Pemerintah Australia baru-baru ini mengesahkan undang-undang yang melarang anak-anak di bawah usia 16 tahun menggunakan media sosial.
Langkah ini bertujuan melindungi kesehatan mental generasi mudanya yang dianggap rentan terhadap dampak negatif media sosial seperti kecemasan dan cyberbullying.
Undang-undang baru itu akan berlaku di Australia pada akhir tahun depan. Pemerintah Australia sedang memfinalisasi aturan teknisnya, termasuk metode verifikasi usia yang efektif dan perlindungan terhadap privasi pengguna.
Ini merupakan keputusan pertama yang diambil oleh pemerintah di seluruh dunia menjaga anak-anak dari efek negatif dunia maya.
Pemerintah yang dipimpin oleh Perdana Menteri Anthony Albanese membela tindakan tersebut, dengan mengatakan bahwa hal itu “penting untuk melindungi kesehatan mental dan kesejahteraan anak-anak.”
Undang-undang yang disahkan oleh majelis rendah Parlemen juga mengusulkan denda yang besar hingga AU$50 juta untuk platform media sosial yang tidak mematuhi.
Selama ini sudah menjadi rahasia umum, banyak platform media sosial memiliki kebijakan yang melarang anak di bawah umur menggunakan layanannya. Namun kebijakan tersebut sering diabaikan.
Beberapa platform telah dituduh menggunakan algoritma untuk membuat remaja kecanduan terhadap layanan mereka, meski banyak pemilik platform yang membantah tudingan itu.
Keputusan ini mencerminkan upaya serius pemerintah Australia untuk melindungi kesehatan mental dan keamanan anak-anak dari dampak negatif media sosial. Langkah ini dapat memberikan manfaat besar, seperti mengurangi paparan terhadap konten yang tidak sesuai dan mencegah cyberbullying.
Penggunaan media sosial oleh anak-anak di Australia cukup signifikan. Sebuah survei menunjukkan bahwa sekitar 60-70% anak usia 8-15 tahun menggunakan media sosial, meskipun beberapa platform sebenarnya memiliki batas usia minimum 13 tahun.
Banyak anak di negeri itu bahkan telah memiliki akun sebelum memenuhi persyaratan usia tersebut, sering kali dengan izin atau bantuan orang tua. Hal ini menunjukkan tingkat adopsi teknologi yang tinggi di kalangan generasi muda di Australia.
Meski penerapan kebijakan ini banyak menghadapi tantangan teknis, seperti akurasi verifikasi usia, serta kritik terkait pelanggaran privasi dan hak anak, tetapi pelindungan anak sepertinya menjadi prioritas dari regulasi itu.
Kontroversi
Media sosial dan game interaktif sejak kehadirannya bisa masuk ke anak-anak memang menjadi kontroversi di belahan dunia manapun, termasuk Indonesia.
Di sisi positif, kehadiran platform memang dapat mendukung kreativitas, pembelajaran, dan interaksi sosial. Namun, sisi negatifnya meliputi paparan terhadap konten yang tidak sesuai, cyberbullying, ketergantungan, serta risiko privasi dan keamanan data. Dalam game seperti Roblox, ada juga kekhawatiran tentang interaksi dengan orang asing yang mungkin memiliki niat buruk.
Banyak kalangan mengingatkan, orang tua memainkan peran penting dalam memantau aktivitas anak-anak mereka, menetapkan batas waktu, serta menggunakan pengaturan keamanan untuk meminimalkan risiko ini.
Data dari “Digital 2024” milik We Are Social menunjukkan penetrasi internet di Indonesia terus meningkat, dengan lebih dari 139 juta pengguna aktif YouTube dan 100,9 juta pengguna aktif Instagram.
Angka ini menunjukkan popularitas platform digital, termasuk di kalangan remaja dan anak-anak meskipun sebagian besar platform menetapkan batas usia minimum 13 tahun. Tren ini juga mencerminkan pergeseran ke arah konsumsi konten berbasis video dan media sosial berbasis visual yang mendominasi interaksi daring anak muda.
Laporan UNICEF dan data sensus Indonesia menekankan bahwa kelompok usia remaja (1019 tahun) berjumlah sekitar 46,8 juta orang, menempatkan mereka sebagai segmen penting dalam populasi digital Indonesia. Anak-anak di bawah usia 13 tahun tetap menjadi kelompok yang rentan terhadap pengaruh negatif dari media sosial, seperti risiko keamanan daring, dampak kesehatan mental, dan paparan konten yang tidak sesuai usia.
Saat ini pemerintah Indonesia masih memilih pendekatan persuasif dalam menjaga anak-anak terhadap paparan negatif platform digital.
Jika pemerintah mengikuti kebijakan seperti di Australia, tentu tak mudah karena masih ketinggalan dalam implementasi teknologi seperti verifikasi biometrik atau dokumen identitas. Belum lagi tingkat literasi digital yang bervariasi di kalangan orang tua dan anak-anak dapat menghambat penerapan sistem ini secara efektif.
Tantangan lainya adalah menaklukkan platform media sosial global untuk ikut aturan main lokal. Belum lagi Indonesia memiliki populasi anak-anak yang sangat besar (sekitar 85 juta), sehingga pengawasan dan penegakan hukum akan menjadi tantangan besar, terutama mengingat tingginya adopsi teknologi.
Tetapi harus diingat, prioritas pembangunan sumber daya manusia dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20202024, menempatkan anak dan remaja sebagai prioritas strategis. Jika kondisi seperti sekarang terus dibiarkan, bisa jadi yang muncul adalah generasi cemas bukan emas pada 2045 karena kesehatan mentalnya gagal dilindungi oleh negara.
@IndoTelko