Konvergensi antara layanan satelit dan seluler terbuka dikembangkan

Ilustrasi (dok)

JAKARTA (IndoTelko) - Asian Development Bank (ADB) memperkirakan kebutuhan kapasitas satelit di Asia Pasific untuk tahun 2024 mencapai lebih dari 400 Gbps. Sementara menurut NSR, kebutuhan kapasitas HTS baik HTS GSO maupun HTS NGSO pada tahun 2024 lebih dari 340 Gbps.

Seiring dengan pertumbuhan kebutuhan itu, teknologi juga berkembang untuk memenuhinya. Tidak hanya meningkat secara kapasitas, melainkan juga memberikan dampak yang signifikan bahkan merubah wajah dunia ICT. Teknologi berkembang semakin efektif dan efisien, sehingga memberikan tantangan baru terhadap industri satelit.

Dalam rangka memperkuat sinergi di tengah keragaman diversifikasi, baru-baru ini Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI) menggelar APSAT (Asia Pacific Satelite Communication System) International Conference ke-20. Acara yang digelar pada 4 dan 5 Juni 2024 di Fairmont Hotel - Jakarta, mengambil tema ’Synergistic Ecosystem in Value Creation’.

Perhelatan internasional ini dihadiri beragam operator satelit dari berbagai negara yang akan berbagi pengalaman dalam menghadapi dinamika bisnis di negaranya maupun dalam konteks yang lebih luas yaitu secara regional maupun internasional.

Meningkatnya ketersediaan layanan-layanan HTS yang menggunakan orbit Geostasioner (GSO) dan Non-Geostasioner baik itu orbit rendah (LEO) maupun orbit menengah (MEO) memberikan pilihan jenis layanan yang lebih bervariasi yang juga semakin meramaikan bisnis satelit di Indonesia.

Para operator satelit di Indonesia telah menyiapkan kapasitas satelit yang mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Peningkatan ini diantaranya juga didorong oleh perkembangan teknologi satelit baik HTS maupun konstelasi NGSO. Dengan bervariasinya layanan satelit tersebut, memberikan kesempatan bagi para customer untuk memilih sesuai preferensinya.

Telkomsat, misalnya, pada 2024 ini akan memiliki total 45 Gbps kapasitas satelit GSO (Satelit Merah Putih, HTS-113BT, Apstar-5D, Mysat-1) dan 180 Gbps kapasitas satelit NGSO (Starlink). Kapasitas tersebut ditujukan untuk memenuhi kebutuhan beberapa sektor yang meliputi ISP, pemerintah, banking & enterprise, sekolah, rumah sakit, serta wholesale kepada operator telekomunikasi lainnya.

Sementara PSN melihat broadband market masih sebagai salah satu pasar yang menjanjikan bagi operator satelit. Sebagai strategi dalam memenuhi kebutuhan pasar tersebut, PSN akan menyediakan 165 Gbps kapasitas satelit GSO (Nusantara-1 dan Satria-1) serta rencana peluncuran satelit NUSANTARA-5 dengan kapasitas satelit sebesar 165 Gbps untuk memenuhi kebutuhan pasar di wilayah Indonesia, Malaysia, dan Filipina.

Sedangkan ada pula operator - operator yang juga telah merencanakan beberapa terobosan, misalnya melakukan roll-out untuk layanan sistem NGSO-nya, dan bersiap masuk ke dalam pasar enterprise, government, dan military, termasuk telah melakukan trial untuk beberapa use case seperti cellular backhaul, ERP system, mobility and emergency response, maritime, dan IoT.

Sinergi dalam ekosistem industri satelit menjadi hal yang terus menerus diupayakan, apalagi mengingat persaingan yang dinamis di industri ini.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Satelit Indonesia (ASSI), Anggoro Kurnianto Widiawan, kehadiran APSAT menjadi wadah yang penting bukan saja terkait sinergi saja, tetapi juga adanya kesadaran bahwa setiap industri memiliki keunikan yang bisa mengisi kebutuhan pasar ke depan yang juga semakin beragam dan unik.

Peluang konvergensi antara layanan satelit dan seluler, menurut Anggoro, menjadi peluang yang terbuka untuk dikembangkan bersama-sama sehingga masing-masing pelaku industri telekomunikasi memiliki value yang unik, yang pada akhirnya ekosistem satelit dapat sustain.

Anggoro mencontohkan perluasan ekosistem satelit, terutama dengan munculnya layanan NGSO layanan NGSO, membutuhkan sistem darat yang kuat untuk mendukung berbagai aplikasi dan layanan. Seiring dengan diversifikasi layanan, infrastruktur darat dan jaringan harus memenuhi tuntutan yang terus berkembang. Diversifikasi ini menuntut produsen untuk terus berinovasi agar tetap menjadi yang terdepan di industri ini.

“Persaingan layanan dari waktu ke waktu itu sesungguhnya tidak hanya pada dimensi konektivitas, tetapi juga values yang melekat di dalamnya juga bisa dikembangkan menjadi bisnis yang semakin unik, untuk pasar yang juga punya karakteristik khusus,” katanya.

Ia pun mengingatkan, masa depan bisnis konektivitas satelit masih menyimpan potensi yang sangat besar. Dia menyontohkan sektor maritim di Indonesia, dimana dengan keberadaan 17.000 pulau dan letak geografis yang unik akan menjadi tantangan tersendiri bagi jaringan terestrial tradisional. Dengan demikian, komunikasi satelit akan menjadi solusi penting untuk memastikan konektivitas yang baik di seluruh wilayah maritim terpencil.

Namun menurutnya, persebaran layanan satelit di sektor maritim saat ini masih terkendala beberapa hal, yaitu biaya operasional yang tinggi dan kebutuhan peralatan yang menyesuaikan dengan wilayah laut.

“Oleh sebab itu, semangat saling membantu mencari solusi, baik terkait penyesuaian teknologi, juga regulasi yang mungkin saja bisa menjadi jalan tengah bagi keberlangsungan ekosistem bisnis satelit secara menyeluruh,” jelasnya. (tep)