Menuju Kedaulatan Digital RI, Kominfo fokus genjot literasi netizen

Atas Kanan: Peneliti INDEF, Nailul Huda; Kanan Bawah: Peneliti ICT Institute, Heru Sutadi; Kiri Bawah: Tenaga Ahli Menkominfo, Devie Rahmawati.

JAKARTA (IndoTelko) -- Kominfo menegaskan targetnya untuk mencapai kedaulatan digital di Indonesia. Banyak upaya yang menjadi tantangan namun fokus utama Kominfo saat ini justru lebih dulu memperbaiki literasi digital masyarakat Indonesia, terutama menyangkut keamanan data pribadi.

Alih-alih mendesak percepatan RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP), Kominfo mengaku jika literasi digital masyarakatlah yang utama harus diperbaiki. Salah satunya dengan mengedukasi para pengguna internet di tanah air agar tidak terjebak dalam 'permainan' yang bersifat social engineering.

Hal ini diungkap Devie Rahmawati, Tenaga Ahli Menteri Kominfo, dalam diskusi virtual Gizmotalk: Tantangan Membangun Kedaulatan Digital di Indonesia, Kamis, 18 Agustus 2022. Menurut Devie, berdasarkan data yang ia miliki, social engineering merupakan rekayasa yang melibatkan ketidakpahaman masyarakat. Penipuan macam ini paling banyak memakan korban dan mendominasi kejahatan di dunia siber. 

"Kerugiannya juga tidak main-main. Tahun 2020, tercatat kerugian ada sekitar Rp114 triliun. Ada dana pensiun, tabungan haji, dan sebagainya yang hilang begitu saja dicuri akibat kesadaran literasi digital tidak dimiliki masyarakat. Maka dari itu, kami mencoba memperbaiki dasarnya dulu," ujar Devie dalam pemaparannya.

Upaya Kominfo tersebut sudah dilakukan dan sampai saat ini masih berjalan. Pasalnya, dipaparkan Devie, Presiden Jokowi sendiri yang memerintahkan untuk mencapai target setidaknya 10 juta warga melek literasi digital. Namun program edukasi ini tidak akan terhenti di satu generasi. Banyak yang berpikir jika Gen Z adalah kaum yang melek dunia digital. Anak gen Z justru generasi paling baru yang juga paling abai terhadap sekuriti. Ini paling berbahaya karena merasa paling tahu, justru paling rentan.

"Kemkominfo memiliki Program Indonesia Cakap Digital yang dilakukan secara berjenjang kepada masyarakat umum. Targetnya setiap tahun ada 10 juta orang. Jadi minimal di 2024 sudah 50 juta orang yang sudah teredukasi. Program ini sifatnya cepat, perlu bergerak bersama," ujar Devie.

Menanggapi hal ini, peneliti dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda mengaku kaget dengan pernyataan tersebut. Pasalnya, Kominfo terkesan menyalahkan masyarakat atas terjadinya kebocoran data yang ada. Sebagai pemerintah, yang berkuasa untuk membuat dan menegakkan aturan, seharusnya pemerintah bisa memberikan solusi.

"Kok jadi seolah-olah kita yang salah atas kebocoran data kita. Kalau gitu, BPJS engga salah ya, ecommerce-ecommerce yang datanya bocor kemarin juga engga salah?" sindir Nailul.

Menurutnya, sudah tugas pemerintah untuk bisa melindungi warganya. Selain mempercepat pengesahan UU PDP, seharusnya pemerintah juga berupaya mempersempit gap digital. 'Kue' digital jangan terpusat hanya di kota besar, khususnya pulau Jawa. Ini intinya ada di infrastruktur digital di semua wilayah Indonesia sehingga semua bisa merasakan akses internet, bisa merasakan aplikasi digital, dan ekosistem digital lainnya.

"Pemerintah perlu segera menuntaskan pembahasan Rancangan Undang-Undang tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Selain itu bisa membentuk Komisi Perlindungan Data Pribadi yang memiliki tugas untuk melakukan pembinaan dan pengawasan platform digital dalam penggunaan dan perlindungan data pribadi pengguna. Terakhir, membuat meekanisme perlindungan, pengelolaan, dan pengawasan data pribadi," katanya.

Menurut Nailul, Perlindungan Data Pribadi sangat penting dalam kehidupan masyarakat dan negara. Selain bisa menjadi kerangka regulasi yang lebih kuat dan komprehensif, juga bisa menciptakan keseimbangan dalam tata kelola pemrosesan data pribadi dan jaminan perlindungan hak subjek data. Bahkan bisa menjadi instrumen hukum untuk mencegah dan menangani kasus pelanggaran data pribadi

"Tidak dipungkiri jika PDP bisa mempercepat pembangunan ekosistem ekonomi digital, meningkatkan kesadaran masyarakat tentang haknya sebagai subjek data, dan menciptakan keseteraan dalam aturan perlindungan data pribadi di tingkat global," katanya.

Sama seperti Nailul, pengamat regulasi dan telekomunikasi dari ICT Institute, Heru Sutadi juga mengatakan tantangan Kedaulatan DIgital yang utama adalah infrastruktur yang lambat, selain membangun ekosistem digital, digital talent, dan keamanan digital atau Perlindungan Data Pribadi.

Oleh karena itu, Heru berharap ada perubahan cara pandang terhadap sektor teknologi informasi dan komunikasi khususnya keberpihakan terhadap pelaku utama ekonomi digital. Termasuk juga Pengaturan dan penataan kembali seluruh landscape industri digital, dengan tujuan mentransformasikan pembangunan untuk mensejahterakan dan memenangkan rakyat Indonesia di era ekonomi digital.

"Intinya kita bisa bersama-sama merumuskan masterplan pembangunan digital Indonesia 2025-2030, yang intinya Broadband For All dan pemanfaatan ICT untuk pembangunan manusia. Kita bisa bersama-sama membangun ekosistem digital Indonesia," ujar Heru. (sar)