Mulai serius meregulasi e-SIM

Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tengah melakukan uji publik Rancangan Peraturan Menteri (RPM) mengenai Pemanfaatan Teknologi Embedded Subscriber Identity Module (e-SIM) oleh Penyelenggara Jaringan Bergerak Seluler dan Penyelenggara Jaringan Satelit

Peraturan Menteri ini bertujuan untuk mengoptimalkan pemanfaatan, mencegah penyalahgunaan, dan menjamin kepastian hukum pemanfaatan teknologi Embedded Subscriber Identity Module di Indonesia.

Adapun hal-hal yang akan diatur pada Rancangan Peraturan Menteri tentang Pemanfaatan Teknologi Embedded Subscriber Identity Module oleh Penyelenggara Jaringan Bergerak Seluler dan Penyelenggara Jaringan Satelit adalah sebagai berikut: Sistem Provisioning e-SIM, Registrasi pelanggan, Profil e-SIM, dan Penomoran e-SIM.

Regulasi ini dirancang bisa dikatakan agak terlambat karena beberapa operator seluler tanah air sudah menawarkan e-SIM sejak beberapa tahun lalu seiring sejumlah smartphone sudah mendukung teknologi ini.

Pemain seperti Indosat Ooredoo Hutchinson, XL Axiata, Telkomsel, dan Smartfren sudah menawarkan kemudahan ini. Hasilnya, peminat masi terbatas karena ketersediaan perangkat di pasar.

Keunggulan
Keunggulan eSIM tidak memiliki bentuk fisik layaknya kartu SIM pada biasanya. eSIM terintegrasi sebagai modul dan terhubung langsung ke smartphone. Penggunanya cukup memindai kode batang (barcode) untuk dapat mengaktifkannya.

Dengan berbentuk modul yang terintegrasi dan melekat di dalam perangkat komunikasi, serta teknologi dan perangkat lunak yang dapat menyediakan profil operator dari jarak jauh tanpa harus menukar kartu fisik atau chip di dalam perangkat, teknologi e-SIM telah banyak diintegrasikan dalam berbagai perangkat yang ada saat ini, baik itu perangkat wearable dan M2M maupun IoT.

Dibandingkan dengan kartu SIM fisik, e-SIM menawarkan kapasitas yang jauh lebih besar.

e-SIM juga memiliki beberapa kekurangan, yaitu ketersediaannya yang masih terbatas dan kemungkinan adanya biaya tambahan terkait dengan penggunaannya. Selain itu, masalah kompatibilitas dan dukungan teknis juga menjadi pertimbangan.

Number Portability
e-SIM mungkin menjadi atraktif bagi para traveller yang berpergian ke luar negeri karena menawarkan kemudahan dan simplifikasi, tetapi jika penggunaannya untuk kebutuhan sehari-hari di dalam negeri, tentu ada sejumlah tantangan secara bisnis, terutama bagi operator seluler.

Harap diingat, Indonesia belum menjalankan number portability alias layanan yang memungkinkan pelanggan operator seluler pindah operator tanpa harus mengganti nomor.

Artinya, jika e-SIM menyasar pelanggan eksisting tentu ini tak akan menjadi pengungkit bagi operator.

Kecuali jika number portability dijalankan, ini akan menyenangkan bagi pelanggan tetapi neraka bagi operator dalam upaya mempertahankan pelanggan.

Pihak yang mendapat keuntungan maksimal tentunya vendor smartphone karena memiliki "perekat" dengan pelanggan yakni e-SIM.

Sementara dari sisi pelanggan akan timbul ketergantungan pada perangkat. Jika perangkat mengalami kerusakan atau hilang, informasi eSIM yang tertanam di dalamnya juga mungkin tidak dapat diakses, yang dapat menyulitkan pemulihan akses layanan seluler.

Selain itu dengan tidak adanya kartu SIM fisik, pengguna mungkin merasa kurang memiliki kontrol fisik terhadap informasi identifikasi mereka, yang bisa menjadi masalah keamanan bagi beberapa pelanggan.

Operator bisa dikatakan dalam posisi simalakama. Di satu sisi perlu berinvestasi dalam infrastruktur untuk mendukung teknologi eSIM, seperti sistem manajemen profil eSIM dan integrasi dengan jaringan mereka karena tuntutan jaman.

Karena itu operator mulai menyesuaikan strategi bisnis untuk mengakomodasi eSIM. Ini mungkin melibatkan penyesuaian paket layanan, penawaran tarif, dan strategi pemasaran baru untuk menarik pelanggan eSIM.

Di lain sisi, jika e-SIM menjelma sebagai teradopsinya number portability secara terselubung di tanah air, dipastikan operator menjadi pihak paling dirugikan.

Padahal penomoran menjadi satu bundel ketika lisensi modern diberikan regulator ke operator, termasuk pembayaran Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) untuk sumber daya alam terbatas itu.

Faktor ini tentu harus menjadi perhatian regulator, seandainya vendor smartphone menjadi "pemilik" nomor, akankah rela membayar PNBP layaknya operator?

Sementara tanpa portabilitas nomor, pengguna terbatas dalam memilih layanan operator seluler yang diinginkan serta dapat mengurangi persaingan di pasar, menghambat inovasi serta peningkatan layanan.

Di titik ini kita menyadari potensi e-SIM untuk merevolusi industri telekomunikasi sangatlah besar jika syarat ideal terpenuhi tentunya. Kalau tidak, nikmati saja sekadar aksesori!

@IndoTelko