Evolusi teknologi seluler bergerak sangat cepat. Dari teknologi generasi pertama (1G), kini Indonesia dan seperti negera-negara di belahan dunia lainnya, sudah mengadopsi teknologi generasi ke-5 (5G). Adopsi teknologi baru dalam komunikasi jaringan nirkabel merupakan keniscayaan karena menawarkan kecepatan akses data yang lebih tinggi dan latency (waktu tunda) yang lebih rendah, yang sesuai dengan kebutuhan akses di era digital yang sudah sampai pada tahap video streaming, yang membutuhkan akses data lebih cepat dan latency rendah.
Perjalanan teknologi seluler menawarkan layanan yang berbeda pada masanya. 1G sebagai generasi pertama, dimana layanan yang ditawarkan lebih ke suara. Generasi kedua-2G menawarkan layanan suara, SMS dan juga teknologi data kecepatan rendah yang disebut EDGE. Di Indonesia, sejak 2006, resmi operator telekomunikasi memberikan layanan 3G. Teknologi ini menawarkan layanan suara dan data dengan kecepatan dari 2 Mbps hingga 45 Mbps. Pada masa ini, untuk mengunggah video sudah bisa namun buth waktu lama, dan untuk menikmati video pun sering terjadi buffering sehingga kurang enak dilihat.
Dalam waktu kurang dari 10 tahun, teknologi 4G pun hadir. Kecepatan akses data yang ditawarkan juga kian baik sehingga kita bisa menikmati video secara lancar, meski terkandang ada kendala waktu tunda, sehingga untuk video streaming masih kurang halus dinikmati. Dan sejak 2021, hadirlah teknologi seluler generasi ke-5 atau 5G, yang memberikan keunggulan latency lebih rendah sehingga dapat dikatakan mendukung video streaming dan juga bisa dimanfaatkan secara bersama di keluarga maupun kantor misalnya.
Di Indonesia, saat ini memang masih ada teknologi seluler 2G, 3G, 4G dan yang baru adalah 5G. Hanya saja, berbeda dengan 2G yang masih banyak digunakan di lapisan masyarakat bawah dan wilayah yang belum terjangkau teknologi 3G, 4G atau 5G, teknologi 3G sebenarnya sudah bisa digantikan saat 4G diadopsi dan apalagi ketika layanan 5G dimulai. Namun, sebelum memutuskan untuk mematikan jaringan 3G, tentu perlu dilihat manfaat dan urgensi bilamana 3G harus di-shutdown.
Ekonomi Digital dan Dukungan Infrastruktur
Pandemi membuat perubahan mendasar dalam bagaimana kita menjalani kehidupan. Semua hal yang tadinya bersifat offline, harus ke kantor, belajar di sekolah dan kampus, mobilitas tinggi termasuk berjualan dan membeli produk, berubah menjadi bekerja dari rumah, school from home, maupun berbelanja dan berjualan secara online. Kita semua dipaksa bertranformasi ke layanan digital.
Meski pandemi Covid-19 sempat mereda setelah varian Delta, varian Omicron memaksa kita untuk kembali memanfaatkan layanan digital dalam menjalani beragaman kegiatan. Sehingga, dengan kondisi pandemi yang tidak dapat diketahui secara persis kapan akan berakhir dan ada atau tidaknya varian baru setelah Omicron, layanan digital masih dan akan terus diperlukan.
Bahkan bukan hanya sekadar sebagai dampak pandemi, namun trend perkembangan kebutuhan dan pemanfaatan digital yang sudah jadi kebutuhan sehari-hari seperti e-commerce, video conference, video on demand, video streaming, teledoctor dan lainnya, akan terus meningkat. Belum lagi kini kita sudah dihadapkan dengan era metaverse, yang membuat semua hal menjadi virtual dengan memanfaatkan virtual reality dan augmented reality.
Sehingga, jika kita berbicara soal layanan digital, semua tak ada artinya tanpa dukungan infrastruktur digital yaitu jaringan dan layanan internet yang memungkinkan semua aktivitas digital kita dapat dijalankan.
Di masa post pandemi ini, internet menunjukkan jati dirinya sebagai pendorong transformasi digital dan lokomotif pertumbuhan ekonomi digital. Dan seiring dengan kebutuhan masyarakat yang kian meluas dan trend pemanfaatan internet yang ke arah metaverse, tentu kebutuhan akan internet yang dikatakan berkualitas, juga mengalami perkembangan dan perubahan. Sehingga, mau tidak mau, kualitas dan kecepatan internet atau layanan data harus ditingkatkan untuk mendukung berkembangnya ekonomi digital di tanah air.
