Janji manis pemanfaatan frekuensi 1.4 GHz

Pemerintah berencana melelang frekuensi 1,4 GHz pada tahun ini dengan harapan dapat menghadirkan layanan internet tetap (fixed broadband) yang lebih murah dan berkualitas bagi masyarakat.

Salah satu tujuan utama lelang ini adalah menekan harga layanan internet, sehingga lebih terjangkau bagi rumah tangga, sektor pendidikan, dan layanan kesehatan. Dengan harga berlangganan yang diperkirakan berkisar Rp 100.000 hingga Rp 150.000 per bulan untuk kecepatan hingga 100 Mbps, kebijakan ini berpotensi menjadi terobosan dalam meningkatkan penetrasi internet di Indonesia.

Namun, apakah harga tersebut realistis dalam praktiknya? Mengingat dinamika industri telekomunikasi, penentuan tarif bukan hanya bergantung pada ketersediaan spektrum, tetapi juga pada faktor investasi infrastruktur, biaya operasional, serta persaingan di pasar. Jika tidak ada regulasi yang mengawal harga layanan pasca-lelang, ada risiko bahwa tarif yang dijanjikan tidak akan tercapai.

Saat ini, setidaknya ada tujuh perusahaan yang menyatakan minatnya untuk mengikuti lelang frekuensi 1,4 GHz. Namun, jumlah ini bisa bertambah seiring dengan dibukanya proses lelang resmi. Persaingan yang sehat tentu diharapkan agar masyarakat mendapatkan layanan terbaik dengan harga kompetitif.

Namun, ada kekhawatiran bahwa lelang ini justru dapat memperkuat dominasi segelintir perusahaan besar, terutama jika mekanisme lelang lebih menitikberatkan pada harga tertinggi. Jika frekuensi jatuh ke tangan pemain besar tanpa aturan yang jelas terkait kewajiban pembangunan infrastruktur di daerah yang belum terlayani, maka manfaat yang dijanjikan bisa jadi hanya dinikmati oleh segelintir wilayah perkotaan, sementara daerah terpencil tetap tertinggal.

Di beberapa negara, pemanfaatan spektrum 1,4 GHz telah diterapkan dengan pendekatan yang berbeda. Misalnya, di Jerman dan Inggris, spektrum ini banyak dimanfaatkan untuk Fixed Wireless Access (FWA) guna memperluas jangkauan internet di daerah pedesaan dan pinggiran kota. Kedua negara tersebut juga menerapkan regulasi yang mendorong penyedia layanan untuk membangun infrastruktur di daerah yang kurang terlayani, bukan hanya di kota-kota besar. Hal ini berbeda dengan tantangan di Indonesia, di mana dominasi operator besar masih menjadi perhatian utama dalam pemerataan akses internet.

Sementara itu, di Amerika Serikat, spektrum di kisaran 1,4 GHz lebih banyak digunakan untuk keperluan satelit dan komunikasi industri. Regulasi di negara tersebut lebih fleksibel dalam memungkinkan berbagai model bisnis, termasuk skema berbagi spektrum (spectrum sharing) yang memungkinkan lebih dari satu operator menggunakan pita frekuensi yang sama secara dinamis.

Saat ini, penetrasi fixed broadband di Indonesia masih rendah, hanya sekitar 21,31% dari total rumah tangga, dengan kecepatan rata-rata 32,07 Mbps. Angka ini tertinggal jauh dibandingkan negara-negara lain di kawasan ASEAN.

Untuk memastikan kebijakan ini berdampak luas, regulasi yang adaptif sangat diperlukan. Pemerintah perlu memastikan bahwa hasil lelang frekuensi ini benar-benar mendorong pemerataan akses internet, bukan sekadar menambah keuntungan bagi segelintir pemain industri. Selain itu, regulasi juga harus mendukung pembangunan infrastruktur digital yang lebih inklusif, termasuk pengembangan talenta digital di Indonesia.

Ada berbagai pendekatan yang bisa digunakan dalam pemanfaatan spektrum 1,4 GHz, mulai dari Infrastructure-Based Competition, Wholesale Access Model, hingga Public-Private Partnership. Pendekatan hibrida yang melibatkan berbagai pihak, termasuk pemerintah daerah, bisa menjadi solusi agar pembangunan infrastruktur digital lebih merata dan berkelanjutan.

Selain itu, penting untuk membedakan model tarif antara layanan seluler dan Fixed Wireless Access (FWA). Jika tarif layanan FWA tidak disesuaikan dengan kondisi geografis dan daya beli masyarakat, maka daerah pedesaan bisa kembali tertinggal dalam akses internet berkualitas.

Lelang frekuensi 1,4 GHz adalah momentum penting dalam upaya meningkatkan kualitas dan akses internet di Indonesia. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada transparansi proses lelang, kebijakan harga yang berpihak pada masyarakat, serta strategi pemerataan infrastruktur yang efektif. Jika aspek-aspek ini diabaikan, maka kebijakan ini berisiko menjadi sekadar wacana tanpa dampak nyata bagi pemerataan akses digital di Indonesia.

@IndoTelko