JAKARTA (IndoTelko) - Kecerdasan buatan (artificial intellegence/AI) menjanjikan efisiensi dan meningkatkan produktivitas. Tapi, AI juga mengancam sejumlah lapangan pekerjaan, khususnya di sektor-sektor yang bergantung pada pekerjaan repetitif yang bisa diotomatisasi. Pekerja perempuan terdampak lebih besar ketimbang laki-laki imbas automasi ini.
Direktur IMD World Competitiveness Center (WCC), Arturo Bris memberikan tiga poin penting pengaruh AI terhadap ketersediaan lapangan kerja Berdasarkan hasil riset IMD World Talent Ranking 2024, .
1. Kecerdasan buatan akan mengubah lapangan pekerjaan.
AI akan mengubah lapangan pekerjaan, namun belum ada penelitian yang jelas menunjukkan apakah AI akan menambah atau mengurangi lapangan pekerjaan. Jika AI menghilangkan sejumlah lapangan kerja yang ada, maka pemerintah perlu memikirkan bagaimana cara untuk membuka lapangan kerja baru.
2. Lapangan kerja di negara maju lebih terdampak oleh AI
Menurut data Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO/Internasional Labour Organization) PBB, AI akan mengubah atau menggantikan 5,5% pekerjaan di negara berpendapatan tinggi dan hanya kurang dari 0,4% di negara berpendapatan rendah. Hal ini terkait lebih terbatasnya akses teknologi di negara kurang berkembang.
3. AI memperburuk inklusi dan diskriminasi
Algoritma AI yang bias bisa meningkatkan diskriminasi di tempat kerja. Data ILO menemukan automasi pekerjaan memberi pengaruh berdasarkan gender. Otomatisasi pekerjaan dengan AI akan memengaruhi pekerja perempuan di negara maju (7,9%) ketimbang laki-laki (2,9%). Sementara di negara berkembang perempuan (2,7%) pun lebih terdampak AI ketimbang pria (1,3%). Sehingga penggunaan AI untuk perekrutan, promosi, dan evaluasi kinerja, perlu mengevaluasi ulang soal keadilan dan akuntabilitas algoritma AI yang dipakai.
Pemerintah dan pengambil kebijakan disarankan untuk segera melakukan antisipasi. Misalnya dengan menyiapkan pelatihan ulang tenaga kerja dan rencana penanggulangan terhadap tingkat pengangguran dari mereka yang terdampak AI dan kaum marginal.
Pencegahan ini perlu dilakukan agar tak berkembang menjadi gejolak sosial dan berdampak kemampuan suatu negara untuk menarik talenta asing. Sebab, tenaga ahli asing kurang berminat untuk masuk ke negara-negara yang memiliki masalah sosial, sehingga mereka memilih lari ke negara lain. Kurangnya daya tarik ini ujungnya akan berdampak pula pada pertumbuhan ekonomi.
Masih berdasarkan riset IMD World Talent Ranking (WTR) 2024, tingkat daya saing keahlian sumber daya manusia (SDM) Indonesia naik ke peringkat 46 dunia di 2024 dari peringkat 47 tahun lalu.
Pemeringkatan WTR 2024 dilakukan berdasarkan tingkat kemampuan dan keahlian tenaga kerja di suatu negara untuk mengisi lowongan pekerjaan baru dan bagaimana bisnis bisa mengembangkan keterampilan karyawan yang ada.
Bris menambahkan, beberapa negara memiliki sistem pendidikan yang sangat baik, tetapi gagal mempersiapkan SDM mereka dan menarik talenta (asing) yang tepat untuk memenuhi kebutuhan pasar tenaga kerja.
Riset ini menggabungkan 31 data statistik dan respons survei dari 67 negara yang dikelompokkan dalam tiga indikator: tingkat investasi dan pengembangan talenta, kesiapan SDM, dan kemampuan suatu negara untuk menarik talenta asing.
