JAKARTA (IndoTelko) - Baru-baru ini Populix merilis laporan bertajuk Navigating Economic and Security Challenges in 2025. Populix menemukan bahwa kekhawatiran terhadap keamanan pekerjaan, menjadi salah satu dari empat isu utama yang dikhawatirkan masyarakat di tahun 2025. Bila diteliti lebih jauh, salah satu penyebabnya adalah perkembangan pesat teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang ditakutkan dapat menggantikan peran mereka di dunia kerja nanti.
Dikatakan VP of Research Populix, Indah Tanip, isu keamanan pekerjaan diungkapkan oleh 34% responden. "Responden merasa tertekan untuk beradaptasi dengan pekerjaan yang lebih mengutamakan fleksibilitas ketimbang stabilitas. Hal ini disebabkan meningkatnya pekerjaan serabutan, pekerjaan kontrak, dan PHK yang membuat banyak orang merasa kurang kendali. Kemudian diperparah dengan teknologi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) yang berkembang dengan sangat pesat," jelasnya.
Karena berbagai alasan tersebut, sekitar 62% responden pun sepakat mereka merasa terancam akan kehilangan pekerjaan karena digantikan teknologi AI.
Ada lima alasan utama yang mendasari kekhawatiran ini. Dimulai dari ketakutan digantikan dengan mesin yang lebih baik, akurat, dan terjangkau (72%) juga kesulitan bersaing dengan mesin yang mampu bekerja 24/7 tanpa lelah (62%). Kemudian 60% responden merasa perkembangan AI yang terlalu canggih bisa menjadi ancaman bagi manusia.
Hadirnya AI juga dinilai dapat meningkatkan kemiskinan, ketidaksetaraan, dan ketidakstabilan sosial (52%). Faktor kemiskinan didasari oleh ketakutan kehilangan pekerjaan, sedangkan perihal ketidaksetaraan disebabkan hadirnya biaya langganan untuk akses ke versi AI yang lebih mutakhir, yang tentunya tidak dimiliki oleh semua orang. Hal ini ditegaskan oleh alasan terakhir, yaitu ketidakmampuan untuk bersaing maupun bekerja berdampingan dengan AI karena kurangnya skill, yang diungkapkan oleh 46% responden.
Guna menanggulangi risiko ini, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menyatakan komitmennya untuk terus mendukung pengembangan sumber daya manusia digital di Indonesia. Bersama Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen), Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendikti Saintek), serta Kementerian Kebudayaan, Kemnaker memberikan berbagai kursus juga pelatihan melalui talenthub, talent corner, juga balai-balai yang tersebar di seluruh Indonesia. Pelatihan ini diberikan kepada pencari kerja khususnya generasi Z untuk menghadapi dunia kerja digital dan AI.
Menurut Sub Koordinator Layanan Pencari Kerja, Pusat Pasar Kerja, Kemnaker, Rici Ronaldo, saat ini Kemnaker juga sedang menyiapkan regulasi untuk melindungi para pekerja digital di Indonesia.
"Kita sedang menghadapi era gig workers dan gig economy, di mana saat ini pekerja-pekerja kita tidak memiliki hubungan kerja yang formal. Kemnaker sedang menyiapkan peta jalan (roadmap) dan peraturan perundangan yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan digital juga melindungi para pekerja, termasuk driver ojek dan taksi online, yang selama ini sudah mempermudah hidup kita. Harapannya seluruh pekerja digital, kemitraan, dan gig workers nantinya tidak hanya diberdayakan, tetapi juga bisa terlindungi," katanya dalam diskusi Populix Industry Outlook: Navigating Economic and Security Challenges in 2025, beberapa waktu lalu.
Laporan Navigating Economic and Security Challenges in 2025 disusun dengan menggabungkan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif. Dimulai dengan enam mini focus group discussion (FGD) untuk menggali tren dan isu secara mendalam. Lalu dilanjutkan survei kepada 1.190 responden dari seluruh Indonesia untuk memvalidasi temuan dan menentukan tren, sepanjang Agustus hingga September 2024. Jumlah peserta survei seimbang antara laki-laki dan perempuan, dan meliputi kalangan menengah ke atas.
Selain isu keamanan pekerjaan, laporan ini mengungkap tiga isu utama lainnya, yaitu: keamanan siber (67%), keamanan kesehatan (49%), dan dampak ekonomi digital (47%). (mas)