telkomsel halo

Fintech Lending langgar aturan lakukan persekusi digital

13:12:23 | 22 Jul 2018
Fintech Lending langgar aturan lakukan persekusi digital
Menkominfo Rudiantara.(dok)
JAKARTA (IndoTelko) – Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menilai pemain Financial Technology (Fintech) lending melanggar aturan jika menerapkan pola persekusi digital dalam melakukan penagihan ke debiturnya yang belum melunasi piutang.

“Kalau bicara tindakan persekusi digital dan penyalahgunaan data pribadi dari pelanggan, itu jelas yang dilakukannya melanggar aturan. Jelas itu ada di Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) serta aturan menteri soal data pribadi,” tegas Menkominfo Rudiantara menanggapi ramainya kasus penagihan oleh salah satu aplikasi pinjaman online Rupiah Plus yang meresahkan warganet, usai makan malam bersama media, akhir pekan lalu.

Dijelaskannya, dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 (UU ITE) serta Peraturan Menteri Kominfo No. 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik (PM 20/2016) tercantum sanksi bagi pihak-pihak yang melanggar.

Disebutkan di UU ITE pada Pasal 26 Ayat 1 bahwa kecuali ditentukan lain oleh peraturan perundang-undangan, penggunaan setiap informasi melalui media elektronik yang menyangkut data pribadi seseorang harus dilakukan atas persetujuan Orang yang bersangkutan.

Peraturan Menteri Kominfo No. 20 Tahun 2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik (PM 20/2016) yang berlaku sejak Desember 2016 tersebut, perlindungan data pribadi mencakup perlindungan terhadap perolehan, pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penampilan, pengumuman, pengiriman, penyebarluasan, dan pemusnahan data pribadi.

Menurut PM 20/2016, sistem elektronik yang dapat digunakan dalam proses perlindungan data pribadi adalah sistem elektronik yang sudah tersertifikasi dan mempunyai aturan internal tentang perlindungan data pribadi yang wajib memperhatikan aspek penerapan teknologi, sumber daya manusia, metode, dan biayanya.

Pemilik data pribadi, menurut Permen PM 20/2016, berhak atas kerahasiaan data miliknya; berhak mengajukan pengaduan dalam rangka penyelesaian sengket data pribadi; berhak mendapatkan akses untuk memperoleh historis data pribadinya; dan berhak meminta pemusnahan data perseorangan tertentu miliknya dalam sistem elektronik. Hal terkait hak ini diatur dalam Pasal 26 PM 20/2016.

Setiap penyelenggaran sistem elektronik wajib memberitahukan secara tertulis kepada Pemilik Data Pribadi jika terjadi kegagalan perlindungan rahasia data pribadi.

Adapun informasi yang harus disampaikan antara lain:
1. alasan atau penyebab kegagalan perlindungan rahasia data pribadi dapat dilakukan secara elektronik,
2. harus dipastikan telah diterima oleh Pemilik Data Pribadi jika kegagalan tersebut mengandung potensi kerugian bagi yang bersangkutan,
3. pemberitahuan tertulis dikirimkan kepada Pemilik Data Pribadi paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diketahui adanya kegagalan tersebut,

Selain sanksi administratif, sesuai dengan UU ITE 2008 jo. UU ITE 2016 jika terbukti ada pelanggaran penyalahgunaan data pribadi oleh pihak ketiga dan memenuhi unsur pidana penyalagunaan informasi data pribadi dan menyebabkan kerugian, maka dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 tahun dan/atau denda paling banyak Rp12 miliar

“Nah, kalau saya dengar dari teman-teman media ini kan jelas ada isu penyalahgunaan data pribadi. Tetapi di sisi lain kan di sisi Fintech Lending ada isu mengejar pinjaman. Saya rasa solusinya adalah Otoritas Jasa Keuangan (OJK) harus cari solusi agar kepentingan kedua belah pihak tercapai,” katanya.

Rudiantara pun mengingatkan masyarakat biasanya ketika sebuah aplikasi akan terinstal ada pertanyaan untuk diijinkan mengakses data-data penting di smartphone.

