Sempat mereda kabarnya, ternyata aparat penegak hukum tidak tinggal diam menyelidiki kasus dugaan tindak pidana korupsi proyek Pengadaan satelit slot orbit 123° Bujur Timur (BT) pada Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Tahun 2015 hingga 2021.
Isu ini sempat menghangat jelang lebaran 2018 dimana Avanti Communications Limited (Avanti) mengumumkan bahwa sidang arbitrase yang dijalaninya dengan Kementrian Pertahanan (Kemhan) Indonesia berhasil dimenangkan operator satelit itu.
Avanti menggugat di London Court of Internasional Arbitration karena Kemhan tidak membayar sewa satelit sesuai dengan nilai kontrak yang telah ditandatangani. Pada 9 Juli 2019, pengadilan arbitrase menjatuhkan putusan yang berakibat negara telah mengeluarkan pembayaran untuk sewa Satelit Artemis, biaya arbitrase, biaya konsultan, dan biaya filing satelit sebesar ekuivalen Rp 515 miliar.
Seperti diketahui, Kemhan meneken kontrak dengan Avanti, Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat meskipun belum tersedia anggaran untuk pengadaan satelit slot orbit 123 derajat Bujur Timur.
Semua ini bermula dari pada 19 Januari 2015, Satelit Garuda-1 telah keluar orbit dari Slot Orbit 123 BT sehingga terjadi kekosongan pengelolaan oleh Indonesia. Berdasarkan peraturan International Telecommunication Union (ITU), negara yang telah mendapat hak pengelolaan akan diberi waktu tiga tahun untuk mengisi kembali Slot Orbit. Apabila tidak dipenuhi, hak pengelolaan Slot Orbit akan gugur secara otomatis dan dapat digunakan oleh negara lain.
Untuk mengisi kekosongan pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT itu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memenuhi permintaan Kemhan mendapatkan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT guna membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).
Kemhan kemudian membuat kontrak sewa Satelit Artemis yang merupakan floater (satelit sementara pengisi orbit), milik Avanti Communication Limited (Avanti), pada 6 Desember 2015, meskipun persetujuan penggunaan Slot Orbit 123 derajat BT dari Kominfo baru diterbitkan tanggal 29 Januari 2016. Namun pihak Kemhan pada 25 Juni 2018 mengembalikan hak pengelolaan Slot Orbit 123 derajat BT kepada Kominfo.
Pada 10 Desember 2018, Kominfo mengeluarkan keputusan tentang Hak Penggunaan Filing Satelit Indonesia pada Orbit 123 derajat untuk Filing Satelit Garuda-2 dan Nusantara-A1-A kepada PT Dini Nusa Kusuma (PT DNK). Namun PT DNK tidak mampu menyelesaikan permasalahan residu Kemhan dalam pengadaan Satkomhan.
Pada saat melakukan kontrak dengan Avanti tahun 2015, Kemhan belum memiliki anggaran untuk keperluan tersebut. Untuk membangun Satkomhan, Kemhan juga menandatangani kontrak dengan Navayo, Airbus, Detente, Hogan Lovel, dan Telesat dalam kurun waktu tahun 2015-2016, yang anggarannya dalam tahun 2015 juga belum tersedia. Sedangkan di tahun 2016, anggaran telah tersedia namun dilakukan self blocking oleh Kemhan.
Pihak Navayo yang juga telah menandatangani kontrak dengan Kemhan menyerahkan barang yang tidak sesuai dengan dokumen Certificate of Performance, namun tetap diterima dan ditandatangani oleh pejabat Kemhan dalam kurun waktu 2016-2017. Navayo kemudian mengajukan tagihan sebesar US$ 16 juta kepada Kemhan, namun Pemerintah menolak untuk membayar sehingga Navayo menggugat ke Pengadilan Arbitrase Singapura. Berdasarkan putusan Pengadilan Arbitrase Singapura tanggal 22 Mei 2021, Kemhan harus membayar US$ 20.901.209,00 kepada Navayo.
Kabar terbaru dari Kejaksaan Agung (Kejagung) mengungkapkan bahwa penyelidikan dugaan tindak pidana korupsi proyek Pengadaan satelit slot orbit 123° Bujur Timur (BT) pada Kementerian Pertahanan (Kemenhan) Tahun 2015 hingga 2021 telah ditingkatkan ke tahap penyidikan, dimana sebelumnya telah melakukan kegiatan penyelidikan terhadap kasus ini selama satu minggu dan sudah memeriksa beberapa pihak baik dari pihak swasta atau rekanan pelaksana maupun dari beberapa orang di Kemhan sebanyak sebelas orang.
Hal itu diungkapkan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Dr. Febrie Adriansyah dikutip dari siaran pers Kejagung PR –063/063/K.3/Kph.3/01/2022.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus menerangkan dalam penyelidikan, Tim Jaksa Penyelidik juga melakukan koordinasi dan diskusi dengan beberapa pihak yang dapat menguatkan pencarian barang bukti, salah satunya auditor di BPKP sehingga diperoleh masukan sekaligus laporan hasil audit tujuan tertentu dari BPKP. Selain itu juga, didukung dokumen lain yang dijadikan alat bukti dalam proses pelaksanaan itu sendiri.
Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus menyampaikan, satelit yang disewa tidak dapat berfungsi dan spesifikasi tidak sama, sehingga indikasi kerugian keuangan negara yang ditemukan berdasarkan hasil diskusi dengan auditor, diperkirakan uang yang sudah keluar sekitar Rp500 miliar yang berasal dari pembayaran sewa Satelit Arthemis dari Perusahaan Avant Communication Limited sekitar Rp41 miliar, biaya konsultan senilai Rp18,5 miliar, dan biaya arbitrase Navayo senilai Rp4,7 miliar.
