JAKARTA (IndoTelko) - Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) serius ingin membentuk Dewan Media Sosial (DMS) untuk meningkatkan pelindungan anak di ruang digital.
Pembentukan Dewan Media Sosial merupakan upaya untuk menjalankan rekomendasi United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) dalam meningkatkan pelindungan anak di ruang digital atau Child Online Protection.
Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi menyatakan keberadaan Dewan Media Sosial akan membantu Pemerintah dalam melindungi anak dari kekerasan atau perundungan di ruang digital.
"Kita ingin melindungi anak-anak di ruang digital, ada namanya child online protection atau perlindungan anak di ruang digital. Kamu kadang suka lihat kan di media sosial ada anak dibully di sekolahnya. Jadi ini kan (korban bully) harus dilindungi," jelasnya.
Menurutnya, hal itu selaras dengan komitmen Pemerintah pada awal 2024 untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Bahkan, kajian akademik juga sudah dilakukan oleh UNESCO dan diserahkan kepada Kementerian Kominfo.
"Dewan Media Sosial ini bukan ide sembarangan dari pinggir jalan atau ngopi-ngopi atau orang ngelantur. Dewan Media Sosial ini rekomendasi dari UNESCO, dimana usulan itu diberikan kepada kita bahkan naskah akademik 160 halaman," tuturnya.
Diakuinya, saat ini Pemerintah belum mengambil langkah dalam pembentukan Dewan Media Sosial. Menurutnya, saat ini Pemerintah tengah menimbang rencana kebijakan pembentukan Dewan Media Sosial itu.
"Perkembangan media baru ini kan memunculkan dispute. Karena itu perlu dilakukan reformasi ulang penataannya. Ini prinsipnya independen seperti Dewan Pers. Kita nanti lakukan kajian dan juga berdiskusi dengan banyak pihak," ungkapnya.
Dia meminta masyarakat tidak salah mengartikan diskusi yang tengah berkembang. Menkominfo menegaskan tidak mungkin Dewan Media Sosial membatasi kebebasan berpendapat publik di platform media sosial.
"Supaya jangan salah tangkap, dipelintir lagi, Pemerintah ngawasi media sosial? Tidak! Ini yang rekomendasi organisasi internasional, UNESCO. Nanti saya berikan draft-nya UNESCO kalau kalian mau naskah akademiknya," tegasnya.
Dijelaskannya, dalam usulan UNESCO, Dewan Media Sosial berbentuk jejaring atau koalisi independen yang tidak berada di bawah naungan pemerintah. Anggota Dewan Media Sosial terdiri dari perwakilan organisasi masyarakat, akademisi, pers, komunitas, praktisi, ahli, hingga pelaku industri.
"Prinsip UNESCO ini melibatkan multistakeholders dalam media sosial. Jadi itu independen dan kerja sama atau koalisi lintas stakeholders seperti pemuka agama, akademisi, masyarakat, semua penggiat media sosial," tandasnya.
Jika nantinya Dewan Media Sosial terbentuk, bukan untuk mengawasi seluruh konten di media sosial. Pemerintah akan mendorong untuk meningkatkan demokratisasi di ruang digital dan mendorong content creator mengembangkan konten yang bermanfaat bagi masyarakat.
"Tentunya tidak akan membatasi kebebasan masyarakat untuk berpendapat di media sosial. Yang pasti Pemerintah mendukung kemerdekaan dan kebebasan masyarakat untuk bersuara dan berpendapat. Indonesia ini negara demokrasi, enggak usah khawatir, yang komtrol kan kalian semua. Dewan Media Sosial ini dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat," jelasnya.
Tidak Tepat
Sementara Direktur Eksekutif Southeast Asia Freedom of Expression Network (SafeNet) Nenden Sekar Arum mengatakan situasi saat ini tidak ideal adanya Dewan Media Sosial.
Hal ini karena adanya putusan DPR menolak usul untuk merevisi Pasal 40 Ayat 2c pada revisi kedua Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) seperti yang disampaikan SafeNet.
Dijelaskannya, dengan masih dominannya unsur pemerintah dalam proses penyelesaian sengketa di media sosial sebagaimana yang diatur pada Pasal 40 Ayat 2c revisi kedua Undang-Undang ITE, maka usulan pembentukan DMS perlu ditinjau ulang sebagaimana hasil kajian Unesco; Universitas Gadjah Mada; dan Center for Digital Society (CfDS) pada 2022 lalu.
Dalam kajian tersebut, mutlak diperlukan adanya keterlibatan masyarakat sipil dan pihak berkepentingan lain dalam menangani dan menyelesaikan sengketa konten di media sosial.
Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat atau ELSAM, Wahyudi Djafar, mengingatkan dengan tidak adanya undang-undang yang melandasi rencana pembentukan DMS ini, maka kecil kemungkinan DMS bisa memiliki posisi yang serupa dengan Dewan Pers, yaitu sebagai lembaga yang independen.
"Membentuk lembaga independen itu syaratnya dibentuk oleh Undang-Undang. Jika usulan dalam revisi kedua Undang-Undang ITE saja ditolak, bagaimana bisa dikatakan DMS ini akan independen," kata Wahyudi.(ak)