JAKARTA (IndoTelko) - Dalam beberapa tahun terakhir, permasalahan praktik reseller jaringan internet mandiri berwujud RT/RW net ilegal kembali mencuat. Kalangan pelaku industri telekomunikasi yang menyediakan layanan sambungan internet ke rumah tangga atau fiber to the home (FTTH) mengeluh. Pasalnya praktik RT/RW net ilegal berdampak negatif kepada bisnis FTTH mereka.
Sejumlah pelaku industri FTTH telah menemukan tren pemakaian lalu lintas internet yang tidak wajar di sejumlah lokasi yang diduga merupakan hasil praktik RT/RW net ilegal. Hasil penelusuran diisukan menjadi pemicu perusahan ini menerapkan kebijakan batas pemakaian wajar atau fair usage policy (FUP) kepada konsumennya.
Di sisi lain, banyak masyarakat memilih menggunakan RT/RW net lantaran harganya yang terbilang terjangkau. Mereka bisa menikmati fasilitas internet untuk sekeluarga dengan hanya mengeluarkan uang Rp100 ribu per bulan.
RT/RW net ini juga seperti dua sisi mata uang yang berbeda. Bisa saja RT/RW net illegal ini membantu semakin membuat para FTTH memiliki banyak pelanggan, tetapi juga bisa menjadi kerugian bagi mereka. Apalagi pemerintah saat ini mencanangkan supaya kecepatan internet di Indonesia minimal 100 megabyte per second atau Mbps. Kebijakan kecepatan internet dari pemerintah ini lantaran kecepatan internet di Indonesia ini jauh tertinggal dari negara tetangga.
Menurut Sekretaris Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), Zulfadly Syam, pihaknya tidak menampik jika ada puluhan ribu reseller alias RT/RW Net ilegal yang ada di Indonesia. “Sebenarnya RT/RW Net perlu ada untuk meratakan jaringan internet supaya masyarakat kita juga melek internet. Tetapi yang mengkhawatirkan ini yang tidak berizin alias illegal,” jelasnya.
Menurutnya ada empat mazhab atau aliranRT/RW Net di Indonesia. Pertama, mazhab reseller yang benar yang mematuhi aturan dan bayar pajak usahanya. Lalu kedua, mazhab kreatifitas yang biasanya sudah sesuai aturan tetapi kadang separuh nyolong dengan kreatifitasnya. Ketiga, mazhab Robin Hood yang menanggap dirinya pahlawan karena sudah membantu meratakan jaringan internet di Indonesia meski mencuri. Terakhir, ada mazhab pencuri yang sama sekali tidak mempedulikan aturan yang penting dapat untung.
“Tetapi APJII selalu melakukan sosialisasi supaya RT/RW Net yang sebelumnya Mazhab-nya pencuri atau Robin Hood dan lainnya bisa jadi Mazhab Reseller yang benar. Kami edukasi mulai dari perizinan hingga lainnya sehingga tidak illegal lagi,” ujar Zulfaldy. “Dari puluhan ribu yang illegal ini, akhirnya ada lima ribu yang statusnya jadi reseller yang sudah mengantongi izin,” katanya.
Sedangkan, Ketua Komisi Komunikasi dan Edukasi Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN), Heru Sutadi mengatakan, RT/RW Net ilegal ini justru tidak menguntungkan masyarakat tetapi merugikan. "Walau memberikan harga yang murah, tetapi hak-hak konsumen tidak bisa terpenuhi dengan hadirnya RT/RW Net ilegal. “Ada kasus ketika musim hujanRT/RW Net ilegal mengalami gangguan, masyarakat melapor, tetapi ternyata pemilik RT/RW Net ilegal ini juga tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya ditinggal tidur saja,” ujarnya.
Menurut Heru, sesuai aturan, konsumen berhak mendapatkan kualitas layanan yang sesuai dengan janji atau kontrak yang disepakati, seperti kecepatan internet yang stabil, minim gangguan, dan layanan pelanggan yang responsif. “Jadi saran dari BPKN, pilihlah layanan yang berizin resmi bukan illegal dan tidak tergiur harga yang murah,” kata Heru. “Kami juga mendorong supaya Asosiasi mengajak yang ilegal ini jadi legal dengan memberikan sosialisasi sanksi jika masih menjadi ilegal,” lanjutnya.
Sedangkan, Direktur Pengendalian Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Dany Suwardany mengatakan, pihaknya telah melakukan sejumlah tindakan untuk menangani RT/RW Net ilegal. “Tindakan kami mulai dari sosialisasi, penertiban hingga penindakan secara hukum dengan melibatkan Polri,” katanya.
Ia mengungkapkan, pada tahun 2022 lalu, Kominfo telah menindak228 reseller atau RT/RW Net ilegal dengan 89 pelaku terbukti melakukan pelanggaran dan telah ditertibkan dan 139 pelaku tidak terbukti. Lalu, tahun 2023, Kominfo juga menindak 195 pelaku, di mana 77 pelaku terbukti melakukan pelanggaran dan telah ditertibkan, sedangkan 118 pelaku tidak terbukti. Di tahun2024 ini, Kominfo juga menindak 111 pelaku usaha serta 51 sudah terbukti dan telah dilakukan tindakan.
“Kalau kita lihat, jumlahnya memang menurun. Ini berkat sosialisasi yang juga temen-temen asosiasi lakukan untuk mengubah yang ilegal jadi legal dan sudah mendapatkan izin,” katanya.
Menurut Dany, Kominfo serta asosiasi terus melakukan sosialisasi supaya para reseller atau RT/RW Net ilegal ini dapat menjadi legal. “Karena masukan dari temen-temen APJII juga, pada tahun 2019, Kominfo telah mengeluarkan Permen(Peraturan Menteri) Kominfo nomor 19 yang juga mengatur tentang reseller. Kami permudah semua aturannya jika ingin menjadi RT/RW Net yang legal,” ujarnya.
Pengamat Telekomunikasi, Ridwan Effendi menjelaskan, banyak masyarakat belum menjadikan internet sebagai kebutuhan primer. Kesanggupan masyarakat tersebut itu hanya mengeluarkan anggaran Rp10.000 sampai Rp50.000 untuk mendapatkan internet karena ada kebutuhan lainnya.
“Jika ditanya RT/RW Net boleh atau tidak? Ya, boleh saja tetapi harus berizin, karena dalam aturannya setiap penyelenggara telekomunikasi apalagi ada proses bisnis maka harus berizin,” jelasnya. “Lalu, apa yang menyebabkan maraknya RT/RW Net ilegal ini? Karena pendidikan yang masih rendah, hingga hambatan operator menembus lokasi,” jelasnya.
Ditambahkan Ridwan, perlu adanya regulasi yang tegas dari pemerintah untuk menyelesaikan masalah reseller atau RT/RW Net ilegal ini, hingga sosialisasi dari operator maupun tenaga pendidik. “Langkah yang harus diambil ya pendidikan masyarakat, adanya insentif dari pemerintah bagi operator untuk membangun jaringannya hingga penegakan hukum supaya yang ilegal ini jera,” katanya. (mas)