Perang merebut pasar data center di ASEAN

Peran data center diyakini makin strategis di era Artificial Intelligence (AI).

Sinyal itu terlihat dengan keluarnya "Peta Jalan Pusat Data Ramah Lingkungan" oleh Infocomm Media Development Authority (IMDA) Singapura.

Negara tetangga ini memang dikenal sebagai penguasa pasar data center di Asean. Banyak pemain Over The Top (OTT) global menjadikan Singapura sebagai hub kontennya untuk melayani wilayah Asia Tenggara.

Laporan Statista memperkirakan pendapatan bisnis data center di Singapura pada 2024 mencapai US$1,06 miliar. Pasar data center Singapura akan terus tumbuh dengan tingkat pertumbuhan tahunan (CAGR 2024-2028) sebesar 6,82%, menghasilkan volume pasar sebesar US$1,38 miliar pada 2028.

Tadinya, karena keterbatasan lahan, pembangunan data center bertahun-tahun dikenai moratorium oleh pemerintah Singapura. Namun, melalui peta jalan baru, Pemerintahnya memperbolehkan penambahan kapasitas 300 MW selama menggunakan sumber energi hijau.

Untuk mencapai hal ini, IMDA akan bermitra dengan pemain lokal untuk mengurangi penggunaan energi peralatan dan perangkat keras pusat data saat ini di fasilitas yang ada, guna membuka lebih banyak lagi kapasitas.

Untuk mendorong penerapan peta jalan, IMDA akan mengalokasikan kapasitas pusat data baru kepada operator yang memprioritaskan keberlanjutan dan nilai ekonomi.

Rencana ini akan berupaya meningkatkan efisiensi energi pusat data dengan mendorong penggunaan pendingin cair yang lebih besar dan mengurangi ketergantungan pada pendingin udara, serta meningkatkan suhu ruang data.

Mereka juga akan berupaya untuk mendorong penggunaan alat berbasis software seperti virtualisasi server, penerapan teknik software ramah lingkungan, dan mengidentifikasi serta mengatasi titik panas karbon pada software.

Selain Singapura, petarung data center lain datang dari negeri jiran Malaysia. Memanfaatkan kedekatan jarak dengan Singapura, Johor Bahru menjelma menjadi kekuatan baru sejak Negeri Singa melakukan moratorium pembangunan data center pada 2018 lalu.

Pada 2023, salah satu pemain besar di Asia Pasifik, Princeton Digital Group (PDG), mulai membangun fasilitas baru di Johor, Malaysia. Perusahaan telah mulai mengerjakan tahap pertama kampus JH1 di Sedenak Tech Park (STeP), Johor, setelah menyelesaikan fondasinya pada awal Desember 2023.

Pada bulan Mei 2023, PDG mengumumkan telah mengakuisisi lahan seluas 31 hektar dari JLand Group (JLG) untuk mengembangkan kampus 150MW di Sedenak Tech Park (SteP) dengan nilai investasi sekitar US$450 juta.

PDG juga telah menandatangani Perjanjian Pasokan Listrik (ESA) dengan Tenaga Nasional Berhad (TNB) untuk memberi daya pada kampus JH1 mulai paruh pertama tahun 2024.

Pemain lain yang menjadikan Johor Bahru sebagai tempat data center adalah Nvidia, AirTrunk, GDS International dan YTL Power, hingga Microsoft. Johor kabarnya memiliki 13 fasilitas pusat data di lahan seluas lebih dari 1,65 juta kaki persegi.

Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia memiliki 200 MW power capacity data center di 2024, Singapura (1,4 GW), dan Malaysia (1,3 GW) power capacity data center dari sebelumnya hanya 10 MW di tahun 2019.

Indonesia memiliki 3 pendorong industri data center fundamental ekonomi, transformasi digital dan regulasi yang mampu menjadi daya tarik investasi data center. Industri data center di Indonesia sebenarnya tumbuh pesat selama penerapan moratorium penambahan data center di Singapura.

Hanya saja potensi ini harus menghadapi persaingan dengan Malaysia dan Singapura yang terus memberikan kemudahan aturan, ditambah inkonsistensi dan ego sektoral regulator yang memunculkan anomali dalam pengembangan data center di Indonesia.

Contoh nyata adalah diijinkannya ekspor listrik berbasis Renewable Energy ke Singapura yang notabene sama saja mendukung negara tersebut tetap eksis sebagai pemain besar, padahal di nusantara sendiri elektrifikasi masih kembang kempis.

Padahal, Indonesia merupakan negara dengan potensi pertumbuhan ekonomi digital sangat besar. Ekonomi Digital Indonesia diproyeksi tumbuh delapan kali lipat dari tahun 2020 sebesar Rp 632 triliun menjadi Rp 4.531 triliun pada tahun 2030, dengan persentase kontribusi terhadap GDP meningkat dari 4% menjadi 18%.

Negeri ini sudah menyiapkan Batam untuk mengantisipasi moratorium data center di Singapura beberapa tahun lalu dan munculnya Johor Bahru. Salah satunya dengan menetapkan Nongsa Digital Park (NDP) sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Digital.

Salah satu pemain yang serius mengembangkan data center di Batam, dan Indonesia secara umum adalah PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom) melalui anak usahanya PT Telkom Data Ekosistem (TDE) atau NeutraDC.

