JAKARTA (IndoTelko) -- 5G atau jaringan telekomunikasi generasi ke-5 saat ini sudah ada di Indonesia. Namun sayang, implementasinya belum maksimal. Salah satu saran untuk bisa mempercepat implementasi 5G di industri adalah pembentukan micro operator.
Micro operator sendiri sejatinya merupakan sebuah entitas yang memiliki koneksi sendiri, dipadukan dengan layanan konten yang spesifik di wilayah tertentu. Biasanya micro operator mengandalkan sumber spektrum, baik dari pemerintah maupun operator telekomunikasi selular.
Micro operator sangat berbeda dengan mobile virtual network operator (MVNO). Pasalnya, operator mikro memiliki infrastruktur sendiri untuk mendukung konsumen mereka guna menghadirkan layanan lokal yang efisien, khususnya pada indoor small cell.
Menanggapi hal ini, Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Kominfo (Komkominfo), Ismail mengatakan jika secara regulasi micro operator dimungkinkan terbentuk karena ada aturan Telekomunikasi Khusus, yang memungkinkan perusahaan membangun jaringan sendiri untuk kebutuhan tertentu. Namun kebutuhan yang dimaksud adalah kebutuhan sendiri, bukan komersil.
"Sayangnya, Telekomunikasi Khusus ini hanya pintu darurat yang dibuka ketika pintu utamanya tidak berjalan dengan baik. Contohnya, Telkomsel yang kerja sama dengan Freeport untuk membangun dan mengoperasikan jaringan di sana. Kemampuan finansialnya untuk membangun ada, spektrumnya jadi efisien," kata Ismail.
"Jadi secara aturan dimungkinkan, secara kebijakan mesti dikaji dulu," tambahnya.
Saat ini, untuk mendukung 5G, pemerintah masih mengandalkan spektrum 2.3GHz. Ssedangkan untuk 2,6GHz masih harus menunggu sampai 2025. Untuk frekuensi 3,5 masih dipakai untuk kebutuhan satelit. Sedangkan di 700 Mhz, sudah ada pembicaraan antara pemerintah dengan MNC Group yang menggunakan spektrum tersebut untuk penyiaran.
Perkuat infrastuktur telekomunikasi
Dari sisi infrastruktur, kata pengamat Industri Digital, Heru Sutadi, minimal internet di Tanah Air bisa semakin cepat, pasalnya posisi Indonesia cukup terbelakang di Asia, yang di urutan bawahnya ada Myanmar, Kamboja, Laos.
"Jangan sampai mereka mendahului kita. Toh, duluan kita yang membangun ketimbang negara-negara tersebut," ungkapnya.
Disamping itu pada kesempatan yang sama, Syahrial, Direktur Eksekutif Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) pun menekankan pada sektor infrastuktur guna menunjang ekonomi digital bergerak dengan baik ke depan.
"Kita juga berharap adanya kemudahan dalam penggelaran jaringan telekomunikasi, peran pusat dan daerah mejadi penting guna memfasilitasi pengembangan tersebut, kalaupun muncul biaya perlu terjangkau," paparnya.
"Kita sudah diskusi panjang sejak 2018 hingga saat ini, soal peraturan daerah yang menghambat gelaran infrastruktur jaringan tersebut," sambung Syahrial.
Sementara itu Edi Sugianto, Chief Commercial Officer PT. Dwi Tunggal Putra (DTP) menyebut pihaknya juga sangat fokus untuk menghilangkan blankspot di seluruh wilayah Indonesia melalui fasilitas portal jaringan satelit OneWeb (perusahaan jaringan komunikasi global yang didukung oleh 648 konstelasi satelit orbit rendah Bumi)
"Kami (DTP) fokus di IT infrastuktur, seluruh target transformasi baik itu yang berbasis artificial intelligence (AI), virtual reality (VR), augmented reality (AR) tidak akan tercapai tanpa infrastruktur yang memadai. Moto kami memeratakan konektivitas telekomunikasi di seluruh Indonesia, kami berupaya untuk menjebati Tanah Air untuk blank spot free," ujarnya. (SYR)