JAKARTA (IndoTelko) - Meskipun dinobatkan sebagai pemimpin pertumbuhan digital di Asia Tenggara, Indonesia memerlukan infrastruktur yang lebih canggih, investasi berkelanjutan, dan kebijakan inovatif untuk sepenuhnya memanfaatkan peluang ekonominya. Inilah tema yang dieksplorasi Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) dalam sesi pembuka DigiWeek 2024 di Le Meridien, Jakarta Pusat, Senin (15/7).
DigiWeek 2024, acara flagship kelima CIPS, merupakan wadah bagi para pemangku kepentingan untuk berkumpul dan mengatasi tantangan bersama dalam memajukan lingkungan digital yang inovatif dan inklusif di Indonesia dengan tujuan membentuk lanskap digital di masa depan. Sesi pembuka bertajuk "Policy Pioneers: Shaping the Future of Indonesia’s e-Conomy" menekankan pentingnya kebijakan yang visioner dan kemampuan para pemimpin serta masyarakat untuk memaksimalkan potensi ekonomi digital Indonesia, yang kini bernilai US$82 miliar.
Dikatakan Co-Founder dan COO Think Policy Indonesia, Prasetya Dwicahya, sentralisasi standar digital di Indonesia membutuhkan regulasi kuat yang mencakup lebih dari sekadar telco dan perbankan. "Penting untuk mengevaluasi inisiatif digital untuk efisiensi sektor dan dampak sosial," tegasnya.
Ditekankannya, pentingnya peningkatan infrastruktur digital publik seperti identitas digital, pertukaran data, dan pembayaran digital untuk mendorong penciptaan nilai, inklusivitas, dan kepercayaan antar sektor. Ia juga menyoroti urgensi untuk memberikan insentif kepada talenta digital di berbagai sektor.
Selain itu, kebijakan juga harus mempertimbangkan konteks budaya dan sosial-ekonomi yang beragam, dengan menekankan strategi yang cermat untuk mempromosikan adopsi dan kesiapan teknologi. Prasetya kemudian membagikan pengalamannya di Kementerian Kesehatan dalam menerapkan konsep 'Availability, Accessibility, Acceptability, Quality' (AAAQ) sebagai indikator utama bagi sebuah organisasi yang ingin menjalankan transformasi digital.
“Konsep AAAQ membutuhkan kerangka kerja regulasi yang kuat untuk mengatur inisiatif digital secara efektif serta peran penting kepercayaan dari masyarakat dan para pemangku kepentingan, serta legitimasi dari otoritas yang berwenang untuk memastikan bahwa inisiatif digital tersebut dapat diterima dan diimplementasikan dengan baik,” tambahnya.
Sementara, CEO Center for Indonesian Policy Studies, Anton Rizki Sulaiman, menggarisbawahi tantangan perumusan kebijakan di tengah transformasi digital yang pesat. Ia mengadvokasikan pendekatan regulasi kolaboratif antara pemerintah, industri, dan pemangku kepentingan dengan merujuk pada regulatorysandboxes dan metodologi test-and-learn sebagai alat esensial untuk menyeimbangkan kepentingan publik dan inovasi.
Sedangkan, Plt. Direktur Jasa Keuangan dan BUMN, Kedeputian Ekonomi di Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (Kementerian PPN/Bappenas), Rosy Widyawati menekankan, transformasi ekonomi digital harus melibatkan pengembangan sumber daya manusia digital, peningkatan tata kelola pemerintah melalui sarana digital, dan memastikan stabilitas makroekonomi melalui digitalisasi keuangan.
Menurutnya, tantangan yang masih dihadapi meliputi infrastruktur digital yang tidak merata, kesenjangan keterampilan, risiko keamanan siber, dan kebutuhan akan kebijakan ekosistem digital yang inklusif.
Di bawah bimbingan Bappenas, indikator dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) mengalir ke Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJPD) dan Rencana Kerja Pemerintah (RKP) tahunan. Keselarasan ini memastikan pemantauan dan evaluasi tujuan yang konsisten. evaluasi rutin, termasuk tinjauan triwulanan dan setengah tahunan, melacak kemajuan terhadap 45 indikator yang terurai.
Ia menegaskan pentingnya Indikator Kinerja Utama (IKU) di semua lembaga untuk memastikan ketersediaan dan keandalan data, serta mencegah dimasukkannya metrik yang tidak dapat dibuktikan. (mas)