JAKARTA (IndoTelko) – Pemerintah disarankan untuk memiliki skala prioritas dalam mengejar potensi pajak dari bisnis digital.
“Sebaiknya ada prioritas. Kalau semua mau dikejar, sementara mekanisme belum jelas, malah bisa jadi gak dapat,” ungkap Direktur Eksekutif Center of Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, dalam pesan singkat ke IndoTelko, kemarin.
Dicontohkannya, upaya dari pemerintah untuk mengejar pajak dari pegiat media sosial yang belum ada mekanismenya. “Memang secara aturan harus bayar pajak, tetapi cara mendapatkannya gimana? Ketimbang mengejar mereka lebih baik fokus ke pemilik platform seperti Google atau Facebook,” katanya.
Asal tahu saja, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mulai membidik para pelaku media sosial agar menjalankan kewajibannya ke negara, yakni membayar pajak.
Dasar pengenaan pajak bagi pelaku komersial di media sosial dalam versi DJP pada Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 tentang Pajak Penghasilan (PPh) Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu. Penghasilan dari individu ini dianggap sebagai Wajib Pajak Orang Pribadi (WPOP).
Salah satu cara yang akan dilakukan adalah dengan cara melihat akun para penjual di berbagai media sosial. Ditjen Pajak mengaku kini telah memiliki data terkait pungutan pajak bagi pemilik akun ini.
Diprediksi, pemerintah bisa mendapatkan pemasukan hingga US$ 1,2 miliar atau setara Rp 15,6 triliun, jika bisa menarik pajak dari kegiatan di media sosial tersebut
Ini bisa dikatakan aksi kedua dari DJP yang mulai lebih serius meneliti bisnis digital di tanah air setelah melontarkan niat mengejar pajak dari Google dan kawan-kawan belum lama ini. (
Baca:
Mengejar pajak digital)
Google dianggap berusaha menghindari pajak di Indonesia dengan tak hadir secara fisik. Google melakukan strategi penghindaran pajak dengan cara tax planning. Metode tax planning yang dilakukan oleh Google adalah dengan pemanfaatan syarat physical presence.
Google memiliki anak usaha di Singapura yang mengatur bisnis di sekitar Asia. Sedangkan di Indonesia Google hanya membangun kantor marketing representative yang berperan sebagai penunjang dan pelengkap.
Semua kontrak dilakukan secara online, begitu juga dengan pembayaran atas jasa yang diberikan. Sehingga bila tidak mendirikan Bentuk Usaha Tetap (BUT), maka negara akan kesulitan untuk mengejar pajak perusahaan tersebut.
Jika Google harus membentuk BUT di negara sumber penghasilan seperti Indonesia, Google hanya memberikan fungsi marketing saja yang dianggap tidak penting karena bisa melakukan transaksi kontrak secara online dengan konsumen. Serta jika harus dikenakan pajak, maka Google tidak akan terkena tarif besar.
Google menganggap marketing support adalah fungsi yang tidak penting sehingga dalam konteks pentarifan hanya dikenakan biaya dan komisi 8%.
Selain Google, pemain digital asing lain tengah dibidik DJP dengan melakukan pemetaan misalnya dengan melihat proses bisnis dan penempatan server-servernya di Indonesia.(wn)