Ojol, THR, dan eksploitasi digital

Awal pekan lalu sejumlah serikat dan forum pengemudi ojek online (ojol) mendatangi Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) untuk menyampaikan sejumlah tuntutan ke pemerintah.

Adapun isi tuntutan dari Ojol adalah:
1. Mendesak Kementerian Tenaga Kerja untuk mengatur hak-hak pekerja bagi Driver Ojol sebagaimana konvensi internasional tentang perburuhan
2. Mendesak Kementerian Tenaga Kerja untuk mengeluarkan Surat Edaran (SE) yang mewajibkan perusahaan aplikasi membayarkan Tunjangan Hari Raya kepada pengemudi Ojol. 3. Mendesak negara untuk mengawasi dan mengevaluasi program-program aplikator seperti Aceng (Argo Goceng) untuk jarak 4 Km, Slot (sistem zonasi bagi driver) dan kebijakan lain yang merugikan ojol
4. Mendesak perusahaan aplikasi untuk menghapuskan sistem sanksi sepihak dan tidak adil
5. Mendesak perusahaan aplikasi dan negara untuk memberikan Jaminan Kecelakaan Kerja dan Kematian bagi Ojol secara gratis
6. Berikan perlindungan terhadap ojol perempuan

Dalam catatan, demonstrasi para pengemudi ojek online sudah berulang kali terjadi dalam satu dekade ini.

Tuntutan diberikannya Tunjangan Hari Raya (THR) sebesar satu bulan Upah Minimum Provinsi (UMP) menyoroti persoalan mendasar dalam industri ride-hailing di Indonesia.

Para pengemudi merasa dieksploitasi dalam hubungan kerja yang timpang, di mana mereka dianggap mitra ”bukan pekerja” namun tetap terikat aturan ketat yang ditetapkan aplikator.

Pemerintah pun merespons dengan rencana menerbitkan regulasi yang mengatur pemberian THR, meski hingga kini belum jelas seperti apa bentuk kebijakan tersebut.

Pihak aplikator sendiri memberikan respons yang mengambang. Grab menyatakan bahwa mereka telah memiliki berbagai program kesejahteraan bagi mitra, seperti beasiswa dan bantuan sosial, tetapi tidak memberikan komitmen pasti terkait THR.

Sementara itu, Gojek menegaskan bahwa para pengemudi bukanlah karyawan tetap, sehingga mereka tidak memiliki kewajiban untuk memberikan THR dalam skema ketenagakerjaan konvensional. Sikap ini menegaskan kembali bagaimana aplikator memanfaatkan celah regulasi untuk tetap beroperasi tanpa beban kewajiban terhadap mitra mereka.

Suara agak tegas dikeluarkan Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) yang menekankan pentingnya kebijakan yang seimbang dalam industri on-demand.

Mereka mengingatkan bahwa regulasi yang tidak proporsional dapat berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi sektor ini, yang memiliki ekosistem bisnis unik dibandingkan sektor konvensional.

Modantara juga menyoroti bahwa platform digital telah memberikan akses penghasilan fleksibel bagi jutaan individu, berkontribusi sebesar 2% terhadap PDB Indonesia pada tahun 2022. Oleh karena itu, kebijakan yang diterapkan harus mempertimbangkan karakteristik khusus industri ini dan tidak menghambat manfaat yang telah diberikan kepada para mitra.

Selain itu, Modantara menyoroti bahwa hubungan antara perusahaan aplikasi dan pengemudi didasarkan pada kemitraan, di mana mitra memiliki kebebasan dalam menentukan jam kerja dan jenis pekerjaan.

Hal ini sesuai dengan Pasal 15 Ayat (1) Peraturan Menteri Perhubungan No. 12 Tahun 2019, yang menyatakan bahwa hubungan antara perusahaan aplikasi dengan pengemudi merupakan hubungan kemitraan. Oleh karena itu, kebijakan yang berkaitan dengan industri platform digital seharusnya mempertimbangkan kepentingan semua pemangku kepentingan, termasuk perusahaan aplikator, mitra, konsumen, dan bisnis lain yang bergantung pada layanan platform digital.

Pergeseran
Awalnya, ride-hailing diperkenalkan sebagai model berbasis sharing economy, di mana individu dapat memanfaatkan aset pribadi merekaâ ”sepeda motor atau mobil”untuk memperoleh penghasilan tambahan dengan fleksibilitas penuh.