Jika dibandingkan dengan sejumlah negara di Asia Tenggara, daya saing keahlian talenta di Indonesia berada di peringkat ketiga, seperti tampak pada daftar berikut:
Singapura (peringkat 2 dari 67 negara)
Malaysia (peringkat 33)
Indonesia (46)
Thailand (47)
Filipina (63)
Keberhasilan Singapura berada di posisi kedua dunia, merupakan imbas tingkat kesiapan yang kuat dan tingginya keterampilan tenaga kerja di negara itu. Hal ini ditandai dengan tingkat pertumbuhan tenaga kerja yang tinggi (peringkat pertama dunia), ketersediaan tenaga kerja terampil (peringkat 1), ketersediaan keterampilan keuangan (1), dan ketersediaan manajer senior dengan pengalaman internasional yang signifikan (2).
Sehingga, Singapura selalu memiliki talenta SDM yang dibutuhkan oleh dunia kerja. Selain itu, tingginya kualitas daya saing SDM Singapura juga didukung oleh kemampuan negara ini untuk menarik tenaga ahli asing untuk bekerja di negaranya.
Kuatnya pasar tenaga kerja Singapura merupakan hasil dari kesigapan sistem pendidikan yang dibuat pemerintah negara Singapura dalam menyiapkan SDM mereka. Menurut Bris, pemerintah Singapura selalu responsif agar tenaga kerja di negara itu memiliki keahlian yang mumpuni terhadap perkembangan teknologi terbaru.
Bris menegaskan, pemerintah Singapura sangat gesit. “Ketika ada perkembangan teknologi baru, mereka segera memasukkannya ke dalam kurikulum. Saya kira ini yang bisa dicontoh oleh negara Asia Tenggara lain, termasuk Indonesia," jelasnya.
Indonesia sendiri sebenarnya memiliki daya tarik tenaga ahli asing yang baik. Berdasarkan riset WTR IMD, daya tarik Indonesia untuk mengundang talenta berkualitas dari luar negeri, naik drastis dari peringkat 31 di 2023 menjadi peringkat 17 di 2024. Daya tarik Indonesia untuk tenaga kerja asing bahkan terbaik kedua di Asia Tenggara setelah Singapura (5). Berada jauh dari Thailand (27), Malaysia (32) dan Filipina (54).
Ketertarikan tenaga ahli dari luar negeri untuk masuk ke Indonesia didukung oleh iklim bisnis dalam negeri (peringkat 9 dari 67 negara). Meski demikian, tidak dipungkiri kalau ada pula tenaga ahli Indonesia yang pindah ke negara lain. Namun, hal ini tidak mengurangi tingkat daya saing SDM di Indonesia secara keseluruhan.
Walaupun tingkat ketertarikan tenaga kerja asing untuk masuk ke Indonesia tinggi, namun terdapat dua hal yang perlu diperbaiki untuk meningkatkan daya saing talenta SDM Indonesia.
Pertama dari segi tingkat kesiapan tenaga kerja. Indonesia masih perlu meningkatkan jumlah mahasiswa asing yang masuk serta meningkatkan skor PISA. PISA (Program Penilaian Pelajar Internasional) adalah penilaian untuk mengevaluasi sistem pendidikan suatu negara yang mengukur kemampuan murid sekolah berusia 15 tahun di bidang matematika, sains, dan membaca.
Kedua, dari segi investasi dan pengembangan pendidikan di Indonesia yang cenderung stagnan. Total anggaran pendidikan tiap siswa juga masih kurang (62). Selain itu, total anggaran pendidikan Indonesia masih rendah (61).
Meski demikian, Bris berpendapat besarnya persentase anggaran pendidikan dari PDB tidak terlalu berpengaruh kuat pada kualitas talenta SDM suatu negara. Sebagai contoh, Singapura bukan negara dengan persentase anggaran pendidikan terbaik, namun negara ini tetap berhasil membangun kesiapan tenaga kerja mereka.
Ia menjelaskan, indikator yang lebih kuat pengaruhnya pada kualitas talenta SDM di antaranya anggaran pendidikan per siswa, jumlah siswa dalam satu kelas, dan gaji guru. “Jadi, faktor yang mempengaruhi bukan soal seberapa besar angka anggaran yang diberikan, tapi seberapa baik mengelolanya,” katanya. (mas)