JAKARTA (IndoTelko) – Penurunan biaya interkoneksi secara rerata sebesar 26% bagi 18 skenario panggilan di jasa seluler disinyalir untuk merebut pasar Telkomsel, terutama di luar Pulau Jawa.
“Ini kalau kita lihat rebut-ribut (penurunan) biaya interkoneksi hanya ingin rebutin kue (pasar) Telkomsel. Sementara Telkomsel (dan Telkom) bertahan habis-habisan agar kuenya tak dimakan oleh empat (operator) yang duduk disamping itu,” ungkap Anggota Komisi I DPR Budi Youyastri saat Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) antara Komisi I DPR dengan operator seluler di Jakarta, Kamis (25/8).
Dalam RDPU hadir President Direktor/CEO XL Dian Siswarini, Presiden Direktur Smartfren Merza Fachys, President Director dan CEO Indosat Ooredoo Alexander Rusli, Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah, Direktur Utama Telkom Alex Sinaga, dan Wakil Presiden Direktur Tri PT Hutchison 3 Indonesia M. Danny Buldansyah.
Budi mempertanyakan seandainya biaya interkoneksi yang diumumkan melalui surat edaran oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) diberlakukan pada 1 September mendatang, adakah komitmen dari operator yang pro penurunan untuk memangkas tarif ritel dan membangun jaringan hingga seluruh Indonesia.
“Jika empat operator (Indosat, Tri, XL, dan Smartfren) tak ada komitmen, maka benar ini hanya mau ngerebut kue milik Telkomsel saja. Nah, yang menjadi pertanyaan dari untung yang mereka dapat itu nanti larinya kemana. Kalau sudah begini Menkominfo Rudiantara ambil Telkomsel, lalu kita minta pertanggungjawabannya untuk menyambungkan semua Indonesia,” ketusnya.
Anggota Komisi I lainnya, Evita Nursanty melihat memang ada perbedaan antara operator telekomunikasi dalam melihat penurunan biaya interkoneksi.
“Sudah jelas itu Telkom dan Telkomsel menolak, lainnya mendukung penurunan. Masalahnya kalau bicara Indonesia itu cost recovery berbeda-beda, apa wajar yang sudah bangun hingga pelosok dirugikan. Harusnya dihitung secara asimetris dan zona,” tegasnya.
Sedangkan anggota komisi I DPR RI Effendi MS Simbolon melihat ada yang tidak adil dalam perhitungan biaya interkoneksi. “Ada pihak yang menjalankan tugas sesuai undang-undang, ada pihak lain yang ingin diperlakukan sama padahal berbisnis di Indonesia harus mengikuti aturan”, katanya.
Pada kesempatan sama, Presiden Direktur & CEO Indosat Alexander Rusli mengatakan biaya interkoneksi menjadi hambatan bagi Indosat untuk menawarkan produk yang atraktif khususnya di luar Jawa. “Kami ingin memberikan layanan bervariasi dan terjangkau ke pelanggan. Salah satu barrier itu interkoneksi. ini alat untuk mengatur kompetisi,” katanya.
Diungkapkannya, biaya interkoneksi di Jawa tak sama dengan luar Jawa. “Telkomsel menguasai 87% pangsa pasar bahkan dari sudut pandang profit cash flow 100%. Beda dengan kami yang bermain di luar Jawa, rugi. Berikan kami kesempatan untuk melayani luar Jawa, salah satunya dengan insentif penurunan biaya interkoneksi ini,” tegasnya.
Sementara Direktur Utama Telkomsel Ririek Adriansyah mengatakan, penurunan biaya interkoneksi dengan metode simetris merugikan Telkomsel karena cost recovery yang diterima tidak sesuai dengan biaya produksi.
“Competitive advantage kami dihilangkan regulasi. Demi Nawacita, perhitungan biaya interkoneksi harus cost based dan asimetris agar sesuai dengan cost recovery dan berdampak baik ke industry,” tegasnya. (
Baca: Polemik Interkoneksi)
Sebelumnya, Komisi I DPR meminta Menkominfo Rudiantara untuk menunda keluarnya Peraturan Menteri (PM) tentang penetapan Biaya Interkoneksi per 1 September mendatang. PM itu kabarnya menguatkan Surat Edaran No.115/M.Kominfo/PI.0204.08/2016 dimana biaya interkoneksi turun 26% secara rerata untuk 18 skenario panggilan di seluler. (
baca: Dampak Interkoneksi)
Biaya interkoneksi adalah salah satu komponen dari tarif retail. Saat ini tarif interkoneksi yang diberlakukan di Industri hanya dibawah 20% dari tarif retail lintas operator yang dibayarkan oleh pelanggan. Sedangkan formula tarif retail terdiri dari biaya interkoneksi, service activation fee, dan margin.(dn)