Ilustrasi (DOK)
JAKARTA (IndoTelko) – Industri seluler nasional diperkirakan bisa kolaps jika beleid harga Sim Card perdana senilai Rp 100 ribu diterapkan.
“Jika kebijakan itu dipaksakan langsung kolaps industri ini. Tak bijak jika itu dijalankan, pasar bisa terdistorsi,” ungkap Ketua Umum Asosiasi Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) yang juga Direktur Utama Telkomsel, Alex Janangkih Sinaga, kemarin.
Menurutnya, karakter masyarakat Indonesia dalam berlangganan telekomunikasi sangat price sensitf sehingga jika dipasang banderol mahal, dijamin akan ditinggalkan pengguna.
Apalagi, pasar Indonesia adalah prabayar. Hal itu bisa terlihat di Telkomsel dimana pengguna pascabayar hanya 2,5 juta nomor sementara prabayar 122,5 juta nomor.
Fakta lainnya, banderol Sim Card murah telah menjadi alat persaingan bagi operator untuk mendapatkan pelanggan baru. Biasanya, kala dilepas 8 kartu perdana, satu akan kembali menjadi pelanggan setia.
Direktur dan Chief Marketing Esia, Eka Anwar menilai banderol Rp 100 ribu baru sebatas wacana yang dilepas regulator. “Tetapi jika angka itu yang ditetapkan, kita akan ikut dan ubah konsep pemasarannya. Bisa saja value ditambah dan lainnya,” katanya.
Presiden Direktur XL Axiata Hasnul Suhaimi memprediksi jika Sim Card harganya Rp 100 ribu maka churn rate akan turun siginifikan.
“Syaratnya, harus konsisten dan diawasi dengan ketat. Selama ini terdapat sekitar 50 juta sim card hilang setiap tahunnya atau setara Rp 3 triliun terbuang percuma setiap tahunnya,” katanya.
Kepala Pusat Data dan Humas Kementerian Komunikasi dan Informatika Gatot S Dewa Broto mengungkapkan dalam draf revisi Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang Registrasi Pelanggan Jasa Telekomunikasi diusulkan harga minimal kartu perdana sekitar Rp 100 ribu.
Diakuinya, wacana ini akan menjadi poin kritis karena sensitif secara sosial. “RPM ini belum diuji publik dan masih dalam tahap proses,” katanya.
Ditegaskannya, pemerintah cukup hati-hati dengan angka tersebut dan harus mempertimbangkan nilai keekonomiannya. “Pasal 6 draft revisi RPM tersebut menyebutkan kartu perdana wajib dijual dengan harga minimal Rp 100 ribu. Ini belum termasuk nilai deposit prabayarnya,” jelasnya.
Secara terpisah, Founder IndoTelko Forum Doni Darwin meminta Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) untuk terbuka memaparkan angka Rp 100 ribu sebagai nilai psikologis yang pantas untuk kartu perdana.
“BRTI harus bisa menyakinkan publik angka Rp 100 ribu itu wajar di tengah fenomena jasa seluler sudah menjadi kebutuhan pokok di semua segmen masyarakat. Apa benar, masyarakat kelas bawah dan pedesaan mau membeli kartu perdana Rp 100 ribu,” katanya.
Ditambahkannya, BRTI juga harus bisa menyakinkan jika kebijakan tersebut diambil akan mencapai tujuannya menekan churn rate dan trafik Sambungan langsung Internasional (SLI) illegal melalui Voice over Internet Protocol (VoIP).
“Selama operator masih membuat konsep pemasaran yang mendorong penggunaan multiple SIM card, apa akan efektif kebijakan ini. Semua harus ditimbang dulu,” sarannya.(ak)