JAKARTA (IndoTelko) - Adopsi Internet of Things (IoT) di Indonesia bisa sukses jika menjalani tiga tahap berikut.
“Ada tiga tahap menuju full penerapan IoT, yakni konektifitas sudah merata, analaytic sudah jalan, terakhir Automation. Kalau dilihat di Indonesia itu baru tahap konektifitas yang diupayakan merata,” ungkap Country Manager Intel Indonesia, Harry K. Nugraha, beberapa waktu lalu.
Disarankannya, dalam mengadopsi IoT harus jeli melihat segmen mana dari layanan publik yang sudah full connected agar bisa berlanjut kedua tahap berikutnya. “Bicara otomatisasi misalnya, semua tergantung konteks. Kalau dilihat di infrastruktur transportasi ini bisa dijalankan Sekarang butuh dorongan pemerintah agar mengarah kesana (adopsi IoT) di sektor ini,” katanya.
Diharapkannya, pemerintah mempercepat pembangunan infrastruktur broadband dan adanya kolaborasi semua pihak dalam mengembangkan IoT. “Seringkali inovasi di Indonesia berhenti di tahap ide. Ini harus dikembangkan ke eksekusi agar bisa merubah dari negara konsumen menjadi produsen,” tutupnya.
Sebelumnya, Presiden Direktur & CEO Indosat Alexander Rusli mengatakan IoT merupakan salah satu tren perangkat yang sedang berkembang di Indonesia dan berbagai negara lain. Namun karena tidak ada platform tunggal, pengawasan serta manajemen alat-alat ini menjadi terkesan semrawut dan sulit diatur.
Ditambahkan Alex, perbedaan platform juga membuat perangkat IoT jadi rentan serangan cyber. Jika terserang, Penanganan yang dibutuhkan masing-masing platform pun bisa jadi berbeda, sehingga memperbesar potensi bahaya. “IoT ini adopsinya akan terus tumbuh. Anda lihat saja minta orang beli smartwatch,” katanya.
Sebelumnya, IDC memprediksi layanan Big Data dan Business Analytics Services di Asia Pasifik (diluar Jepang) pada 2016 sekitar US$3.8 miliar dan menjadi US$7 miliar pada 2019. IoT menjadi salah satu pendorong berkibarnya Big Data.
Dikalkulasi untuk membangun smart city negara-negara di Asia akan fokus melakukan transformasi digital di sektor energy, transportasi, air dan sanitasi, serta telekomunikasi. Biayanya diprediksi Asian Development Bank antara tahun 2010 hingga 2020 sekitar US$ 600 miliar. (ak)