Halusinasi validasi diri di Strava

Meningkatnya popularitas olahraga lari di dunia menjadi berkah bagi Strava.

Di global, Strava digunakan sekitar 120 juta pengguna yang didominasi kelompok usia 25-34 tahun. Setiap bulannya, Strava diprediksi mendapat 2 juta pengguna baru. Model bisnis yang ditawarkan Strava ada yang berlangganan bulanan dan tahunan atau gratis.

Di Indonesia, biaya langganan Strava senilai Rp85.000 per bulan atau Rp549.000 per tahun.

Bisa dipastikan diantara ratusan juta pengguna itu berasal dari Indonesia yang warganya sangat cepat mengadopsi dan selalu ingin mengaktualisasi diri via media sosial.

Strava sebenarnya aplikasi dan platform sosial yang dirancang untuk mereka yang gemar berolahraga, khususnya pelari dan pengendara sepeda.

Aplikasi ini memungkinkan pengguna untuk melacak aktivitas olahraga mereka menggunakan GPS, berbagi hasil dengan komunitas, serta menganalisis kinerja mereka melalui berbagai metrik seperti jarak, kecepatan, elevasi, dan waktu.

Strava juga memiliki fitur sosial di mana pengguna dapat memberi "kudos" (semacam "like") dan berkomentar pada aktivitas yang dibagikan oleh orang lain, serta bergabung dengan klub atau tantangan untuk meningkatkan motivasi.

Motivasi mereka yang berolahraga memposting data Strava di akun media sosial mereka untuk mendapatkan validasi, seperti likes, comments, reaction atau engagement agar terlihat bagus.

Pengguna Strava memiliki motto “If it’s not on Strava, it didn’t happen” atau jika tidak tercatat di Strava, maka tidak terjadi.

Motto yang sangat menantang untuk memacu adrenalin pecinta olahraga bekerja keras dalam mencapai prestasi terbaik.

Sayangnya, karena ada fitur media sosial tentu muncul unsur pamer dan aktualisasi diri, sehingga di Indonesia memunculkan pekerjaan "Joki Strava".

Para "Joki Strava" menawarkan jasanya melalui platform media sosial X, atau Instagram. Biasanya joki memang pecinta olahraga, dengan menawarkan tarif berbasis pace berlari yang diinginkan klien. Misal, untuk Pace 4 berlari alias 1 KM dalam empat menit, tarif yang dipatok Rp10 ribu - Rp20 ribu. Ada juga untuk "Pace 8" (1km dalam delapan menit), tarifnya Rp5.000.

Pembayaran dilakukan di muka sebelum joki mulai berlari. Pencatatan bisa menggunakan akun Strava sang joki atau milik klien, sesuai dengan permintaan.

Merusak Integritas
Fenomena “joki Strava” sudah jelas merusak semangat sportivitas dalam berolaharga.

Dengan menggunakan jasa orang lain untuk mencatat prestasi di Strava, individu yang menggunakan “joki” tidak meraih prestasi secara jujur, yang mengurangi nilai pencapaian dalam komunitas olahraga. Selain itu, hal ini menciptakan ketidakadilan bagi yang bekerja keras untuk mencapai tujuan mereka sendiri, mematahkan semangat dan motivasi mereka.

Fenomena “joki Strava” juga menimbulkan kekhawatiran serius terkait keamanan data pribadi. Agar “joki” dapat mengunggah aktivitas ke akun Strava klien, mereka memerlukan akses ke akun tersebut, yang sering kali berarti berbagi kata sandi atau informasi login.

Ini meningkatkan risiko keamanan, karena informasi login dapat disalahgunakan. Selain itu, “joki” yang tidak bertanggung jawab mungkin mengabaikan pengaturan privasi, yang dapat mengungkap data lokasi dan aktivitas klien kepada publik tanpa izin.

Fenomena ini memang mencerminkan tekanan sosial yang tinggi untuk mencapai prestasi tertentu, sehingga mendorong individu untuk menggunakan cara tidak jujur.

Keberadaan “joki Strava” bisa merusak rasa kebersamaan dan saling percaya dalam komunitas olahraga, yang seharusnya mendukung dan memotivasi satu sama lain.

Sudah saatnya Strava dapat mengembangkan mekanisme untuk mendeteksi aktivitas yang tidak wajar dan mengidentifikasi penggunaan “joki.” Pendekatan ini bisa melibatkan analisis data biometrik atau pola aktivitas yang khas, yang membantu menjaga keaslian data dan memastikan bahwa setiap pencapaian di platform ini adalah hasil usaha nyata.

Menghentikan fenomena “joki Strava” perlu pendekatan holistik dan kolaboratif antara platform digital, komunitas, dan individu.

Tingkatkan edukasi, gunakan teknologi keamanan yang lebih baik, dan komitmen terhadap nilai-nilai sportifitas, agar komunitas dapat memastikan bahwa prestasi yang dicapai di Strava dan platform lainnya benar-benar mencerminkan usaha dan dedikasi yang sejati.

Ini bukan hanya tentang menjaga integritas olahraga, tetapi tentang membangun manusia yang jujur dan bermartabat.

@IndoTelko