telkomsel halo

Kominfo kembali bahas aturan untuk OTT

12:26:00 | 30 Aug 2018
Kominfo kembali bahas aturan untuk OTT
Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ahmad M. Ramli.(Dok)
JAKARTA (IndoTelko) - Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) kembali membuka diskusiuntuk Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten Melalui Internet (Over The Top/OTT) guna menghadirkan beleid tersebut bagi industri seluler.

Wacana menghadirkan Peraturan Menteri (Permen) untuk OTT ini sudah ada sejak Rudiantara menjadi Menkominfo, bahkan Pria yang akrab dipanggil RA itu mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 3 Tahun 2016 tentang Penyediaan Layanan Aplikasi dan/atau Konten melalui internet (OTT) dua tahun lalu. (Baca: RPM OTT)

Sayangnya, Rudiantara terlihat gamang dalam mengeksekusi SE menjadi Permen dan akhirnya wacana tersebut timbul tenggelam hingga sekarang. (Baca: Aturan OTT)

Bahkan, Direktorat Jenderal PPI Kementerian Kominfo yang menjadi inisiator lahirnya RPM mengenai OTT,
namun pada awal tahun 2018, sesuai arahan Menteri Kominfo, Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika mengambil penyusunan regulasi itu.

Direktur Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ahmad M. Ramli menjelaskan mengenai kerangka regulasi yang disiapkan oleh pemerintah, prinsip yang dikedepankan melakuan optimasi fungsi dengan meminimalisi dampak.

"Saya sarankan sebagai alasan utama agar adanya optimalisasi fungsi OTT dengan menimilasasi dampak,” katanya  dalam Forum Diskusi Terbatas bertajuk “Sinergi antara Penyelenggara Telekomunikasi dan Penyedia Layanan Platform Digital Over The Top (OTT) Player dalam Memajukan Ekonomi Digital di Indonesia”, di Yogyakarta, Selasa (28/7).

Menurut Dirjen PPI, keunggulan platform OTT terdapat pada aplikasi, konten dan komunitas. “Saya melihat OTT lebih banyak plus-nya asal berkolaborasi dengan baik,” tambahnya.

Dirjen Ramli menyatakan layanan OTT merupakan konten servis sehingga maka OTT sangat lekat dengan aplikasi dan kontennya. Keunggulan ketiganya yakni komunitas karena konten tersebut dikonsumsi oleh banyak orang.

“Jika berbicara Indonesia, kita unggul pertama adalah di komunitas, karena kita punya 291 juta jiwa dan ada 143 juta netizen. Inilah yang menjadi pasar sangat luar biasa,” tandas Ramli.

Dirjen PPI mengharapkan sinergi antara operator telekomunikasi dengan OTT untuk menghasilkan regulasi yang seimbang. "Saya sarankan sebagai alasan utama agar adanya optimalisasi fungsi OTT dengan menimilasasi dampak bersama para penyelenggara telekomunikasi,” tuturnya.

Menurut Dirjen Ramli, penyelenggara telekomunikasi tidak boleh ketinggalan dan hanya menjadi konsumen.
“Operator diharapkan memberikan inisiasi khusus terhadap perkembangan OTT yang semakin marak apalagi sudah beberapa platform menjadi unicorn Indonesia,” harapnya.

Dia menekankan tiga fokus pemerintah yang harus diperhatikan bersama sebelum terbitnya perundang-undangan mengenai platform digital.

“Ada 3 fokus, yang pertama adalah royalty kontennya sendiri, yang kedua pajak, dan yang ketiga revenue dari para creator,” kata Ramli.

Komisioner Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI) Taufik Hasan menyatakan tantangan pemerintah saat ini adalah keberagaman infrastruktur layanan dan delivery-nya agar bisa diatur dalam regulasi yang akan disusun. Selain itu, ia mengharapkan adanya lisensi tiap layanan terutama setelah dikategorisasikan.

“Kategorisasi OTT ini penting agar operator telekomunikasi tidak terjebak karena semua-semuanya disamakan,” ungkap Taufik Hasan.  

Hak Cipta
Board of Advisory Indonesian Mobile & Online Content Provider Association (IMOCA) Benny Ohorela menyarankan jalan keluar agar platform digital lokal terus tumbuh adalah adanya dukungan pihak lain seperti pemerintah maupun operator telekomunikasi.

“Jadi bagaimanapun juga sejak awal penyedia OTT lokal itu bisa tumbuh jika dibantu oleh OTT lainnya, terutama pemerintah. Dan kita juga liat bagaimana efeknya pada saat pemerintah atau operator tidak lagi bersinergi dengan kami. Penyedia konten lokal pun ambruk, jadi akhirnya penyedia konten kita ya hidup segan tapi mati tak mau,” tambah Benny.

“Yang menjadi masalah ketika pencipta yang sesungguhnya tidak mendapat apa-apa, sementara yang ambil untung Youtube Channel, misalnya, bukan penciptanya. Nah, ini lah yang harus menjadi perhatian kita di regulasi tadi,” kata Ramli.

Ilustrasi polemik mengenai hak cipta pada konten digital menjadi salah satu perhatian utama Dirjen PPI. Sebagai penggagas UU Hak Cipta tahun 2014 silam, Ramli mengatakan pemerintah juga harus mengatur regulasi OTT seperti UU Hak Cipta yang tidak membedakan provider seperti yang terjadi saat ini antara platform digital dan Televisi. Ia pun sempat membandingkan peraturan semacam ini seperti negara Amerika.

GCG BUMN
“UU itu bahwa konten providers seperti Youtube kita tidak pernah kita bedakan, sama seperti televisi. Jadi kita samakan. Mereka wajib bayar dan sudah bayar, Jadi ketika kita menyamakan mereka seperti tv, maka mereka harus bayar juga. Sama seperti Amerika disana lakukan,” jelasnya memberikan ilustrasi penerapan hak cipta dalam sebuah konten.(wn)

Ikuti terus perkembangan berita ini dalam topik
Artikel Terkait
Rekomendasi
Berita Pilihan
More Stories
Data Center Service Provider of the year