Tak terasa tahun 2022 sudah ditinggalkan dan 2023 mulai dijalani.
Tahun 2023 banyak diprediksi akan berat bagi perekonomian global dipicu perang yang tak berkesudahan antara Rusia dan Ukraina, konflik geo-ekonomi para negara adikuasa, hingga pada persoalan supply and demand yang menimbulkan tekanan pada perekonomian dunia.
Kondisi ini tentu memberikan dampak bagi perekonomian Indonesia, dan secara mikro ke sektor digital.
Bagi pemain selular hal yang menjadi tantangan adalah pemenuhan kebutuhan belanja modal yang tinggi karena harus investasi untuk jaringan terutama 5G. Apalagi tahun ini pemerintah akan membuka lelang frekuensi pasca Analog Switch Off (ASO).
Sinyal positif telah dikeluarkan Presiden Joko Widodo dengan mencabut kebijakan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM).
Melandainya pandemi Covid-19 memberikan harapan untuk semua industri untuk bangkit tahun ini.
Untuk industri telekomunikasi perlu melakukan kolaborasi dalam ekosistem ekonomi digital, di luar bisnis network (jaringan) dan device (perangkat).
Misalnya, industri telekomunikasi saat ini ada 230 juta pelanggan seluler, sektor keuangan yang memegang rekening ada 150 juta. Kesimpulannya banyak orang menggunakan ponsel tapi tidak punya akses keuangan.
Saat ini aplikasi tumbuh luar biasa, digital economy paling tinggi di e-commerce, semua transaksinya pasti menggunakan uang. Untuk itu fintech yaitu payment sistem dan lending yang pertumbuhannya jauh di atas industri telekomunikasi.
Kisaran kasar, satu pelanggan saja bisa 20 kali lakukan transaksi telko entah chatting dan sebagainya. Sementara di perbankan rendah karena untuk transaksi e-commerce satu orang hanya 2-3 kali sehari.
Artinya ada 1,5 miliar data terkumpul di telekomunikasi, yang bisa dimanfaatkan misal untuk profiling credit scoring di fintech. Ini bisa jadi peluang pertumbuhan baru bagi operator telekomunikasi.
Sesuai perkembangan zaman adanya disrupsi, justru peluang masih ada.
@IndoTelko