kelas menengah di Indonesia.
Selain itu, Ia juga memperlihatkan bagaimana fintech di Indonesia cukup unggul dalam investasi teknologi serta penciptaan produk yang inovatif dan hyper-personalization. Penggunaan teknologi AI dan machine learning dalam neobank dapat memberikan tambahan manfaat bagi konsumen, seperti kebutuhan pengaturan keuangan pribadi dan bahkan untuk perilaku hidup sehat.
Namun, Rudiantara juga mengingatkan bahwa tidak semua neobank di dunia mengalami keberhasilan. Di Australia, neobank bernama Xinja hanya bertahan 3 tahun dan mengembalikan lisensi perbankan pada 2021 setelah gagal mendapatkan modal tambahan.
“Pelajaran yang bisa kita petik, Xinja tidak mampu bersaing dengan bank konvensional karena tidak memiliki program pengajuan pinjaman (lending) dan program yang fokus kepada UMKM. Pada intinya neobank juga harus dapat menghasilkan revenue dan efisiensi biaya,” tutur Rudiantara.
Neobank lain yang juga kurang berhasil adalah N26 yang berasal dari Jerman. Meski mampu melakukan ekspansi di enam negara Eropa, AS, dan Brazil, N26 harus menutup operasinya di Inggris pada 2020. Pasalnya, lisensi yang dimiliki oleh N26 di Eropa tidak dapat digunakan di UK setelah Brexit. Neobank ini juga tidak dapat menarik banyak peminat di UK. Setelah dua tahun beroperasi, hanya ada 418.000 pengguna aktif bulanan.
Ketua Indonesia Fintech Society (IFSoc), Mirza Adityaswara, menegaskan bahwa kemunculan neobank membawa berbagai manfaat sekaligus risiko baru. Di satu sisi, neobank memiliki fitur- fitur yang lebih inovatif dan customer centric , seperti pemanfaatan kecerdasan buatan (artificial intelligence), machine learning dan fitur keamanan yang lebih mudah diakses (pembekuan rekening melalui aplikasi). Namun, ada beberapa potensi resiko dalam tren neobank di masa depan seperti risiko serangan keamanan siber, risiko terhadap kebocoran data pribadi nasabah, risiko kegagalan sistemik yang disebabkan interdependensi infrastruktur digital berbagai layanan finansial.
“Risiko-risiko tersebut sebetulnya merupakan risiko yang sama dialami oleh perusahaan fintech, di mana OJK sudah mengatur platform penyedia jasa keuangan agar memitigasi kemungkinan risiko yang akan hadir. Namun, regulator juga harus dapat menyeimbangkan peran antara mengeluarkan aturan untuk memitigasi risiko baru, tetapi juga memberi kesempatan bagi neobank untuk berinovasi,” ujar Mirza.
Mirza juga menambahkan besarnya potensi pasar untuk neobank di Indonesia. “Awalnya, dengan pemanfaatan teknologi, neobank akan menyasar kalangan underbanked, terutama kelompok usia muda serta masyarakat di wilayah urban. Namun pada tahap berikutnya, neobank juga perlu menyasar kalangan unbanked demi mendukung peningkatan inklusi keuangan Indonesia” Kata Mirza.
Dalam hal ini, IFSoc memberikan beberapa pandangan terhadap potensi neobank di Indonesia. Pertama, neobank akan lebih bertanggung jawab dengan diberikan kepercayaan mengatur sistem manajemen dengan internal kontrol secara mandiri.
“Beberapa caranya, antara lain dengan mendorong kepatuhan neobank terhadap peraturan yang berlaku, seperti kepatuhan atas pemanfaatan data kependudukan Dukcapil untuk memitigasi risiko fraud dan membentuk forum kolaborasi untuk memerangi ancaman terhadap cybersecurity, baik di antara para pemain neobank, maupun kolaborasi dengan regulator dan penegak hukum,” tutur Mirza.
Penguatan manajemen risiko juga perlu dilakukan dengan meningkatkan kapasitas internal para pemain industri neobank. “Juga perlu adanya penguatan aspek manajemen risiko dengan adanya sertifikasi untuk meningkatkan keterampilan digital pegawai bank, sekaligus mempersiapkan talenta baru yang akan masuk ke pasar tenaga kerja neobank” ujar Mirza.
Selain itu, perlu mendorong sinergi antara kementerian dan lembaga untuk membuat kerangka kebijakan terkait data pribadi. Contohnya, seperti repository nomor telepon yang telah diblokir karena terbukti melakukan fraud dan data ini dapat diakses oleh institusi keuangan serta mendorong kebijakan terkait standarisasi keamanan untuk infrastruktur digital yang krusial bagi neobank. Hal lainnya yang tidak kalah penting adalah perlu adanya standarisasi data sharing melalui penetapan RUU PDP.
Standardisasi juga penting dalam penggunaan Application Programming Interface (API) yang memungkinkan berbagai platform layanan finansial seperti neobank, e-commerce, dan fintech, agar saling berkomunikasi secara lebih efisien dan menghalangi fragmentasi data. Praktik ini lazim disebut dengan open banking. Salah satu penggunaannya adalah dalam menyalurkan kredit personal, kemampuan bayar nasabah bisa diketahui secara lebih akurat dari data transaksi belanja dan hutang di tempat lain.
IFSoc mendukung langkah Bank Indonesia yang meluncurkan Standardisasi API Standar Nasional Open API (SNAP) melalui PADG No. 23/2021. “Terbitnya aturan SNAP adalah langkah yang sangat baik dari BI untuk mempercepat digitalisasi. Namun, yang tetap harus dijaga adalah proteksi data pribadi untuk menghindari penyalahgunaan data nasabah,” kata Mirza.
Lebih lanjut, kesuksesan neobank di Korea Selatan dan Tiongkok perlu menjadi perhatian pemerintah dan sektor perbankan, terutama dalam mendorong kolaborasi antara neobank dengan ekosistem digital lainnya, seperti e-commerce dan fintech. Hal ini menjadi kunci keberhasilan KakaoBank di Korea Selatan yang membangun ekosistem dengan menjangkau 50 juta pengguna aplikasi chatting KakaoTalk, 22 juta pengguna e-wallet KakaoPay, dan 70 juta pengguna media sosial Kakaostory.
Bentuk kolaborasi lain yang bisa dilakukan adalah penyaluran kredit kepada UMKM. Kolaborasi neobank dengan P2P lending akan menjadi sangat krusial, dimana pada 2020 pertumbuhan pinjaman mencapai Rp21 triliun (CAGR 2017-2020: 43%).
Terakhir, upaya untuk memberikan edukasi, baik literasi digital dan keuangan, kepada nasabah eobank perlu terus dilakukan oleh pemerintah dan asosiasi. “Di tengah maraknya kasus penipuan dan pembobolan bermodus transaksi digital, edukasi merupakan hal esensial mengingat neobank berbasis internet dan rendahnya literasi digital dan keuangan masyarakat pada saat ini. Data dari Kominfo menyebutkan bahwa indeks literasi digital Indonesia saat ini berada pada tingkatan menengah, yaitu : 3,47/5; sementara tingkat literasi keuangan sebesar 38.03% berdasarkan data dari OJK,” tutur Mirza.(wn)