JAKARTA (IndoTelko) – Transportasi berbasis aplikasi (Ridesharing) kembali selamat dari ancaman tuntutan pemblokiran di Indonesia.
Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan menegaskan aplikasi milik ridesharing dari Uber dan Grab tidak akan diblokir seperti tuntutan dari Paguyuban Pengemudi Angkutan Darat yang berunjuk rasa pada Selasa (23/3).
"Kalau kami tutup aplikasi ini juga berapa lagi yang akan ribut?" kata Luhut, kemarin malam.
Dalam pandangan Luhut, memenuhi permintaan pengunjuk rasa untuk memblokir aplikasi GrabCar dan Uber hanya akan menimbulkan masalah baru dengan kemungkinan unjuk rasa para pengemudi transportasi berbasis aplikasi online.
Solusi yang ditawarkan pemerintah adalah Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara dan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan akan merundingkan penyelesaian permasalahan tersebut pada Rabu (23/3).
“Kami sedang mempelajari dan perlu waktu dalam menyelesaikan permasalahan persaingan bisnis antara layanan transportasi konvensional dengan yang berbasis online. Pak Presiden telah memerintahkan dilakukan evaluasi berasas keadilan. Tidak bisa diminta sekarang langsung jadi besok. Tidak semudah membalikkan tangan," tegas Luhut.
Cepat Urus
Ignasius Jonan yang juga menggelar jumpa pers secara terpisah pada Selasa (22/3) malam menegaskan tak akan mengubah aturan untuk mengadaptasi kehadiran ridesharing.
“Aturannya sudah ada kok, apa yang mau diubah? Sejak tahun lalu saya sudah ingatkan Uber atau Grab kala datang ke sini. Daftar, penuhi aturan. Sekarang jangan diulur lagi. Tuntaskan saja pemenuhan aturan,” tegas Jonan.
Jonan mengungkapkan, pada pertemuan Rabu (23/3) akan dihadiri unsur Dishub DKI Jakarta, Kemenhub, Organda, Grab, Uber, dan Kemenkominfo. “Biar nanti ada konsensus, maunya gimana. Mau jadi rental, ada aturan mainnya. Kalau saya menegakkan undang-undang,” tukasnya.
Rudiantara menjelaskan aturan transportasi online bukan hanya terkait aplikasi online saja. "Biar bagaimanapun ini sektornya, sektor perhubungan, regulator perhubungan ya Kemenhub, pelaksaanannya dishub. Itu faktanya," ujarnya.
Diungkapkannya, koordinasi dengan Kemenhub nanti akan mengatur ridesharing bisa berbadan hukum seperti transportasi pada umumnya yang legal.
Perusahaan Teknologi
Pada kesempatan sama, Managing Director Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata menegaskan perusahaan bukanlah operator layanan transportasi, yang tidak memiliki kendaraan atau armada apapun.
Selama ini Grab bekerjasama dengan perusahaan penyedia transportasi independen, yang menyediakan layanan seperti GrabTaxi, GrabCar, GrabBike, dan GrabExpress.
"Grab merupakan perusahaan teknologi yang menghubungkan pengemudi dan penumpang. Kami juga sudah menjadi entitas legal di Indonesia dan terdaftar sebagai pembayar pajak serta menghargai dalam menaati peraturan yang berlaku," ujarnya.
Diungkapkannya, jika selama ini perseroan bisa memberikan harga murah karena selama ini dikenal angkutan berargo dan tak berargo.
"Kalau harga murah itu relatif karena kami mematchingkan supply and demand di sini. Mekanisme pasar yang terjadi adalah terjadinya kesepakatan harga antara pengemudi dan penumpang," jelasnya.
Secara terpisah, Anggota Komisi V DPR Ahmad M Ali menyarankan pemerintah untuk menutup sementara Uber dan Grabcar. Langkah ini dilakukan supaya melindungi masing-masing pelaku usaha transportasi sebelum ada kebijakan yang pasti dari pemerintah terkait taksi online.
"Pemerintah dalam hal ini berkewajiban menjalankan undang-undang, karena itu salah satu tugas konstitusinya. Keberadaan Grab Car dan Uber ini dalam undang-undang, ilegal, karena menabrak UU. Maka non aktifkan dulu sebelum ada jalan tengahnya," tegasnya.
Diskriminatif
Pengamat transportasi Edison Siahaan menilai pemerintah melakukan tindakan diskriminatif terhadap pelaku usaha jika tidak memblokir aplikasi milik ridesharing. “Aturan belum dipenuhi kok dibiarkan operasional. Itu melawan hukum,” katanya.
Pengamat transportasi lainnnya, Dharmaningtyas menyarankan masyarakat dalam menggunakan sarana angkutan umum harus memiliki ideologi. “Jangan karena harga murah saja. Faktor keamanan harus diperhatikan. Ridesharing itu potensi ambil data pribadi diperjualbelikan. Samakan aturan main dengan konvensional, apa bisa nanti tarif murah mereka tawarkan,” sarannya.
Anggota Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengingatkan praktik predatory pricing yang tengah dijalankan ridesharing berpotensi munculnya monopoli di masa depan. “Di penerbangan itu sudah terjadi. Kasih murah, pesaing mati di rute tertentu, setelah itu di pasang harga pasar,” katanya.
Disarankannya, jika pemerintah ingin mengejar pajak dari transaksi yang dilakukan ridesharing, bisa dari pengemudi dan pengguna. “Dari situ juga ketahuan berapa sih sebenarnya transaksi yang dilayani ridesharing per hari,” katanya.
Sekadar informasi, pemain seperti Grab dan Uber disokong oleh pemodal besar. Kabarnya, salah satu investor Grab adalah Lippo Group. Selain itu ada Didi Kuaidi dari Tiongkok, GGV Capital, dan SoftBank, valuasi Grab sekitar ditaksir US$1 miliar.
Sementara UBer dalam kalkulasi PriceWaterhouseCoopers, per 2025 valuasinya ditaksir US$335 miliar Pendapatan Uber diperoleh dari fee transaksi 20% dari setiap booking. Kabarnya, per akhir 2015, nilai kotor pemesanan mencapai US$10,84 miliar. Jika dipotong komisi 20% berarti sekitar US$2 miliar. Tahun ini, diproyeksikan nilai pemesanan US$26,12 miliar dengan pendapatan dari komisi mencapai US$5,2 miliar.
Banyak negara sudah menyadari Ridesharing didukung investor kakap sehingga membuat regulasi yang lebih ketat. Singapura melegalkan ridesharing berdasarkan aturan Penyedia Layanan Taksi Pihak Ketiga.
Para driver dan penyedia aplikasi taksi harus tunduk pada regulasi transportasi dan mengantongi izin taksi, seperti halnya pengemudi taksi profesional. Para driver juga harus bekerja dengan koperasi yang memiliki anggota minimal 20 mobil. Ketika aturan disetarakan, pasar ridesharing di Singapura menyusut menjadi 7%.(id)