Paradoks peningkatan kecepatan internet

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) belum lama ini mengklaim kecepatan internet Indonesia sudah meningkat 10 kali lipat selama 10 tahun terakhir.

Pada tahun 2014, kecepatan internet rata-rata mencapai 2,5 Mbps. Satu dekade kemudian, pada Tahun 2024, kecepatan internet rata-rata telah meningkat menjadi 25 Mbps.

Di kacamata Kominfo, momentum kemajuan dimulai saat Presiden Joko Widodo meluncurkan layanan telekomunikasi 4G di frekuensi 1.800 Mhz secara nasional.

Sementara jika merujuk data Speedtest Global Index dari Ookla, peringkat Indonesia saat ini masih ada di tingkat bawah.

Dalam hal kecepatan sinyal seluler, dari 111 negara yang didata, Indonesia ada di ranking 82. Kecepatan downloadnya, menurut data per Juli, mencapai 29,05 Mbps, dengan upload 13,58 Mbps.

Bandingkan dengan Uni Emirat Arab (UEA) yang ada di peringkat teratas. Kecepatan downloadnya 359,85 Mbps, kecepatan upload 26,08 Mbps. Dalam hal kecepatan jaringan tetap (fixed broadband), Indonesia ada di peringkat 121 dari total 162 negara.

Kecepatan download di RI terdata 31,75 Mbps, kecepatan upload 19,13 Mbps. Juaranya kembali UEA dengan kecepatan unduh 291,85 Mbps, dan kecepatan unggah 140,04 Mbps.

Jika mau jujur, sebagian besar pembangunan infrastruktur internet dikerjakan oleh pihak swasta, sementara pemerintah terlihat kurang memberikan insentif yang berarti.

Tantangan geografis Indonesia yang terdiri dari ribuan pulau menghambat pembangunan jaringan terestrial yang merata.

Program-program seperti Palapa Ring, meski ambisius, belum memberikan dampak signifikan bagi ekonomi digital nasional.

Ketergantungan pada investasi swasta menyebabkan pembangunan lebih terkonsentrasi di wilayah perkotaan, menciptakan kesenjangan digital antara kota dan desa yang semakin tajam.

Selain itu, kebijakan pemerintah seringkali terkesan lambat, inkonsisten, dan tidak memiliki dampak jangka panjang.

Program seperti Palapa Ring, meskipun mampu membuka akses di daerah-daerah terpencil, belum dilengkapi dengan strategi untuk memanfaatkan infrastruktur tersebut guna mendorong pertumbuhan ekonomi digital.

Salah satu masalah paling mendesak adalah pengelolaan spektrum frekuensi yang lamban, menghambat adopsi teknologi 5G.

Keterbatasan frekuensi memperlambat perkembangan jaringan broadband, sementara negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia melesat dalam pemanfaatan teknologi 5G.

Pemerintah Indonesia tampaknya tertinggal dalam tata kelola frekuensi, sehingga adopsi 5G berjalan lambat dan kehilangan momentum sebagai pendorong utama inovasi dan daya saing global.

Selain isu teknis, konsistensi dalam menjalankan kebijakan juga menjadi tantangan. Banyak kebijakan digital yang berganti arah seiring pergantian kepemimpinan atau prioritas politik. Perlindungan terhadap pelaku usaha dalam negeri pun tidak cukup kuat.

Alih-alih memberikan dukungan insentif yang komprehensif, pemerintah terkadang lebih fokus pada investasi asing. Padahal, pelaku usaha dalam negeri, terutama penyedia layanan internet lokal, membutuhkan proteksi dan kebijakan yang konsisten untuk bersaing secara adil di pasar digital.

Meskipun kecepatan internet meningkat, kualitas koneksi dan akses yang merata masih menjadi masalah.

Pemerintah perlu mempercepat pengelolaan frekuensi, konsisten dalam kebijakan digital, dan memberikan perlindungan bagi pelaku usaha dalam negeri.

Jika tidak, peningkatan kecepatan internet hanya akan menjadi sekadar angka tanpa dampak nyata bagi ekonomi digital Indonesia.

@IndoTelko