Gelombang badai Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang terjadi di Silicon Valley, Amerika Serikat (AS) sejak awal tahun ini oleh startup mulai menjalar ke Indonesia.
Silicon Valley yang dikenal sebagai pusat inovasi di Amerika menampung sekitar 2.000 perusahaan teknologi. Keputusan PHK di kawasan itu dimulai oleh Peloton yang mengalami penurunan saham pada Februari lalu dengan memberhentikan ribuan karyawannya.
Aksi serupa dilakukan perusahaan klip video selebritas Cameo merumahkan 87 orang atau sekitar seperempat dari total stafnya pasca menyandang status Unicorn.
Aplikasi investasi Robinhood, misalnya, memangkas sekitar 300 karyawan pada akhir April. Platform manajemen tenaga kerja Workrise memberhentikan sejumlah karyawan. Padahal, TechCrunch melaporkan bahwa perusahaan ini mengumpulkan pendanaan US$ 300 juta bulan ini sehingga menaikkan valuasinya menjadi US$2,9 miliar.
Paling heboh adalah PHK yang terjadi di perusahaan streaming global, Netflix. Netflix diketahui telah memutus hubungan kerja sekitar 150 pegawai.
Sejumlah startup di Indonesia pun terpaksa melakukan hal yang sama. Startup pertanian Taniuhub melakukan PHK karyawan karena ingin mempertajam fokus bisnis.
UangTeman dikabarkan kesulitan membayar gaji pegawai. Bahkan, Otoritas Jasa Keuangan atau OJK telah mencabut izin usaha UangTeman. UangTeman disebut-sebut belum membayarkan gaji dan pajak penghasilan alias PPh karyawan sejak akhir 2020. Asuransi ketenagakerjaan dan kesehatan pun belum dibayarkan. Startup di bidang furnitur Fabelio juga disebut-sebut belum membayarkan gaji karyawan sejak September 2021.
Terbaru, startup pendidikan Zenius Education melakukan PHK terhadap lebih dari 200 karyawan. Zenius menyampaikan, perusahaan terkena dampak kondisi perekonomian.
Startup pelat merah LinkAja juga tengah menjalankan reorganisasi sumber daya manusia (SDM) sebagai dampak dari perubahan fokus dan tujuan bisnis.
LinkAja adalah perusahaan dompet digital yang sahamnya dimiliki oleh Telkomsel dan bank-bank BUMN. Setelah meraih modal Rp1,4 triliun dalam ronde pendanaan yang dipimpin oleh Grab, LinkAja tahun lalu mengakuisisi perusahaan peer-to-peer lending iGrow.
Terakhir, JD.ID juga melakukan PHK sebagai upaya improvisasi agar bisa melakukan adaptasi dan selaras dengan dinamika pasar serta tren industri dalam negeri.
Kabar PHK yang menyeruak ini lumayan mengejutkan karena ekonomi dunia sudah mulai pulih dan pandemi Covid-19 mulai mereda.
Para analis menyatakan secara global, terjadi penyesuaian kembali atau readjustment dari sisi valuasi market terhadap perusahaan teknologi secara umum di era post-pandemi seperti saat ini. Ini mengakibatkan banyak investor menarik investasi mereka. Sementara di dunia startup mengakibatkan appetite investasi berkurang.
Hasilnya, startup yang sebagian besar masih bertumpu dari dana hasil fundraising harus melakukan efisiensi yang akhirnya menimbulkan mengakibatkan PHK.
Beberapa bulan ke depan, startup juga disebut bakal susah mencari investor baru. Venture capital (VC) akan lebih sulit mengumpulkan uang, sedangkan pihak yang menitipkan modal di VC atau limited partner (LP) akan mengharapkan uang mereka diinvestasikan dengan lebih disiplin.
Dalam situasi seperti ini, VC memilih mencadangkan lebih banyak modal untuk mendukung startup berkinerja terbaik yang sahamnya sudah mereka miliki.
Hal ini menyebabkan lebih sedikit persaingan antar-investor untuk ikut serta dalam putaran pendanaan modal startup. Dampaknya, valuasi yang ditawarkan ke founder lebih rendah, nilai pendanaan yang lebih kecil, dan kesepakatan pendanaan pun jumlahnya makin sedikit.
Perlambatan ekonomi ini terutama akan berdampak ke startup dengan skala internasional, bermodal aset fisik besar, margin keuntungan rendah, serta perusahaan lainnya yang butuh modal banyak dan waktu lebih panjang untuk mulai mencetak pendapatan.
Jika situasi saat ini sama buruknya dengan dua periode perlambatan ekonomi terakhir, cara terbaik bagi startup untuk bertahan adalah dengan menggunakan 30 hari ke depan untuk menyusun strategi memangkas biaya dan memperpanjang runaway.
Sementara dari sisi teknis, banyak startup mengalami kegagalan adalah karena faktor manajerial, seperti kurangnya pengalaman dan visi jelas dari founder, kehabisan dana, serta tidak adanya kebutuhan pasar.
Sebenarnya, keputusan melakukan PHK merupakan hal yang biasa sebagai konsekuensi keputusan bisnis yang belum tepat dari sebuah organisasi. Koreksi tentu harus segera dilakukan agar organisasi bertahan di masa depan.
Apalagi, banyak dikatakan saat ini adalah momen Crucible alias masa-masa sulit di mana yang bisa mengubah perubahan. Pada masa ini startup diharapkan untuk merefleksikan diri dan membuat keputusan besar demi keberlanjutan perusahaan.
Hal pasti, masa booming bagi para startup dalam dekade terakhir jelas sudah berakhir. Seleksi alam akan menimbulkan funding yang terbatas, sehingga startup yang bertahan bukan karena punya uang lebih banyak, tapi berkat produk atau teknologinya yang superior.
PHK massal akan memunculkan talent berkualitas dimana tak hanya melihat kompensasi dalam bekerja tetapi akan secara kritis menyoal model bisnis dan sustainability dari perusahaannya. Hasilnya perusahaan yang tersisa memang kuat produknya, memiliki value ke customernya, serta didukung sistem dan talent berkualitas untuk membangun fondasi ekosistem yang riil.
Intinya, lapangan permainan sekarang lebih ketat. Kondsi ini akan menguntungkan tipe perusahaan yang mampu memanfaatkan peluang dan siap berubah.
@IndoTelko