Dilema operator telekomunikasi

Sektor telekomunikasi di Indonesia sedang tidak baik-baik saja.

Pernyataan ini dikeluarkan Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi belum lama ini.

Budi Arie menyoroti kualitas internet Indonesia yang berkutat pada kecepatan sekitar 25 Mbps, padahal negara sudah mencanangkan kecepatan internet nasional menjadi 750 Mbps sesuai Visi Indonesia Digital 2045.

Tantangan yang dihadapi tidak hanya berkisar pada teknologi dan infrastruktur, tetapi juga pada kondisi keuangan operator telekomunikasi yang semakin tertekan.

Harap diketahui, untuk pembangunan infrastruktur digital, operator telekomunikasi adalah ujung tombaknya di Indonesia.

Saat ini bisa dikatakan operator telekomunikasi seperti Telkom, XL Axiata, Indosat Ooredoo Hutchison, dan Smartfren, mengalami pertumbuhan pendapatan yang cenderung tipis dengan margin keuntungan yang tertekan.

Tekanan dari persaingan ketat menyebabkan operator harus beradaptasi dengan strategi harga yang kompetitif, sementara beban finansial untuk investasi besar dalam infrastruktur, seperti teknologi 5G dan pengembangan satelit, menjadi beban tambahan.

Kesimpulannya, tekanan dari persaingan harga dan kebutuhan investasi tinggi membatasi margin keuntungan para operator. Dampaknya, margin keuntungan yang tertekan membatasi kapasitas perusahaan untuk berinvestasi.

Lihat saja, Telkom Indonesia meski dominan dengan pendapatan yang solid, harus berinvestasi besar dalam penguatan infrastruktur 5G dan layanan digital.

XL Axiata, meski mengalami pertumbuhan, menghadapi tantangan dari margin yang sempit akibat persaingan harga. Indosat Ooredoo Hutchison, setelah merger, menunjukkan peningkatan kinerja, tetapi masih harus menavigasi integrasi dan investasi. Smartfren, dengan pertumbuhan yang positif, tetap menghadapi tekanan dari persaingan harga.

Insentif
Resep lama tapi susah sekali implementasinya yakni dukungan dari pemerintah berupa insentif sudah sangat dibutuhkan.

Jika Menkominfo di media menyatakan insentif masih dalam pembicaraan berupa terkait tarif hingga frekuensi, dan sistem pembayaran tarif. Ini adalah lagu lama kaset kusut yang tak pernah tuntas di era dua periode Kabinet Joko Widodo.

Sudah lama operator meminta insentif yang diberikan benar-benar mendukung tanpa menambah beban finansial.

Pemerintah harus memastikan bahwa insentif yang diberikan mencakup pengurangan regulasi yang membebani dan penyederhanaan administrasi. Ini termasuk memberikan dukungan untuk investasi yang berkelanjutan dan mengurangi beban cash flow yang diderita operator.

Operator sebenarnya tidak manja dalam menghadapi tantangan, karena sudah terus berinovasi dan meningkatkan efisiensi operasional sambil mempertahankan keseimbangan finansial.

Seandainya ada dukungan yang memadai dari pemerintah dan adopsi teknologi terbaru, industri telekomunikasi Indonesia dapat melihat pertumbuhan yang stabil dalam jangka menengah. Namun, pertumbuhan ini mungkin akan berlangsung lambat jika tantangan keuangan dan persaingan tetap dominan.

Sudah saatnya pemerintah merealisasikan janji ke operator telekomunikasi tanpa harus berpolemik di media atau lupakan saja Visi Indonesia Digital 2045!

@IndoTelko