Selanjutnya, Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus mengatakan bahwa beberapa waktu yang lalu telah dilakukan ekspose dan telah disepakati bahwa alat bukti sudah cukup untuk dilakukan penyidikan sehingga telah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan Direktur Penyidikan pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Nomor: PRINT-08/F.2/Fd.2/01/2022 tanggal 14 Januari 2022.
Diskresi
Hal menarik disimak adalah pernyataan dari Mantan Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu yang beralasan memutuskan menyewa satelit karena ada unsur kedaruratan untuk menyelamtkan slot orbit 123 derajat Bujur Timur pada 2015.
Menurutnya, apabila Indonesia tidak segera menunjukkan komitmennya kepada ITU, slot tersebut bisa diberikan kepada pihak lain. Diklaimnya Presiden Joko Widodo waktu itu mengeluarkan diskresi atau perintah kepadanya untuk menyelamatkan slot orbit tersebut.
Jika merujuk kepada berita-berita yang tersiar pada 2015, memang terlihat ada koordinasi antara Kominfo yang kala itu dikomandani Menkominfo Rudiantara, aktif ingin mengambil alih slot orbit 123 BT dari Asia Cellular Satelit (Aces).
“Habis operasinya dari satelit Garuda I memang pada 2015, tetapi saya sudah mendapatkan laporan dari PSN adanya bocor di fuel, sehingga harus diorbit hingga 2018. Tak ada masalah soal itu. Tetapi kami (pemerintah) akan menarik slot itu dari mereka dan diserahkan ke Kementrian Pertahanan (Kemenhan),” ungkap Rudiantara kala itu.
Strategis
Slot orbit 123 BT sendiri nilainya sangat strategis bagi Indonesia. Slot ini biasanya diperuntukkan bagi satelit dengan spesifikasi L-band yang beroperasi di ketinggian 36.000 Km, sebagai penunjang peran komunikasi. Satelit di slot ini bisa berjalan di spektrum frekuensi L-band, FSS, BSS, Ku-, C-, dan Ka-.
Keberadaan Satelit L-Band di Slot Orbit 123 BT dapat memenuhi kriteria kebutuhan tersebut karena memiliki kemampuan untuk menjangkau daerah-daerah dan pulau-pulau terpencil di Indonesia yang merupakan negara kepulauan, komunitas maritim, vessel monitoring system, komunikasi untuk monitoring bencana seperti search and rescue serta komunikasi pertahanan dan keamanan.
Selain itu keberadaan satelit Indonesia di Slot Orbit 123° BT menjadi sangat penting dan vital bagi Pertahanan Negara Indonesia mengingat letaknya berada tepat di tengah-tengah wilayah yurisdiksi Indonesia atau kira-kira berada di atas Pulau Sulawesi.
Solusi
Kisah Indonesia menghadapi "gejolak" dalam pengelolaan slot orbit bukan pertama kali ini saja terjadi. Namun, kisah pengadaan miss kalkulasi ala Kemhan, bisa dikatakan yang pertama dalam sejarah. Apalagi yang menderita secara keuangan adalah negara. Tak hanya itu, sekarang sumber daya slot orbit juga terancam hilang.
Belajar dari pengalaman selama ini, slot orbit bisa "diselamatkan" pengelolaannya, asalkan negara yang diberikan hak pengelolaan mampu datang dengan "proposal" menyakinkan ke ITU untuk optimalisasi slot.
Nilai "Proposal" menjadi berarti bagi ITU, karena slot orbit adalah sumber daya terbatas dan banyak pihak yang antri ingin memanfaatkan.
Sudah saatnya Presiden menugaskan Kominfo untuk menarik hak pengelolaan slot orbit 123 BT dari DNK, setelah itu segera melakukan beauty contest atau penunjukkan langsung badan usaha yang akan mengelolanya.
Idealnya, badan usaha yang mengelola slot orbit 123 BT ini adalah perusahaan pelat merah karena slot ini sangat strategis untuk pertahanan negara.
Menugaskan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk mengelola juga akan memudahkan dari segi pendanaan, berbeda jika instansi pemerintah karena hanya mengandalkan APBN.
Jika BUMN yang ditugaskan, tinggal "dibereskan" isu berapa transponder yang harus didedikasikan bagi kepentingan pertahanan, dan sisanya tentu untuk menunjang bisnis dari perusahaan pelat merah yang akan ditunjuk.
Solusi kedua yang layak dipertimbangkan pemerintah adalah mengubah pengadaan satelit multifungsi yang akan diadakan Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI).
Pemerintah bisa mengubah pengadaan satelit multifungsi ini dengan mengakomodasi kebutuhan militer dan tentunya peserta tender lebih diperketat dengan tidak cukup hanya swasta nasional tetapi harus ada unsur BUMN jika berbentuk konsorsium.
Secara prinsip, memanfaatkan slot 123 BT untuk koneksi internet bisa dilakukan walau kecepatannya tak semaksimal HTS. Tetapi, benchmark sudah ada di dunia dengan merujuk yang dilakukan operator Inmarsat sebagai penguasa L band.
Jika dilihat kondisi kekinian, memodifikasi pengadaan satelit multifungsi ini rasanya paling realistis dan pilihan rasional dijalankan pemerintah atas nama "Kerja Bersama".
Semua opsi ini layak dipertimbangkan agar prahara di angkasa bisa diminimalisir dampaknya bagi kedaulatan bangsa dan negara.
@IndoTelko