JAKARTA (IndoTelko) - Wacana yang digulirkan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi terkait kecepatan internet fixed broadband minimal 100 Mbps menuai kontroversi di masyarakat.
Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Ridwan Effendi menilai jika kecepatan minimal internet 100 Mbps diatur dalam regulasi, bisa mempengaruhi kompetisi padahal Indonesia masih butuh pemerataan akses internet.
"Dari sisi teknologi untuk menghadirkan kecepatan internet fixed broadband 100 Mbps sudah bisa dilakukan saat ini. Namun jika itu diatur dan kemudian dibatasi penjualan paket internetnya, maka akan berdampak pada meningkatnya tarif internet fixed broadband. Itu akan menimbulkan persoalan di kemudian hari, khususnya skala ekonomi masyarakat yang membutuhkan internet. Dari sisi teknologi itu sudah memungkinkan. Tapi, masalahnya, persaingan usaha, apakah masyarakat sanggup nggak? Saya saja di rumah itu Rp 600 ribu per bulan untuk mendapatkan 100 Mbps. Apakah masyarakat Indonesia sanggup untuk (minimal) bayar segitu," katanya usai menjadi pembicara di diskusi IndoTelko Forum, (30/1).
Disarankannya, Kominfo untuk fokus pada pemerataan akses internet yang masih jadi pekerjaan rumah. "Menurut saya belum saatnya. Jadi, sebetulnya yang penting itu pemerataan karena trafik statistik di Indonesia itu dihitung rata-rata. Indonesia sebagai negara kepulauan, ada pengukuran di Jakarta dan di desa mana, jomplang masalahnnya," tutur Ridwan.
Sementara Ketua Bidang Infrastruktur Nasional Mastel Sigit Puspito Wigati Jarot menyatakan kebutuhan kecepatan internet 100 Mbps harus dilihat kondisi pemakaian di seluruh wilayah, bukan hanya di kota-kota besar.
"Perlu dibuat lebih banyak pilihan teknologi yang bisa dipakai untuk fixed broadband, bukan hanya fiber optik. Misalnya, mendorong 5G yang bisa digunakan untuk fixed wireless access (FWA)," ujarnya.(wn)