Kondisi Internet di Indonesia
Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) dalam laporan "Profil Internet Indonesia 2022" mengungkapkan bahwa didorong kebutuhan komunikasi selama pandemi dalam dua tahun terakhir, penetrasi internet Indonesia sudah mencapai 220 juta pengguna atau 77,02% pada 2021-2022. Tren penetrasi internet di Indonesia meningkat dari tahun ke tahun. Pada 2018, penetraasi internet di Tanah Air mencapai 64,8% dan levelnya naik menjadi level 73,7% pada 2019-2020.
Data lain menunjukkan, penggunaan internet masih terpusat di Pulau Jawa dengan persentase 43,92%. Sumatera berada di peringkat kedua dengan 16,63%. Selanjutnya, 5,53% penggunaan internet berasal dari Sulawesi, 4,88% berasal dari Kalimantan, 2,71% berasal dari Nusa Tenggara, 1,38% berasal dari Papua, 1,17% dari Bali, dan 0,81% dari Maluku.
Meksi ada peningkatan pengguna, data survei Speedtest Global Index per April 2022 menunjukkan bahwa Indonesia hanya menempati peringkat 100 dunia untuk kecepatan internet mobile.
Sementara, sejumlah negara Asia Tenggara lainnya jauh di atas Indonesia. Disebutkan, Indonesia memiliki kecepatan internet mobile rata-rata berada di 17,96 Mbps. Padahal, Brunei Darussalam menempati posisi 20 dunia dengan 66,03 Mbps, Singapura di posisi ke-22 dengan 64,05 Mbps, kemudian Vietnam di urutan 53 dengan kecepatan 33,77 Mbps, disusul Thailand di urutan 54 dengan kecepatan 33,07 Mbps dan Malaysia di posisi 68 dunia dengan 28,71 Mbps. Parahnya lagi, Indonesia masih di bawah Laos yang bercokol di peringkat 75 dengan 24,42 Mpbs dan Myanmar dengan 22,94 Mbps. Di bawah Indonesia hanya ada Kamboja dengan 16,45 yang berada di posisi ke-111.
Mematikan 3G
Kondisi kecepatan internet Indonesia yang jauh di bawah hampir semua negara di kawasan Asia Tenggara, mengindikasikan harus ada langkah-langkah percepatan peningkatan kecepatan internet. Dan jika dilihat arah pemerintah, melalui Bakti Kominfo sedang dijalankan program BTS 4G untuk dapat dibangun di 7.904 titik di wilayah yang belum mendapatkan layanan internet broadband, sehingga ada pemerataan internet di pelosok sekaligus batu loncatan peningkatan kecepatan internet. Sehingga ini perlu disinergikan dengan gerak pembangunan BTS semua penyelenggara telekomunikasi di Indonesia.
Dengan kebutuhan akses lebih cepat dan latency lebih rendah, semua jaringan 3G (dan juga seharusnya 2G) memang sudah selayaknya di-upgrade ke jaringan seluler yang lebih mutakhir, 4G atau 5G. Dan walau perlu dukungan peningkatan kapasitas backbone serat optik, migrasi ke teknologi 4G atau 5G merupakan cara meningkatkan kecepatan internet di sisi akses. Sehingga, mematikan 3G sebenarnya bukan pemaksaan, namun memang ini sudah sesuai kebutuhan kecepatan layanan data masyarakat untuk menjalankan aktivitas kini yang serba digital.
Meski harus didukung semua pihak, upaya upgrading jaringan 3G perlu juga memperhatikan kesiapan di lapangan. Utamanya adalah kesiapan jaringan penggantinya, 4G atau 5G, bilamana 3G harus dimatikan. Hal itu agar antusiasme masyarakat tidak berubah menjadi kekecewaan. Termasuk juga penggantian SIM card bilamana diperlukan.
Tujuannya jelas adalah bagaimana masyarakat mendapatkan layanan data internet lebih baik, lebih berkualitas dengan juga memperhatikan apa yang perlu disiapkan masyarakat menyambut era internet berkecepatan tinggi tersebut.
Semoga internet Indonesia bisa lebih cepat dan ekonomi digital bisa lebih melesat.
*Ditulis oleh Heru Sutadi, Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute