Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No.10/2023 tentang Jenis dan Tarif atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berlaku pada Kementerian Dalam Negeri.
Dalam aturan tersebut, salah satu yang diatur masalah pelayanan akses pemanfaatan data dan dokumen kependudukan akan dikenakan pungutan PNBP per 28 Maret 2023.
Pasal 4 beleid ini menyatakan instansi pemerintah, badan penyelenggara jaminan sosial, koperasi, usaha mikro dan kecil tak dikenakan tarif untuk akses data nomor induk kependudukan (NIK) milik Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil).
Sementara untuk operator telekomunikasi dikenakan tarif sebesar 50% dari tarif yang ditentukan dalam lampiran atau untuk setiap aktivitas verifikasi data kependudukan berbasis web adalah sebesar Rp1.000 per Nomor Identitas Kependudukan (NIK). Sesuai dengan pasal 4, operator hanya wajib membayar 50% (Rp500) untuk 2 tahun pertama sejak peraturan ini berlaku.
Dari 5.368 lembaga pengguna data, hanya 1.288 lembaga yang akan diterapkan PNBP, mereka adalah perbankan, lembaga keuangan non perbankan dan sejumlah lembaga lain.
Kala melontarkan ide akses data dipungut PNBP, Dukcapil beralasan untuk terus menjaga dan meningkatkan kualitas layanan kependudukan serta layanan akses data kepada lembaga-lembaga pengguna. Salah satunya memberikan atensi khusus atas perlindungan database dengan menerapkan standar internasional ISO 27001.
PNBP setidaknya akan mendukung Dukcapil pada beberapa kinerja di antaranya: Pertama, menjaga dan meningkatkan kualitas pelayanan Adminduk bagi masyarakat di seluruh Indonesia; Kedua, mengembangkan dan meremajakan sistem atau infrastruktur teknologi data Dukcapil; Ketiga, meningkatkan kapasitas SDM Dukcapil; Keempat, mendukung agenda digitalisasi Adminduk dari hilir, termasuk IKD (Identitas Kependudukan Digital); dan Kelima, meningkatkan kualitas layanan kepada lembaga pengguna.
Dukcapil Kemendagri sudah menggratiskan selama 8 tahun dan ditanggung APBN. Kemendagri melihat saatnya semua lembaga yang memungut profit untuk berbagi beban (burden sharing) dengan Dukcapil.
Beban
Meski sosialisasi rencana kehadiran aturan ini sudah dilakukan sejak tahun lalu, dapat dipastikan realisasinya akan membebani pelaku usaha.
Operator telekomunikasi jelas akan terbebani karena sesuai Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika no.5/2021 tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, operator harus melakukan validasi atau proses pencocokan identitas calon Pelanggan dengan Data Kependudukan milik instansi pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang kependudukan.
Hingga Juli 2021, operator telekomunikasi telah mengakses data NIK di Ditjen Dukcapil sekitar 2,6 miliar kali. Ditjen Dukcapil juga mencatat bahwa operator seluler masuk dalam 10 perusahaan pengakses data terbesar pada periode tersebut.
Lembaga lainnya yang akan terbebani tentunya perbankan, fintech, asuransi, dan pasar modal dimana mengandalkan data dari Dukcapil untuk Know Your Customer (KYC).
Bagi pelaku usaha, kebijakan pungutan ini tentu membuat kecewa karena akses verifikasi data kependudukan ke Dukcapil pada dasarnya adalah layanan. Sehingga, semestinya pemerintah tak perlu memungut biaya kepada lembaga swasta meskipun berorientasi keuntungan.
Bukankah para pelaku usaha sudah membayar pajak sebagai kewajiban dan menjadi haknya untuk mendapat pelayanan atas usaha yang dijalankan?.
Apalagi, kewajiban verifikasi dengan memanfaatkan data disediakan Dukcapil ini “dipaksa” oleh regulasi.
Ditambah, saat ini biaya penyimpanan data masih terjangkau. Per terabyte (TB) hanya sekitar US$15 sampai US$17. Diperkirakan kebutuhan untuk menyimpan data sekitar 274 juta penduduk, dengan masing-masing butuh tempat penyimpanan 20 megabyte (MB), maka hanya butuh 5480 TB atau sekitar US$82.200 hingga US$93.160.
Namun, jika berada di posisi pemerintah sepetinya berbeda. keberpihakan memberikan pelayanan publik rasanya kalah dibandingkan hitung-hitungan potensi PNBP yang akan diterima negara dari memberikan akses verifikasi data.
Terlepas dari itu semua, setelah berbayar sewajarnya sekarang pengguna jasa meminta standar layanan sesuai dengan tarif yang dibayarnya.
@IndoTelko