Media sosial dan panggung demokrasi

Fenomena unjuk rasa yang terjadi pada 22 Agustus 2024 di berbagai daerah Indonesia mengingatkan kita akan peran krusial media sosial dalam mendorong dan mengorganisir aksi-aksi politik.

Indonesia memiliki lebih dari 191 juta pengguna internet dimana sekitar 167 juta di antaranya aktif di media sosial, seperti Twitter, Instagram, dan Facebook. Tiga platform ini telah menjadi pusat utama dalam menyuarakan opini publik dan memobilisasi aksi.

Tagar "#IndonesiaDarurat" menggema sejak Rabu (21/8/) sebagai ekspresi kemarahan masyarakat Indonesia yang melihat ada upaya 'pembegalan' demokrasi lewat revisi Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) oleh oligarki politik di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).

Gejala pembegalan dibaca publik sehari setelah Mahkamah Konstitusi (MK) mengubah syarat pencalonan Pilkada melalui putusan nomor 60/PUU-XXII/2024 dan nomor 70/PPU-XXII/2024.

Putusan MK telah mengubah ambang batas pencalonan oleh partai politik yang ada di UU Pilkada sebesar 20% kursi DPRD atau 25% suara sah. MK menganulir ambang batas dalam UU Pilkada tersebut melalui putusan nomor 60/PUU-XXII/2024.

MK kemudian memberikan syarat baru ambang batas didasarkan pada jumlah penduduk. Melalui putusan itu, MK menyatakan partai atau gabungan partai politik peserta pemilu bisa mengajukan calon kepala daerah meski tidak punya kursi DPRD.

Partai yang tidak memperoleh kursi DPRD, tetap bisa mengusung paslon selama memenuhi syarat presentase yang dihitung dari jumlah daftar pemilih tetap (DPT). Syarat parpol dan gabungan parpol bisa mengusung paslon yaitu memperoleh suara sah dari 6,5% hingga 10%, tergantung pada jumlah pemilih tetap di provinsi itu.

Putusan MK nomor 70/PPU-XXII/2024 menegaskan batas usia minimum calon gubernur tetap 30 tahun dan calon wali kota/bupati tetap 25 tahun, saat ditetapkan oleh KPU sebagai pasangan calon, bukan ketika dilantik.

Putusan MK Nomor 70 yang ingin direvisi via keputusan Badan Legislatif (Baleg) DPR dengan menyatakan batas usia paling rendah calon gubernur adalah 30 tahun dan batas usia calon wali kota/bupati adalah 25 tahun ketika resmi dilantik dinilai paling memicu publik marah karena dianggap ingin memuluskan sosok Kaesang Pangarep, anak Joko Widodo, sebagai kandidat kepala daerah.

Sepertinya publik sudah tak bertoleransi lagi dengan aroma nepotisme di Pemilihan Kepala Daerah layaknya Pemilihan Presiden beberapa waktu lalu.

Layaknya Baleg yang mampu menyelesaikan rapat dalam hitungan jam, #IndonesiaDarurat juga melesat di sejumlah media sosial dalam waktu singkat. Narasi Newsroom dalam akun Instagramnya mengungkap tiga konten dengan tagar Indonesia Darurat dibagikan sejuta pengguna dalam waktu singkat.

Tak hanya itu, tagar ini berhasil mengumpulkan ribuan massa pada 22 Agustus 2024. Peran influencer dalam gerakan ini juga tak bisa diabaikan. berbekal jutaan pengikut, mereka memiliki kekuatan untuk menggerakkan massa melalui pesan-pesan yang mereka sebarkan. Influencer seperti aktivis digital dan tokoh masyarakat menggunakan platform mereka untuk mendorong partisipasi publik dan menyoroti isu-isu yang dianggap penting.

Kondisi ini menggambarkan bagaimana media sosial mampu mempengaruhi opini dan tindakan publik secara cepat dan luas.

Viralitas tagar ini menunjukkan bahwa media sosial bukan hanya tempat untuk berbagi informasi, tetapi juga platform yang mampu menggerakkan massa untuk turun ke jalan.

Namun, meskipun media sosial memiliki potensi besar, ia juga dapat menjadi sumber disinformasi yang merugikan. Penyebaran berita palsu dan hoaks bisa mengaburkan fakta dan memicu konflik, yang menjadi tantangan tersendiri bagi masyarakat dan pembuat kebijakan. Pengelolaan media sosial yang bijak sangat penting, platform ini harus digunakan dengan tanggung jawab untuk memperkuat suara publik tanpa menyebarkan kebencian atau informasi yang salah.

Pemerintah dan pengguna media sosial perlu menjaga keseimbangan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial. Menghormati Hak Asasi Manusia (HAM) dan memastikan bahwa media sosial tidak disalahgunakan untuk menyebarkan informasi yang salah adalah langkah penting dalam memanfaatkan platform ini secara positif.

Influencer yang memainkan peran penting dalam mempengaruhi opini publik, harus menyadari dampak signifikan dari konten yang mereka sebarkan. Mereka perlu bertanggung jawab terhadap informasi yang mereka sebar, menghindari penyebaran hoaks, dan memastikan bahwa kontribusi mereka dalam media sosial mendukung kebenaran dan integritas.

Terakhir, pengelola platform pun harus bisa menjaga netralitas dengan tidak berpihak pada kepentingan politik tertentu agar ruang demokrasi tetap terjaga.

Di era digital, media sosial telah menjadi panggung baru bagi demokrasi. Ia memungkinkan suara rakyat terdengar lebih kuat dan lebih luas dari sebelumnya. Tantangannya adalah memastikan bahwa platform ini digunakan untuk memperkuat, bukan menghancurkan demokrasi.

Ingat, perbedaan hal yang lumrah dalam demokrasi!

@IndoTelko