Simplifikasi fenomena Starlink

Diskusi kehadiran akses internet berbasis teknologi satelit orbit rendah via PT Starlink Service Indonesia masih mendominasi media massa di bulan ini.

Perusahaan yang menjadi kepanjangan tangan SpaceX itu bahkan dibahas dalam sejumlah rapat kerja antara anggota parlemen dengan mitra kerjanya.

Saat Rapat Kerja dengan Komisi I DPR, Menkominfo Budi Arie Setiadi mengungkapkan, di negara-negara Starlink beroperasi dimana secara geografi mirip dengan Indonesia, tidak mampu menggerus pemain eksisting.

"Dari data terakhir, Starlink itu di Amerika Serikat cuma menguasai pansa pasar 0,2%, di Kanada cuma setengah persen, di Australia juga setengah persen dan di Selandia Baru cuma 0,8%," ungkap Budi Arie kala rapat dengan Komisi I DPR.

Menurutnya, kehadiran Starlink di Indonesia bisa memantik anak muda untuk mengembangkan teknologi yang lebih canggih. "Jadi juga pecutan untuk teman-teman operator dan telekomunikasi seluler ini untuk juga berbenah, terutama dari sisi aspek teknologi itu. Saya bilang tenang aja kalian masa takut sama Starlink," kata Budi Arie.

Ditegaskannya, kehadiran Starlink sudah mengikuti aturan main di Indonesia. "Pemerintah tidak menjadikan Starlink sebagai anak emas. Dan memberikan perlakuan yang setara kepada semua penyelenggara internet service provider," ujar Budi Arie.

Sebagaimana diketahui, Starlink telah mengantongi izin operasional di Indonesia. SpaceX sudah mengajukan perizinan sebagai penyelenggara layanan Very Small Aperture Terminal (VSAT) dan Internet Service Provider (ISP).

Sementara fakta mengejutkan dikeluarkan Kementrian Investasi yang menyatakan layanan jasa internet Starlink menanamkan modalnya di Indonesia, sebesar Rp30 miliar dengan hanya memiliki tiga orang karyawan.

Data tersebut didapat dari sistem Online Single Submission (OSS) yang masuk, saat Starlink mengurus perizinan Nomor Induk Berusaha (NIB).

Sontak data yang dikeluarkan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia saat berbicara di rapat kerja dengan Komisi VI DPR seperti tamparan bagi sejawatnya, seperti Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi (Menkomarves) Luhut Binsar Pandjaitan atau Menkominfo Budi Arie Setiadi.

Upaya Menkomarves Luhut membangun persepsi bahwa Starlink adalah game changer di industri telekomunikasi terasa sia-sia karena ternyata sang pemilik, Elon Musk, hanya sebatas ingin memanfaatkan pasar Indonesia untuk berjualan akses internet.

Jika benar adanya investasi awal dari Starlink di Indonesia hanya Rp30 miliar, maka layak banyak pihak mempertanyakan keberadaan infrastruktur fisik seperti Network Operation Center (NOC) atau stasiun bumi (ground segment) dari layanan satelit itu di Indonesia.

Simplifikasi
Menyimak cara pejabat di negeri ini menjawab pertanyaan strategis dari pelaku industri eksisting terhadap kehadiran Starlink, terasa sekali ada upaya menyederhanakan (simplifikasi) masalah.

Padahal, yang diminta pelaku eksisting adalah kesetaraan berusaha. Apalagi Perusahaan telekomunikasi seperti Telkomsel, XL Axiata, dan Indosat sudah berinvestasi hingga sekitar Rp 3.000 triliun dalam 30 tahun.

Belum lagi pelaku usaha telekomunikasi memenuhi kewajiban membayar Biaya Hak Penyelenggaraan atau BHP Telekomunikasi dan Kontribusi Kewajiban Pelayanan Universal alias USO.

Besaran BHP Telekomunikasi 0,5% dari pendapatan kotor perusahaan per tahun, sedangkan USO 1,25%. Berdasarkan data, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), BHP Telekomunikasi yang dihimpun tahun lalu sebesar Rp 1,24 triliun dan USO Rp 3,5 triliun.

Tentunya wajar pelaku usaha ini berteriak karena kewajiban dijalankan, tetapi hak untuk mendapatkan perlindungan berusaha tidak diterima dari regulator.

Jangankan berusaha membuat adanya kesetaraan, tetapi yang dilakukan pejabat pemerintah adalah membangun persepsi seolah-olah pemain lama tak siap bersaing dengan Starlink.

Tentu hal ini menjadi ironi mengingat regulasi-regulasi berbiaya tinggi dari regulator selama ini menjadi salah satu pemicu tak kompetitifnya industri telekomunikasi.

Fakta lain yang terpapar adalah ketidaksiapan regulator telekomunikasi mengatur perkembangan teknologi milik Starlink yang tak lama lagi bisa menyediakan layanan internet langsung ke handphone atau direct to cell.

Solusi ini memang baru tersedia di beberapa negara, namun melihat potensi pasar Indonesia, bisa diprediksi layanan ini akan ditawarkan juga ke pengguna di tanah air.

Sudah saatnya pemerintah mengantisipasi hal ini dengan mengatur kerjasama operator-Starlink karena yang akan dimanfaatkan adalah spektrum milik pemain seluler nantinya.

Cukup sudah berpolemik di media massa, saatnya regulator bekerja untuk semua pemain bukan tersilau oleh pemain baru yang mengandalkan nama besar sang pemilik, tetapi hanya sekadar berjualan tanpa ada komitmen membangun industri telekomunikasi di tanah air.

@IndoTelko