JAKARTA (IndoTelko) -- Meskipun cabang olahraga esports menyediakan kesempatan yang sama bagi perempuan dan laki-laki untuk bersaing dengan imbang, faktanya adalah kurang dari 5 persen perempuan bersedia untuk terjun ke industri esports. Bahkan, di turnamen-turnamen besar, kurang dari 1 persen pemain yang ikut berlaga adalah perempuan. Minimnya representasi dan komunitas yang inklusif, serta maraknya praktik diskriminasi baik secara sadar maupun tidak sadar disebut sebagai beberapa faktor penghambat yang utama.
Dalam talk show berjudul “Women in Esports” yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Esports Indonesia (PB ESI) di sela-sela Indonesia Esports Summit dan International Esports Federation (IESF) World Esports Championships, Debora Immanuella, Staf Khusus Bidang Komunikasi dan Hubungan Masyarakat PB ESI sekaligus SVP Community UniPin, menyerukan agar semangat gender equity dan inklusivitas menjadi pilar utama dari ekosistem esports demi menciptakan rasa aman dan nyaman, sehingga semakin banyak pemain perempuan yang berpartisipasi.
“Konsep gender equity merupakan pengakuan terhadap kebutuhan dan kemampuan para gamer perempuan yang berbeda dari laki-laki. Selama ini, ketimpangan gender dan dukungan dari komunitas yang belum optimal merupakan isu-isu kritikal yang mencegah lebih banyak perempuan untuk mencapai potensinya di bidang esports. Ini menjadi momen pengingat bagi kita sesama perempuan untuk dapat saling mendukung, melindungi, dan menginspirasi,” ujarnya.
Melalui program-program besutannya, seperti UniPin Ladies Series dan pertandingan Mobile Legends: Bang-Bang (MLBB), PlayerUnknown’s BattleGrounds (PUBG) Mobile, Free Fire, dan Valorant khusus untuk perempuan, Debora pun optimistis bahwa semakin banyak putri-putri esports yang akan bersinar pada kemudian hari.
Moderasi komunitas terhadap praktik-praktik seperti diskriminasi dan pelecehan, secara verbal dan dengan niat “membuat lelucon” sekalipun, adalah kunci dalam menghadirkan suasana yang aman dan nyaman tersebut. Pada sesi ini, mantan pemain pro Audrey FF turut membagikan pengalamannya menjadi sasaran perundungan, yang kemudian memengaruhi kesehatan mentalnya sehingga ia harus menjalani sesi terapi dan pengobatan.
“Di luar unsur kesengajaan, banyak juga yang tidak menyadari bahwa perbuatan mereka melukai orang lain akibat nilai-nilai yang telah terinternalisasi. Diperlukan sosialisasi dan edukasi yang lebih luas agar semakin banyak orang yang mengetahui jenis-jenis perilaku yang toksik,” tutur Audrey.
Sesi Women in Esports ini ditutup dengan ajakan Debora dan Audrey kepada para perempuan untuk bekerja keras dan menjadi yang terbaik di bidang apa pun yang mereka pilih. “Baik sebagai profesional di industri, pemain pro, caster, influencer, maupun brand ambassador, saatnya kita buktikan kepada dunia bahwa perempuan pun hebat. Yang penting, kita melakukannya bersama-sama,” pungkas Debora.