Menimbang registrasi prabayar berbasis biometrik

Telkomsel dan XL Axiata belum lama ini telah menyelesaikan uji coba layanan registrasi kartu prabayar menggunakan teknologi biometrik pengenalan wajah.

Teknologi biometrik pengenalan wajah (face recognition) ini bekerja dengan cara memverifikasi identitas pelanggan melalui pemindaian wajah yang dicocokkan dengan data kependudukan yang ada di Dukcapil, memastikan bahwa pelanggan yang mendaftar merupakan pemilik identitas yang sah.

Inovasi ini diharapkan dapat melengkapi metode validasi yang telah ada, seperti penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) dan Nomor Kartu Keluarga (KK), sehingga menghadirkan pengalaman registrasi yang lebih aman, cepat, dan nyaman.

Teknologi biometrik diklaim tidak hanya memudahkan proses registrasi, tetapi juga mendukung penerapan standar Know Your Customer (KYC) yang diterapkan operator telekomunikasi untuk memastikan validitas data pelanggan serta mengurangi risiko penipuan dan penyalahgunaan identitas pelanggan yang kerap terjadi di era digital saat ini.

Teknologi pengenalan wajah telah banyak digunakan dalam berbagai sektor, seperti perbankan dan keamanan.

Isu Krusial
Penggunaan teknologi biometrik untuk registrasi prabayar di Indonesia bisa menjadi langkah maju dalam meningkatkan keamanan dan mencegah penipuan digital. Namun, di balik potensi manfaatnya, terdapat isu-isu krusial yang melibatkan keamanan data pribadi, privasi, regulasi, perilaku pengguna, serta dampaknya terhadap industri telekomunikasi.

Sejak 2017, pemerintah telah memberlakukan validasi kartu prabayar menggunakan NIK, tetapi berbagai masalah terus bermunculan, termasuk penyalahgunaan NIK dan pencurian data.

Sementara beberapa negara seperti India dengan program Aadhaar telah menerapkan biometrik dalam proses registrasi kartu SIM, Indonesia menghadapi tantangan dalam mengimbangi keamanan dengan kenyamanan bagi pengguna.

Penggunaan biometrik seperti pengenalan wajah dapat meminimalkan penipuan dalam registrasi prabayar. Namun, data biometrik bersifat unik dan permanen, membuat dampak kebocoran data biometrik jauh lebih serius dibandingkan kebocoran data biasa. Di India, program Aadhaar telah menghadapi masalah kebocoran data, yang menimbulkan kekhawatiran akan hal serupa terjadi di Indonesia tanpa perlindungan yang ketat.

Selain itu, isu privasi juga menjadi perhatian besar. Di negara-negara dengan sejarah pengawasan berlebihan, seperti Tiongkok, teknologi biometrik sering digunakan untuk memantau warga. Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang potensi penyalahgunaan teknologi biometrik di Indonesia jika regulasi tidak jelas dan transparansi tidak dijaga.

Lanskap Industri
Perilaku pengguna seluler di Indonesia, yang cenderung suka berganti nomor dan mencari kemudahan dalam aktivasi kartu SIM, menjadi tantangan besar bagi penerapan registrasi berbasis biometrik.

Jika proses registrasi dianggap terlalu rumit atau memakan waktu, pengguna bisa beralih ke cara lain yang lebih praktis. Ini dapat menekan penjualan kartu perdana operator yang selama ini mengandalkan kemudahan registrasi. Operator harus cermat dalam menyeimbangkan keamanan dan kenyamanan proses aktivasi demi mempertahankan pasar mereka.

Penerapan validasi berbasis biometrik juga berpotensi meningkatkan biaya operasional operator telekomunikasi secara signifikan. Saat ini, operator membayar sekitar Rp 3.000 untuk setiap validasi data NIK di Dukcapil. Namun, jika beralih ke sistem biometrik, terutama dengan pengenalan wajah, investasi awal akan jauh lebih tinggi.

Operator harus berinvestasi dalam infrastruktur baru untuk mendukung validasi biometrik, termasuk perangkat lunak pengenalan wajah dan server yang kuat untuk memproses data secara real-time. Biaya investasi awal ini bisa mencapai miliaran rupiah, tergantung pada skala dan cakupan implementasinya.

Sebagai perbandingan, biaya validasi biometrik di beberapa negara diperkirakan bisa mencapai tiga hingga lima kali lipat dari biaya validasi berbasis NIK saat ini, karena mencakup pengembangan sistem, perawatan, dan biaya operasional berkelanjutan.

Meski demikian, dalam jangka panjang, teknologi biometrik dapat mengurangi risiko penipuan dan kejahatan digital, yang pada akhirnya dapat menekan biaya terkait penanganan kasus penyalahgunaan data dan kejahatan siber. Namun, tantangan finansial dalam fase transisi ini tetap signifikan, dan operator harus berhati-hati dalam mengelola biaya tambahan ini agar tidak membebani konsumen atau mengganggu keberlanjutan bisnis.

Potensi Bias
Teknologi biometrik juga harus diimplementasikan secara inklusif, terutama bagi masyarakat di daerah terpencil yang mungkin memiliki keterbatasan akses teknologi.

Di negara-negara maju, studi menunjukkan adanya bias dalam teknologi pengenalan wajah yang lebih rentan terhadap kesalahan pada kelompok tertentu berdasarkan usia, gender, atau warna kulit. Penting bagi Indonesia untuk memastikan teknologi ini dapat diakses dan akurat bagi seluruh lapisan masyarakat.

Sebagai alternatif atau pelengkap, sinergi antara industri telekomunikasi dan perbankan bisa dipertimbangkan. Perbankan di Indonesia telah menerapkan verifikasi ketat melalui KYC (Know Your Customer) dan data ini dapat digunakan untuk mendukung registrasi prabayar. Kolaborasi ini dapat membantu mengurangi penipuan identitas dan meningkatkan keamanan dalam layanan perbankan dan telekomunikasi.

Biometrik menawarkan solusi keamanan yang menjanjikan, tetapi dengan biaya investasi yang tinggi dan risiko privasi yang serius, implementasinya perlu dipertimbangkan secara matang.

Operator telekomunikasi harus siap menghadapi tantangan biaya, sekaligus menjaga agar proses aktivasi tetap mudah dan cepat bagi konsumen, serta menjaga keamanan data dari pelanggan.

Jika tidak, tekanan terhadap penjualan kartu perdana bisa menjadi kenyataan yang sulit dihindari.

@IndoTelko