JAKARTA (IndoTelko) — Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) meminta regulator telekomunikasi tak mengistimewakan Starlink di pasar ritel internet.
"Kita minta Starlink diperlakukan sama seperti pelaku usaha lainnya, misalnya dalam hal perizinan, pengenaan biaya, dan lainnya, "ulas Komisioner KPPU Hilman Pujana.
Dikatakannya, ranah KPPU dalam mengawasi kompetisi adalah terkait perilaku pelaku usaha di pasar. Ini tidak hanya kepada pemain baru seperti Starlink, tetapi juga kepada pelaku usaha eksisting.
"Kalau soal perilaku termasuk menyangkut kaitannya dengan dugaan jual rugi atau predatory pricing yang dilakukan Starlink, pembuktiannya membutuhkan proses, jadi tidak hanya kita bicara orang jual lebih murah, bukan seperti itu konsepnya. Ada syaratnya untuk disebut terjadi predatory pricing," jelasnya.
Diharapkannya, meskipun dengan adanya kehadiran pemain baru, iklim usaha yang ada di Indonesia ini bisa tetap kondusif. Hal ini agar para pelaku usaha yang ada tetap bisa berusaha dan berkembang. "Di KPPU kita pasti akan lakukan monitor, tapi tidak hanya kepada Starlink, kepada semua pelaku usaha sektor telekomunikasi kita lakukan pengawasan," tukasnya.
Sementara Sekretaris Jenderal Asosiasi Satelit Seluruh Indonesia (ASSI) Sigit Jatipuro mengakui kehadiran Starlink sudah mulai mengganggu bisnis pemain satelit yang sudah ada, khususnya penjualan layanan telekomunikasi berbasis satelit (VSAT) di segmen ritel, melainkan juga segmen korporat.
"Layanan VSAT anggota ASSI di segmen korporat banyak terimbas karena Starlink pasang harga lebih murah," ungkapnya.
Diungkapkannya, harga paket layanan VSAT tak terbatas (unlimited) yang ditawarkan pemain yang sudah ada sekitar Rp 3,5 juta, tetapi Starlink dengan tipe paket serupa hanya Rp 750.000. Kemudian, harga perangkat VSAT yang ditawarkan pemain lama Rp 9,1 juta, tetapi Starlink Rp 4,6 juta.
Harga yang ditawarkan Starlink untuk pasar Indonesia, sesuai riset ASSI, diketahui 2,5 kali lebih murah dibandingkan negara asalnya, Amerika Serikat.
Ditambahkannya, ASSI merasakan ada ketidaksetaraan perlakuan. Dari sisi hak labuh satelit, misalnya. ASSI yang anggotanya adalah operator satelit telekomunikasi jenis geostasioner biasanya diwajibkan mengurus hak labuh per satelit yang akan diluncurkan. Jika ada perubahan spesifikasi satelit, termasuk terkait spektrum frekuensi, mereka wajib lapor ke regulator. Namun, Starlink yang jumlah satelitnya lebih banyak per sekali diluncurkan, hanya mengurus satu kali hak labuh.
Senior Associate di firma hukum Soemadipradja & Taher, Krishna Vesa sebagai perwakilan Starlink membantah Starlink diberikan karpet merah oleh Pemerintah Indonesia tidak benar. Kliennya sudah memenuhi seluruh persyaratan sebelum satelit Starlink beroperasi di pasar ritel Indonesia.
Kliennya pun tidak melakukan predatory pricing. Program promosi yang sekarang ada itu ada batas waktunya sesuai arahan Pemerintah Indonesia.
"NOC, pusat data, pengendali lalu lintas data internet, gateway, dan mekanisme pemblokiran konten ilegal sudah ada di Indonesia. Saya rasa ada salah informasi jika NOC Starlink belum terbangun. Pihak Kominfo sudah memeriksa beberapa kali sebelum akhirnya Starlink lolos uji laik operasi," ucapnya.
Secara terpisah, Direktur Telekomunikasi Ditjen PPI Kominfo, Aju Widya Sari, menegaskan Starlink Services Indonesia telah membangun Network Operation Center (NOC) Starlink yang berada di Karawang dan Cibitung.
"Sudah ada, kan kalau uji laik operasi mengecek semuanya. Kita mengecek semuanya," ungkap Aju.
Dia menilai persyaratan Starlink untuk berjualan internet kepada masyarakat Indonesia sudah sesuai. "Kami tidak bisa melakukan pembekuan izin penjualan layanan ritel Starlink selama mereka tidak melakukan pelanggaran terhadap regulasi, mereka berhak berusaha di Indonesia," tegas Aju
Apalagi, Starlink juga sudah mengantongi izin sebagai penyelenggara jasa internet atau internet service provider. Begitu juga, Starlink memegang izin sebagai penyelenggara layanan Very Small Aperture Terminal (VSAT).
"Dia sendiri sebagai ISP bisa bekerja sama dengan jasa jual kembali, tetapi harus punya izin jual jasa kembalinya. Jadi, semuanya harus berbasis perizinan, semua jelas di Online Single Submission (OSS)," pungkas Aju.(ak)