JAKARTA (IndoTelko) – Pemerintah diminta untuk tidak kendor mengejar kewajiban pajak dari Google dalam rangka menegakkan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Soal Google dan pajak itu gampang-gampang susah. Tetapi kuncinya hanya satu, tegakkan aturan yang ada di NKRI. Mereka (Google) bisnis di sini, harus ikut aturan main di sini,” tegas Chairman Mastel Institute Nonot Harsono kepada IndoTelko, kemarin.
Disarankannya, semua elemen pemerintah untuk bersatu mengejar kewajiban pajak dari Google karena isu ini tak hanya menjadi tanggung jawab Ditjen Pajak. “Ini harus dilihat sebagai tanggung jawab pemerintah Indonesia menegakkan aturan,” katanya.
Pengamat Komunikasi Massa, Agus Sudibyo mengingatkan jika Google tidak membayar pajak akan menimbulkan persaingan tidak sehat di industri media nasional.“Bisnisnya sebenarnya sama korporasi media. Pemain nasional bayar pajak, Google tidak bisa menimbulkan ketidakadilan dan iklim berusaha yang timpang di bidang media dan informasi. Lolos dari pajak Google bisa mengambil margin keuntungan lebih besar dan menerapkan tarif iklan lebih rendah,” katanya.
Ditambahkannya, pajak untuk perusahaan Over The Top (OTT) juga penting dalam rangka menjaga kedaulatan fiskal karena menyangkut potensi pendapatan pajak dalam jumlah yang besar. "Demi melindungi kedaulatan fiskal dan kedaulatan informasi, praktek semacam ini harus segera ditangani pemerintah, tanpa bermaksud memusuhi Google dan lain lain," tegasnya.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyatakan Google memilih mendirikan kantor perwakilan di Indonesia karena kewajiban pajaknya lebih rendah.
“Pajak yang bisa dikenakan ke Google sesuai pasal 15 UU PPh sekitar 0.44% dari nilai ekspor bruto dan bersifat final. Ini beda kalau dia sebagai Badan Usaha Tetap (BUT). Potensi pajak yang bisa kita tarik seperti wajib pajak badan dalam negeri 25%, dan kewajiban-kewajiban lain terkait, misalnya PPN,” katanya.
Disarankannya, pemerintah memaksa Google mendirikan BUT di Indonesia atau mengancam melakukan blokir layanan Google di Indonesia agar mau membayar pajak.
"Kalau mau dirikan BUT ada isu, Google bisa dapat iklan tanpa harus hadir secara fisik (physical presence). Sementara isu kehadiran virtual belum masuk dalam skema BUT," ungkap Yustinus.
Diprediksinya jika pemerintah memaksa Google membayar pajak cenderung mengarah kepada sengketa karena skema BUT yang berasal dari Organisasi untuk Kerja Sama dan Pengembangan Ekonomi (OECD) masih rawan dijadikan celah.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan tengah mencari solusi guna mengatasi fenomena global atas transaksi perdagangan elektronik.
Saat ini, tim dari Kementerian Keuangan sedang mengkaji berbagai opsi pungutan pajak bagi pelaku eCommerce. Sebelum terbit peraturan pungutan pajak yang resmi.
Direktorat Jenderal Pajak telah memantau perlakuan pajak dari Google dari April 2016 untuk menggali potensi penerimaan dari bisnis teknologi informasi yang saat ini telah berkembang pesat.
Menurut catatan DJP, Google Indonesia telah terdaftar sebagai badan hukum dalam negeri di KPP Tanah Abang III dengan status sebagai PMA sejak 15 September 2011 dan merupakan dependent agent dari Google Asia Pacific Pte Ltd di Singapura.
Praktik berbisnis Google ini sama dengan di Eropa. Di benua biru itu Google juga digugat beberapa negara karena skandal yang disebut double irish with a dutch sandwich, yakni praktek peralihan kewajiban bayar pajak lintas negara bahkan lintas negara yang bermuara di negara surga pajak seperti segitiga Bermuda. (
Baca:
Bisnis Google di Indonesia)
Dalam prediksi DJO, pada 2015 lalu, pendapatan Google dari Indonesia mencapai Rp 3 triliun.Dikalkulasi labanya sekitar 40%-50% atau di kisaran Rp 1 triliun. Jika merujuk angka itu, pajak penghasilan (PPh) yang harus dibayarkan adalah 25% dari laba yaitu Rp 250 miliar dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yaitu 10% dari pendapatan yaitu Rp 300 miliar. (
Baca:
Pajak Google)
Aktivitas usaha Google di Indonesia meningkat dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Sehingga asumsi pajak yang seharusnya dibayarkan dalam lima tahun adalah Rp 2,75 triliun.(id)