“Peliknya kan gini, sudah ada pertanyaan standar dari pemilik aplikasi, pengguna main klik yes saja. Kalau begini kan gak bisa disalahkan ketika aplikasi masuk ke data pribadi. Tetapi kalau aplikasi gunakan data pribadi untuk merugikan pengguna ya salah,” tukasnya.

Sebelumnya, di media sosial sempat diviralkan mengenai kasus terjadinya beberapa macam tindakan yang merugikan nasabah yang dilakukan oleh aplikasi Rupiah Plus.

Tindakan tersebut di antaranya penagihan utang nasabah dengan cara mengancam, mengintimidasi, serta penagihan ke pihak ketiga yang tidak ada hubungannya dengan nasabah.

Rupiah Plus merupakan salah satu aplikasi layanan pinjam-meminjam berbasis teknologi informasi dan calon peminjam dapat mengajukan pinjaman tanpa agunan.

Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menerima banyak aduan terkait cara penagihan Rupiah Plus yang dinilai bermasalah dan merugikan konsumen. Pengaduan ini sudah diterima dari bulan Januari hingga Juni 2018.

YLKI menyesalkan tindakan Rupiah Plus yang menagih pembayaran kredit dengan menyalahgunakan daftar nomor kontak di ponsel si nasabah. Padahal, orang yang dihubungi dari daftar nomor kontak itu banyak yang tidak tahu menahu soal pinjaman tersebut.   

YLKI menilai tindakan itu tidak hanya melanggar perlindungan konsumen, tetapi juga menganggu privasi orang lain yang tidak terkait pinjaman tersebut. Tindakan ini melanggar UU ITE pasal 26 tentang data pribadi. Selain itu juga melanggar pasal 27 hingga 29 dari UU ITE.

Rupiah Plus telah mengakui salah karena telah melanggar prosedur penagihan, berupa tindakan yang tidak menyenangkan kepada debitur untuk melunasi pinjaman secara cepat. Salah satunya, dengan menghilangkan dan menonaktifkan nomer ponsel nasabah.

Dari pengakuan Rupiah Plus, tindakan pelanggaran itu dilakukan oleh pihak ketiga yang ditunjuk perusahaan untuk melakukan penagihan. Maka dari itu, Rupiah Plus akan menindak tegas kepada siapa saja yang terbukti melanggar berupa pemberian surat peringatan sampai dengan pemutusan hubungan kerja.

OJK kabarnya akan memberikan sanksi kepada Rupiah Plus. OJK menghimbau siapa saja masyarakat yang merasa dirugikan oleh Rupiah Plus bisa menyampaikan gugatan hukum ke pihak berwajib. Penyalahgunaan data elektronik, pencemaran nama baik dan fitnah sebagai perbuatan yang melanggar hukum.

Dari sisi regulasi, OJK tengah berencana mengamandemen sejumlah aturannya agar beleid terkait dengan industri fintech dapat selaras dengan kondisi lapangan.

POJK No. 1/POJK.07/2013 tentang Perlindungan Konsumen Sektor Jasa Keuangan belum memasukkan financial technology berbasis peer-to-peer (P2P) lending sebagai pelaku usaha jasa keuangan. Banyak orang belum memahami bahwa fintech termasuk di dalamnya. Dengan demikian, fintech harus mengikuti ketentuan perlindungan konsumen yang sudah dikeluarkan OJK.

Berdasarkan POJK No. 1/2013, fintech dapat dijatuhi sanksi jika melakukan pelanggaran yang ditetapkan mulai dari peringatan tertulis, denda uang, pembatasan kegiatan usaha,  pembekuan usaha sampai dengan pencabutan izin usaha.

Sementara Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) berencana akan membangun mekanisme pusat data digital bersama, yang antara lain berisi daftar peminjam bermasalah. Nantinya, data ini bisa digunakan secara bersama-sama oleh industri keuangan dalam rangka mengevaluasi kualitas kredit tiap nasabah.

GCG BUMN
Aftech juga akan membuat beberapa program sertifikasi bagi para pegawai dan anggota asosiasi, antara lain berupa program sertifikasi di bidang penagihan pinjaman.(id)

Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories