JAKARTA (IndoTelko) - Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (BAKTI Kominfo) terus mendorong penggunaan satelit untuk layanan internet di wilayah terpencil atau susah terjangkau di Indonesia.
Penggunaan satelit untuk melengkapi penggunaan serat optik dalam progrm Palapa Ring, yang memang susah menjangkau area remote seperti 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
Kepala Divisi Infrastuktur Satelit Bakti Kominfo Sri Sanggrama Aradea menjelaskan, saat ini lapisan jaringan infrasruktur telekomunikasi nasional dalam Program Bakti terbagi tiga segmen.
Pertama, segmen national backbone network yang menghubungkan antarkota dan kabupaten, misal jaringan fiber optik Palapa Ring aau operator swasta. Kedua, ada middle mile network (backhaul) yang menghubungkan kota dan kabupaten dengan kecamatan, melalui fiber optik, satelit, terutama untuk wilayah dengan kondisi geografis menantang. Ketiga, last mile network (Acess) yang menghubungkan langsung ke user atau pengguna seperti BTS 4G, WiFi, fiber to the home (FTTH), fixed wireless access (FWA) dan sebagainya.
Untuk mendorong penggunaan internet, menurut Aradea memang teknologi fiber optik lebih superior dari satelit, misal untuk BTS bisa pakai fiber optik dan Vsat.
Namun ke depanya menurut Aradea, tidak menutup kemungkinan teknologi Vsat akan naik kelas, sehingga bisa sebaik fiber optik dalam penyediaan internet.
Menurut dia, hingga 2023 layanan akses internet Bakti Kominfo 80 persennya menggunakan Vsat dengan titik layanan publik 14.360 titik, di wilayah 3T.
"Kami dorong layanan Vsat (satelit) teruji dan aman untuk intra pemerintah," kata Aradea dalam acara Diskusi IndoTelko bertajuk "Menatap Masa Depan Bisnis Satelit GEO di Industri Telekomunikasi Indonesia" di Jakarta, Selasa (30/1).
Satelit Satria 1
Untuk lebih mendorong penggunaan satelit untuk layanan internet, Bakti Kominfo meluncurkan satelit Satria 1 pada Juni 2023. Satelit ini berskema KPBU, merupakan jenis satelit Geostationer Orbit (GEO) multifungsi dan memiliki High-Throughput Satellite (HTS) berkapasitas 150 Gbps.
Satria 1 adalah Proyek Strategis Nasional (PSN) 2015-2016 yang baru diinisiaasi 2018. Periode konstruksinya selama 3 tahun dengan commercial date pada Januari 2024.
Satria 1 merupakan satelit terbesar di Asia dengan teknologi HTS, juga menggunakan teknologi terbaru DTP. Sementara Badan Usaha Pelaksananya (BUP) adalah PT Satelit Nusantara Tiga.
"Satria 1 mengakses internet untuk 150.000, maka saat ini kebutuhan yang akan di deliver ke 37.000 titik, terutama untuk sekolah, pemerintah daerah, administrasi polisi dan TNI, serta fasilitas kesehatan. Masa konsesinya 15 tahun," kata Aradea.
Namun, Aradea mengakui, program Satria 1 untuk lewati 150.000 titik itu masih sangat kurang. Oleh karena itu Bakti Kominfo akan meluncurkan lagi satelit GEO yakni Satria 2A dan 2B. "Namun saat ini kami sedang menimbang solusi selain membangun satelit GEO atau NGSO," sambung Aradea.
Satelit LEO
Jika menimbang satelit lain, maka Bakti Kominfo artinya juga mempertimbanhkan pembangunan satelit Low Earth Orbit (LEO) yang dinilai lebih "agile" dibanding satelit GEO dalam hal untuk penyediaan broadband.
"Rencana pemerintah terhadap proyek satelit, kami ingin tingkatkan level project satelit terutama untuk intra pemerintah karena kedaulatan nomor satu dan keamanan itu jadi tantangan," kata Aradea.
Menurut dia, satelit LEO punya teknologi yang menurut pemerintah kurang secure karena intersatelite connection tidak jatuh di teritori Indonesia terutama untuk Network Management System (NMS). "Oleh karena itu kita harus rumuskan regulasi yang akan digunakan untuk komersial dan pemerintah," lanjutnya.
Hal penting lain, untuk optimalisasi satelit, yakni ketersediaan listrik di daerah 3T. Sebab, satelit memancarkan sinyal yang memerlukan repeater untuk menangkapnya, yang mana memerlukan listrik. "Harapannya ini diperhatikan oleh kementerian lain seperti Kementerian ESDM agar listrik jadi mandatory seiring satelit di 3T," katanya.
Sebagai informasi, Saat ini, di Indonesia terdapat satelit Geostationery Orbit (GEO) dan Low Earth Orbit (LEO). Dari sisi jarak, satelit GEO lebih tinggi orbitnya hingga 36.000 km ketimbang LEO yang hanya ratusan km dari bumi. Satelit GEO menawarkan kestabilan posisi yang unggul dengan kapasitas transponder yang besar yang ideal untuk melayani wilayah geografi Indonesia yang luas. Namun, slot untuk satelit GEO terbatas. Sementara satelit LEO menawarkan latensi rendah dengan kecepatan tinggi, namun kapasitas transpondernya terbatas. Slot orbitnya juga lebih banyak.
Satelit LEO inilah yang "booming" dalam 4-5 tahun terakhir, terutama untuk memenuhi kebutuhan broadband yang juga semakin tinggi. Namun umur satelit ini juga pendek hanya sekitar 5-7 tahun, serta butuh banyak satelit untuk mencakup banyak lokasi.
Menurut Aradea, optimalisasi satelit Satria 1 untuk layanan internet di fasilitas publik tidak akan mendorong ke persaingan bisnis dengan satelit operator lain. Ia menilai Satria 1 saat ini berfungsi sebagai penetrator dari layanan internet di suatu wilayah.
"Dari 37.000 titik ini kan layanan publik, kita attached langsung user. Harapannya operator akan filling the gap dari site yang kita layani, misal kita layani sekolah, lalu lingkungan sekeliling sekolah itu operator yang layani," jelas Aradea.
Dia menambahkan, satelit pada akhirnya menjadi pelengkap, bagi wilayah mana yang tidak bisa operator masuki, selain sebagai back up jika terjadi sesuatu pada jaringan fiber optik.
"Pastinya user akan memilih layanan yang lebih baik yakni teresterial (FO) jadi kita memang harus kembali ke marwahnya, hitung roadmapnya seperti apa, operator mau kembangkan teresterial seperti apa," pungkasnya.
Selanjutnya, upaya Bakti Kominfo untuk mengoptimalkan satelit untuk layanan internet butuh kepemimpinan atau leadership yang punya visi kuat terhadap satelit. Visinya, Indonesia butuh satelit untuk mengkoneksikan 17.000 pulau di dalamnya.
Dari leader yang kuat, akan meningkatkan SDM bidang satelit yang saat ini masih minim. "Transfer knowledge jadi satu rahasia negara pemegang teknologinya itu sendiri sehigga kita baiknya kita mendukung LAPAN terus berinovasi lebih advance dan itu butuh leadership yang baik," ujarnya.
Sebagai tambahan informasi, Indonesia sudah memiliki satelit sejak 1976 yang berguna sebagai penanda kedaulatan bangsa, pemersatu bangsa serta menjamin keamanan bangsa.
Di Asia Pasifik, pertumbuhan bisnis satelit sangat tinggi terutama di India, didorong oleh penggunaan konektivitas global, meningkatnya peluncuram satelit LEO, serta meningkatnya peluncuran satelit internet untuk pertahanan.
Founder IndoTelko Forum Doni Ismanto mengatakan, bisnis satelit di Indonesia jarang diangkat isunya, di luar soal peluncurannya atau jika ada masalah, lantaran saat ini Indonesia masih kekurangan sumber daya manusia (SDM) ahli industri satelit. Selain itu, industri lokal atau startup belum banyak memanfaatkan untuk mengembangkan bisnis satelit.
"Karena itu kita harus mulai mengatasi tantangan talenta berkualitas, tantangan teknis, dan memperbesar kolaborasi antarpemain industri agar Indonesia jadi pemain besar di bisnis satelit global," pungkas Doni.(ak)