JAKARTA (IndoTelko) – Jalan transportasi berbasis aplikasi (Ridesharing) menuju legal dan diakui sebagai angkutan umum diyakini masih panjang dan berliku walau para mitra supirnya yakni Perkumpulan Pengusaha Rental Indonesia (PRRI) telah berbadan hukum koperasi.
“Ada sejumlah hal yang harus dibereskan, terutama terkait aturan transportasi agar layak dianggap sebagai penyedia jasa operasi angkutan,” kata Pelaksana Tugas Dirjen Perhubungan Darat Kementrian Perhubungan Sugihardjo, kemarin.
Diungkapkannya, hal yang harus dilakukan mitra dari ridesharing adalah mengajukan izin penyelenggara angkutan umum kepada Pemprov DKI Jakarta untuk bentuk taksi atau ke Kemenhub. Izin tersebut untuk melegalkan PRRI menyediakan angkutan umum sewa sehingga bisa bekerjasama dengan perusahaan penyedia jasa aplikasi seperti Uber atau Grab.
Nantinya, di dalam izin penyelenggaraan angkutan umum, pemerintah akan membatasi jumlah armada yang beroperasi. Jumlah itu ditentukan sesuai dengan kelaikan operasional sebuah badan usaha.
Legaliltas operasional juga harus diajukan PPRI ke Kepolisian karena bentuk kendaraan itu adalah angkutan umum sewa. Mobil rental PPRI akan mendapat stiker khusus dan dikenali kepolisian.
Pelat khusus untuk angkutan umum sewa itu tak berbeda dengan kendaraan pribadi yakni berwarna hitam tulisan putih. Selain itu supir nantinya harus memiliki SIM B, tidak boleh SIM A.
Blokir Dulu
Sementara Ketua Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat (PPAD) Cecep Handoko merasa kecewa dengan sikap Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara karena tidak memblokir aplikasi Uber dan GrabCar.
"Kami menuntut kesetaraan dalam segala aspek dan bersaing secara sehat. Jangan kami diikat dengan aneka aturan, sedangkan taksi online dibebaskan dengan dalih kreativitas dan kebutuhan masyarakat," ujar Cecep.
Dia menyatakan keheranan kepada pemerintah begitu menganakemaskan Uber dan GrabCar. Padahal, angkutan umum konvensional juga dibutuhkan masyarakat. "Pemerintah lupa bahwa transportasi adalah alat pemersatu bangsa dan sekarang diinjak-injak oleh kepentingan asing dengan tidak mematuhi aturan hukum di Republik Indonesia ini," kata Cecep.
Menurutnya, Rudiantara tak peka melihat situasi sosial dan justru membuat konflik sosial nantinya."Dalam hal ini saya menilai kita sedang dibenturkan konflik horizontal bangsa. Sadarkah kita sebagai bangsa yang berdaulat dan bermartabat dibenturkan dengan keuntungan sesaat dari taksi online," ketusnya.
Secara terpisah, Direktur Utama Blue Bird Purnomo Prawiro mengaku tak takut berkompetisi asal ada level playing field yang sama. “Kami selalu mampu menghadapi dinamika persaingan bisnis dengan menerapkan berbagai inovasi,” katanya.
Diungkapkannya, Blue Bird tercatat sebagai perusahaan pertama di dunia yang mengembangkan pemesanan taksi melalui mobile app pada tahun 2011 di sistem Blackberry. Saat ini, aplikasi bernama My Blue Bird ini juga tersedia di berbagai platform seperti Android dan iOS.
Pantau
Pada kesempatan lain, Rudiantara mengaku telah melakukan pemantauan terkait persoalan ridesharing.
Diungkapkannya, para pemilik moda transportasi berbasis aplikasi online tersebut akan melakukan registrasi izin usahanya melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Pemprov DKI Jakarta agar dapat kembali beroperasi.
"Kemarin juga sudah diregister di PTSP DKI dan mudah-mudahan akan keluar, dan semuanya akan selesai," ungkapnya.
Sedangkan Pengamat e-commerce dari ITB Kun Arief Cahyantoro memperkirakan bisnis transportasi berbasis aplikasi akan terus dicari.
“Masyarakat senang yang mudah dan murah. Pemain aplikasi bisa memenuhi itu. Tetapi nanti akan ada hambatan terkait regulasi dan perizinan pendukung kala beresentuhan dengan bisnis yang selama ini sudah berjalan. Contohnya, seperti Uber dan Grab ini,” pungkasnya.(id)