Menimbang bonafiditas via media sosial

Masifnya pemanfaatan media sosial menjadikan perannya kian strategis di masyarakat.

Hal ini terlihat dari rencana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang menimbang penggunaan data alternatif seperti aktivitas media sosial dan riwayat tagihan listrik atau telepon menjadi bagian dari indikator penilaian kredit (Credit Scoring).

OJK melihat keberadaan Innovative Credit Scoring (ICS) sebagai Pemeringkat Kredit Alternatif (PKA) akan melengkapi Sistem Layanan Informasi Keuangan (SLIK) OJK yang menjadi acuan para lembaga pembiayaan dalam menilai calon debiturnya.

Adanya Alternative Credit Scoring membuat kreditur bisa memanfaatkan data-data di luar historis kredit.

Data-data historis yang dimaksud berasal dari kegiatan calon debitur di sosial media. Kemudian catatan pembayaran utilitas seperti tagihan listrik, telepon, apartemen, dan lain-lain.

Penilaian skor kredit nantinya akan mengacu pada SLIK, PKA, dan Lembaga Pengelola Informasi Perkreditan (LPIP) yang lebih banyak memanfaatkan data historis kredit dengan model tertentu dalam menyediakan credit scoring.

Untuk diketahui, selama ini lembaga keuangan di Indonesia menggunakan metode penilaian kredit tradisional yang berbasis pada 5C yakni Character: Penilaian riwayat kredit untuk melihat perilaku pembayaran calon debitur.

Berikutnya, Capacity: Kemampuan membayar berdasarkan pendapatan dan kewajiban finansial lainnya. Capital: Aset atau modal yang dimiliki debitur. Collateral: Agunan yang dapat dijaminkan untuk pinjaman. Terakhir, Conditions: Faktor eksternal seperti kondisi ekonomi dan sektor usaha.

Kelemahan dari sistem tradisional ini menimbulkan tidak inklusif karena mengandalkan data formal seperti slip gaji, rekening bank, atau riwayat kredit, sehingga menyulitkan masyarakat unbanked dan underbanked yang tidak memiliki akses ke layanan keuangan formal.

Belum lagi proses yang lama terutama untuk segmen UMKM, ketergantungan pada agunan karena banyak lembaga keuangan masih berfokus pada jaminan fisik (seperti tanah atau properti), yang sulit dipenuhi oleh sebagian besar masyarakat menengah ke bawah.

Tantangan
Saat ini media sosial (Medsos) telah menjadi cerminan gaya hidup, perilaku konsumsi, dan interaksi sosial masyarakat.

Data dari platform seperti Instagram atau TikTok bisa saja digunakan untuk melengkapi penilaian kredit tradisional.

Namun, pendekatan ini menghadirkan tantangan besar, terutama di Indonesia. Banyak pengguna media sosial menggunakan data palsu untuk aktivasi akun, dan perilaku di media sosial sering kali tidak mencerminkan kondisi finansial yang sebenarnya.

Salah satu tantangan terbesar adalah validitas data. Hal ini karena banyak pengguna media sosial di Indonesia menggunakan identitas palsu, sehingga sulit untuk memverifikasi keaslian data.

Belum lagi perilaku di media sosial sering kali mencerminkan citra yang sengaja dibentuk, bukan kondisi nyata. Misalnya, unggahan gaya hidup mewah bisa jadi hanya sekadar pencitraan.

Terakhir Tidak semua masyarakat memiliki akses yang merata ke internet atau media sosial, sehingga data yang diperoleh bisa bias.

Jika melihat sejumlah negara yang telah mencoba pendekatan serupa, hasilnya beragam. Misal, China memiliki Social Credit System yang mencakup data media sosial untuk menilai kepercayaan individu. Namun, sistem ini mendapat kritik karena dianggap mengancam privasi.

India memanfaatkan data alternatif melalui fintech untuk menjangkau segmen unbanked, tetapi menghadapi tantangan data palsu seperti di Indonesia.

Kenya lebih berhasil dengan menggunakan data dari transaksi mobile money seperti M-Pesa, yang lebih terukur dan relevan.

Jika OJK memang akan menerapkan wacana ini diperlukan pendekatan yang cermat dan bertahap karena media sosial tidak bisa menjadi satu-satunya sumber data. Integrasi dengan data resmi seperti NIK (Dukcapil), riwayat rekening bank, atau transaksi e-wallet harus menjadi prioritas.

Ada baiknya fokus pada pola aktivitas yang sulit dimanipulasi, seperti transaksi bisnis atau pembayaran digital, daripada unggahan subjektif.

Tingkatkan literasi digital masyarakat untuk mendorong penggunaan data asli di media sosial.

Uji coba dengan menerapkan sistem ini di segmen kecil terlebih dahulu, seperti UMKM atau masyarakat pengguna dompet digital.

Terakhir, tunggu aturan turunan dari Undang-undang Pelindungan Data Pribadi (PDP) serta lembaga pengawas data pribadi terbentuk agar mendapat kepercayaan dari masyarakat.

OJK harus berhati-hati. Solusi ini bisa menjadi terobosan atau bumerang jika tidak diiringi regulasi yang kuat dan sistem validasi yang matang. Seperti halnya teknologi lainnya, inovasi ini hanya akan bermanfaat jika ditempatkan dalam kerangka etika dan perlindungan konsumen yang jelas.

@IndoTelko