JAKARTA (IndoTelko) – Kementrian komunikasi dan informatika (Kemenkominfo) menegaskan revisi biaya interkoneksi yang dilakukan setiap dua tahun sekali menguntungkan operator.
“Revisi biaya interkoneksi memang sering menimbulkan reaksi, akan tetapi perubahan harus terjadi. Dalam bisnis layanan telekomunikasi itu selalu terjadi yang namanya keseimbangan konsumsi atau ceteris paribus. Pada akhirnya operator tetap dapat keuntungan yang tidak menurun dan bahkan akan jauh lebih besar dimana komsumsi masyarakat terhadap layanan telekomunikasi akan meningkat,” tegas Plt. Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo Noor Iza kepada IndoTelko melalui pesan singkat, Senin (15/8).
Diungkapkannya, di negara-negara lain pada awalnya perubahan biaya interkoneksi menimbulkan reaksi, terutama dari pemain incumbent atau operator dominan. “Tetapi reaksi perlawanan ini tidak terus-terusan terjadi. Karena nanti yang merasakan manfaatnya operator sendiri,” katanya.
Dijelaskannya, perlu diketahui bahwa biaya Interkoneksi mulai diinisiasi oleh para penyelenggara telekomunikasi yang saling berinterkoneksi pada tahun 2005 dengan maksud bersama-sama melakukan perubahan dari skema revenue sharing ke pola berbasis biaya.
Kemudian tahun 2006 dibuat kajian bersama dan membuat model perhitungannya. Model perhitungan ini yang disepakati bersama dan kemudian biaya interkoneksi dilakukan perhitungan kembali secara periodik.
Dapat dikatakan besaran biaya Interkoneksi yang sekarang tahun 2016 berlaku sebelum usulan baru adalah relatif sama dengan besaran biaya Interkoneksi saat pertama kali dilakukan perhitungan di tahun 2006.
“Kalau ada yang bilang besaran biaya interkoneksi di Indonesia sudah relatif rendah itu iya dan itu sudah disepakati di tahun 2006. Tetapi mengapa dari tahun 2006 sampai dengan sekarang ini sebelum usulan baru besaran biaya interkoneksinya sangat tidak berubah. Itu yang perlu diteliti,” tegasnya.
Menurutnya, jika dilihat hingga sekarang jaringan telekomunikasi semakin teroptimalisasi penggunaannya dan bahkan semakin meningkat kapasitasnya. Multiple optimasi jaringan telekomunikasi ini berarti terjadi efisiensi yang besar dalam kurun 10 tahun terakhir. Efisiensi ini harus memiliki dampak kepada masyarakat selaku pengguna layanan telekomunikasi dan juga berdampak kepada industri telekomunikasi itu sendiri.
“Industri telekomunikasi harus terbuka dalam melakukan perubahan-perubahan skema yang memang baik dan menguntungkan buat masyarakat dan industri telekomunikasi itu sendiri. Jangan alergi dengan perubahan,” tutupnya.
Seperti diketahui, Kemenkominfo telah menyelesaikan perhitungan biaya interkoneksi tahun 2016 dimana menghasilkan penurunan secara rata-rata untuk 18 skenario panggilan dari layanan seluler dan telepon tetap itu sekitar 26%.
Sebelumnya, tarif interkoneksi untuk panggilan lokal seluler sekitar Rp 250. Adanya perhitungan baru maka per 1 September 2016 menjadi Rp 204 permenit. (
Baca:
Kontroversi biaya interkoneksi)
Sebagian kalangan menuding perhitungan biaya interkoneksi tak transparan dan adil karena tak sesuai dengan kesepakatan awal dimana regulator dianggap tak sejalan dengan dokumen konsultasi publik untuk biaya interkoneksi pada 2015 yang ingin adanya regionalisasi tarif interkoneksi. (
Baca:
Hitung ulang biaya interkoneksi)
Perhitungan tarif interkoneksi baru memilih penerapan perhitungan pola simetris atau tidak berbasis biaya penggelaran jaringan yang telah diinvestasikan oleh masing-masing operator. Alhasil, kondisi ini menjadikan operator dominan dianggap menjual dibawah biaya jaringan.(dn)