Namun, seiring berkembangnya industri ini, aplikator semakin menunjukkan pola bisnis kapitalis murni. Mereka mengendalikan harga, menentukan skema insentif, serta memiliki kewenangan untuk menonaktifkan mitra secara sepihak. Bahkan, beberapa perusahaan kini mulai memiliki armada kendaraan sendiri dan menawarkan skema penyewaan kendaraan, yang semakin menjauh dari konsep awal pemanfaatan aset individu.

Di satu sisi, mereka ingin tetap disebut sebagai platform teknologi yang hanya mempertemukan permintaan dan penawaran layanan transportasi. Namun, di sisi lain, mereka berperilaku layaknya perusahaan transportasi konvensional yang mengontrol penuh operasional para pengemudinya. Ketimpangan ini menjadi alasan utama mengapa pengemudi merasa bahwa mereka seharusnya mendapatkan hak-hak yang lebih jelas, termasuk THR dan perlindungan ketenagakerjaan lainnya.

Regulasi Seimbang
Singapura telah lebih maju dalam mengatur industri ride-hailing. Pemerintahnya mengakui pengemudi sebagai pekerja mandiri yang berhak atas perlindungan tertentu, seperti asuransi dan tabungan pensiun.

Kebijakan ini diterapkan tanpa menghilangkan fleksibilitas kerja mereka, tetapi tetap memberikan jaring pengaman sosial yang layak. Regulasi ini memastikan keseimbangan antara inovasi bisnis dan perlindungan pekerja, sehingga tidak ada pihak yang dieksploitasi secara sepihak.

Indonesia seharusnya belajar dari pendekatan ini. Pemerintah perlu segera merumuskan regulasi yang lebih tegas untuk memastikan bahwa aplikator tidak bisa terus berlindung di balik status “Mitra” sementara mereka mengendalikan hampir seluruh aspek kerja pengemudi.

Agar regulasi yang diterapkan lebih adil bagi semua pihak, ada tiga langkah yang dapat dipertimbangkan pemerintah berdasarkan praktik terbaik dari negara lain:

1. Model Jaminan Sosial Berbasis Kontribusi
Di Inggris, Uber diwajibkan untuk memberikan tunjangan kepada pengemudi, termasuk cuti berbayar dan dana pensiun, meskipun mereka tetap dianggap sebagai pekerja lepas. Skema ini mengatasi masalah ketimpangan dengan cara membagi tanggung jawab antara aplikator dan pengemudi.

Indonesia bisa menerapkan model serupa dengan mewajibkan aplikator menyisihkan sebagian pendapatan dari setiap transaksi ke dalam dana jaminan sosial bagi mitra. Dana ini dapat digunakan untuk THR, jaminan hari tua, atau asuransi kesehatan, sehingga pengemudi tetap mendapatkan perlindungan tanpa kehilangan fleksibilitas kerja.

2. Penegakan Standar Transparansi Tarif dan Insentif
Salah satu keluhan utama pengemudi adalah perubahan algoritma tarif dan insentif yang sering kali tidak transparan. Pemerintah perlu mengatur transparansi sistem penghitungan komisi, bonus, dan biaya layanan. Regulasi ini akan memastikan bahwa pengemudi memahami pendapatan mereka dengan lebih jelas dan mencegah eksploitasi melalui perubahan algoritma sepihak.

3. Kategori Pekerja Mandiri dengan Hak Terbatas
Singapura telah mengadopsi pendekatan unik dengan mengakui pengemudi ride-hailing sebagai pekerja mandiri yang tetap mendapatkan perlindungan dasar. Mereka berhak atas asuransi kecelakaan kerja dan skema tabungan pensiun (Central Provident Fund) tanpa kehilangan fleksibilitas sebagai mitra.

Jika bisnis ride-hailing ingin terus berkembang secara berkelanjutan, mereka harus bertanggung jawab terhadap kesejahteraan para pengemudinya, bukan sekadar mengejar profit tanpa batas.

Saatnya regulasi yang lebih tegas dan adil bagi semua pihak. Jika tidak, kita akan terus menyaksikan demonstrasi dan tuntutan berulang tanpa ada solusi nyata.

@IndoTelko