Pemerintah melalui Telkom pun menargetkan untuk penguasa pasar data center di kawasan Asia Tenggara dan sudah merencanakan membangun data center dengan total kapasitas 400 megawatt (MW) sampai tahun 2030. Saat ini kapasitas yang dimiliki Telkom baru mencapai 60 MW.

Telkom sudah sudah memiliki 30 fasilitas data center (25 domestik & 5 luar negeri) dan tersebar di empat negara (Indonesia, Singapura, Hongkong, dan Timor Leste).

Rinciannya, Hyperscale Data Center di Cikarang (21 MW), Singapura (17 MW). Enterprise Data Center di Serpong (8 MW), Sentul (5 MW), dan Surabaya (3 MW). Edge Data Center (6 MW). Hyperscale baru akan dibuka tahun 2025 di Batam dengan kapasitas 18 MW dengan kemungkinan peningkatan kapasitas menjadi 54 MW. Data center tersebut dioperasikan NeutraDC, anak perusahaan Telkom yang mengelola data center.

Era AI menjadi peluang bagi Indonesia untuk mengungguli Johor di pasar data center. Pasalnya, AI butuh dilatih dan tempat pelatihan itu adalah data center. Pelanggan pun membutuhkan kapasitas data center yang lebih besar untuk AI berlatih. Kebutuhan power untuk AI adalah 3-4 kali lipat. Pendinginan juga butuh air yang dialirkan sampai rak.

Telkom melalui NeutraDC menyiapkan hyperscale data center yang siap untuk AI di Cikarang dengan kapasitas 21 MW yang akan siap Q3 2024. Satu lagi adalah data center Batam dengan kapasitas 18 MW yang akan siap di kuartal keempat 2025.

Telkom menyiapkan belanja modal hingga Rp6 triliun pada 2023 untuk meningkatkan kapasitas data center hingga 9 kali lipat.

Hingga akhir Maret 2024, bisnis data center dan cloud TelkomGroup membukukan pendapatan sekitar Rp 449 miliar. Angka tersebut tumbuh 24,6% dari tahun lalu.

Telkom menyatakan siap menembus Rp 1 triliun keuntungan di periode Q2 2024 karena itu tak segan menambah penyertaan modal sebesar Rp1,62 triliun kepada NeutraDC di awal Juni ini.

Kabel Laut
Hal lain yang perlu diapresiasi, melalui anak usaha lainnya, Telin, perusahaan pelat merah ini ingin mewujudkan Indonesia menjadi hub kabel laut dunia.

Untuk menjadi hub kabel laut dunia, ada 4 proyek SKKL yang sedang digelar. Proyek SKKL itu adalah BIFROST yang menghubungkan Singapura-Jakarta-Manado-Davao-Guam-Los Angeles (Q1 2025). Ada SJC2 dengan rute Singapura-Hong Kong-Jepang (Q1 2025). Ada SMW6 dengan rute Singapura-India-Mesir-Marseille (Q4 2025) dan PEACE yaitu Singapura-Kenya-Mesir-Prancis (Q3 2024). Dengan 4 SKKL ini Indonesia makin terhubung ke Asia, Amerika, Timur Tengah, Afrika dan Eropa.

Strategi baru Telin adalah membangun Indonesia Cable Express (ICE). Ini adalah 7 sistem SKKL ke seluruh dunia yang dimulai dari paling awal 2023 dan paling akhir 2028. Total investasi US$2,66 miliar (Rp 43,188 triliun).

Sistem Indonesia Cable Express (ICE) terdiri atas:
Sistem 1 Indonesia-Singapura-Malaysia.
Sistem 2 Singapura-Indonesia
Sistem 3 Singapura-Jepang-Korsel-Filipina-Vietnam.
Sistem 4 Indonesia-Singapura-India-Oman-Uni Emirat Arab-Mesir.
Sistem 5 Trans Pasifik dari Asia ke Amerika.
Sistem 6 China (Hong Kong)-Indonesia-Papua Nugini-Chile.
Sistem 7 Indonesia-Australia.

Sistem Komunikasi Kabel Laut (SKKL) adalah konektifitas yang penting menyambungkan data center ke pusat internet dunia, Amerika Serikat (AS). Selama ini Singapura selalu menjadi tujuan kabel laut dari AS, karena data center milik OTT global ada disitu, sementara perairan Indonesia hanya dilewati.

Pemerintah melalui Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No14/2021, mulai mengatur tentang kabel laut yang melintasi perairan Indonesia dengan mewajibkan memilih empat lokasi (Manado, Jayapura, Kupang, Batam), sebagai landing station.

Sayangnya, inkonsistensi dalam menjalankan aturan ini membuat pelaksanaan tidak optimal sehingga Batam tetap sebagai titik pendaratan utama dari SKKL internasional.

Melihat pertumbuhan pesat industri teknologi informasi dan komunikasi di kawasan ini, wajar saja persaingan semakin memanas dalam hal menarik investasi.

Pemerintah mendatang harus bisa menawarkan infrastruktur yang handal, menetapkan regulasi yang mendukung, konsisten dalam pelaksanan, serta pro lokal menjadi sebuah keharusan jika Indonesia ingin menjadi pemenang dalam peperangan ini.

@IndoTelko